Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Turbulensi Garuda

24 Desember 2019   14:05 Diperbarui: 25 Desember 2019   12:33 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia | Sumber: Shutterstock/Expose via Kompas

Kapal oleng kapten. Mungkin ini istilah lain yang tepat bagi kapal terbang, Garuda Indonesia.

Garuda adalah satu diantara beberapa BUMN yang sedang turbulensi hari ini.  

Dilansir dari web resmi perusahaan, praktis saat ini Garuda hanya memiliki dua (2) orang Direksi definitif setelah dicopotnya jabatan Ari Askhara dan beberapa Direktur lainnya sebagai petinggi Garuda.

Pertama, Fuad Rizal yang menjabat sebagai Plt. Direktur Utama/Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko/ Plt. Direktur Operasi/ Plt. Direktur Teknik dan Layanan.

Kedua, Pikri Ilham Kurniansyah sebagai Direktur Niaga/Plt. Direktur Human Capital/ Plt. Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha.

Sebuah kondisi dan komposisi Direksi yang sangat tidak ideal bagi sebuah perusahaan yang juga memiliki 7 anak dan 19 cucu usaha, meski mereka berdua menunjuk beberapa orang pelaksana tugas harian.

Siapapun Dirut dan Direksi Garuda definitif selanjutnya tentu akan menghadapi pekerjaan-pekerjaan rumah yang sangat tidak sederhana, butuh perhatian khusus dan fokus terhadap menjaga fundamental perusahaan.

Tiga (3) hal yang paling fundamental menurut penulis yakni cash flow (keuangan), bisnis, dan human capital agar Garuda tak lagi mengalami turbulensi.

Pertama, selain kinerja laba rugi, arus kas (cash flow) menjadi bagian yang juga sangat krusial dalam laporan keuangan. 

Perusahaan termasuk Garuda perlu menjaga keseimbangan cash flow perusahaan antara aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

Arus kas operasi Garuda secara konsolidasi masih menunjukan hal yang positif, secara singkat perusahan masih cukup meyakinkan terutama dari aktivitas operasinya, penerimaan operasi masih lebih besar dibandingkan pengeluaran operasionalnya.

Berdasarkan laporan keuangan inhouse per September 2019 (tidak diaudit), kas operasi masih positif di angka USD392 juta dollar atau sekitar Rp5,5 triliun.

Pada medio Desember 2018 (audited restatement) juga masih positif USD270 juta atau sekitar Rp3,8 triliun.

Kinerja arus kas operasi terus membaik sejak 2017, dimana arus kas operasi perusahaan pernah negatif minus USD62 juta atau minus Rp868 miliar pada Desember 2017 (audited).

Namun demikian, jika melihat posisi keuangan, tingkat utang yang terus meningkat juga menjadi potensi masalah fundamental yang perlu diberikan perhatian khusus.

Berutang bukan hal haram dalam bisnis bagi perusahaan. Namun ada yang perlu dijaga dalam pelaksanaannya, yakni kemampuan pengembalian utang.

Rasio tingkat utang Garuda yang terus meningkat tercermin dari Debt to Equity Ratio yang meningkat dari 1,7 di 2017 menjadi 2,49 di 2018. Peningkatan ini perlu mendapatkan perhatian khusus.

Sebelumnya, pada pertengahan Juni 2019, lembaga Lembaga pemeringkat global, Moody's Investor Service bahkan ikut mempertanyakan kemampuan pengembalian utang oleh Garuda setelah melihat indikator Interest Coverage Ratio (ICR) yang negatif.

Selain itu dalam jangka pendek, dilihat dari posisi keuangan, kini Garuda punya pekerjaan lainnya yang juga tak kalah penting yakni untuk menyelesaikan pembayaran utang jangka pendek. 

Per 31 September 2019 (tidak diaudit), total kewajiban jangka pendek mencapai USD2,87 miliar atau sekitar Rp40,08 triliun.

Untuk menutup sebagian utang jangka pendek yang segera jatuh tempo, Garuda membutuhkan pendanaan sekitar USD900 juta atau sekitar Rp12,59 triliun. 

Dana tersebut akan digunakan kembali (refinancing) untuk membayar sukuk global yang telah diterbitkan di 2015 silam oleh Garuda yang akan jatuh tempo di pertengahan Juni 2020 mendatang.

Bukan jumlah yang sedikit, terlebih kas setara kas perusahaan yang ada pun tak cukup untuk membayar keseluruhan utang jangka pendek yang akan jatuh tempo. 

Pada laporan yang sama per September 2019 (tidak diaudit), kas setara kas perusahaan hanya sekitar USD346 juta atau sekitar Rp4,8 triliun.

Tak ada pilihan lain, mau tak mau Garuda harus mengumpulkan pendanaan dari market/pasar dan pihak eksternal agar tak mengganggu likuiditas perusahaan. 

Tentu sangat tak mudah, tantangannya semakin berat tatkala ada sisi trust (kepercayaan) market (pasar) yang cenderung labil melihat "tingkah" sebagian pimpinan Garuda masa lalu.

Adanya penyajian kembali (restatement) laporan keuangan Garuda 2018 (audited) malah menunjukan terjadinya kerugian hingga Rp2,45 triliun atau sekitar USD175 juta.

Restatement laba rugi tersebut meskipun sesuai standar dan peraturan yang berlaku Pasal No 69 UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jis. 

Peraturan Bapepam dan LK No. VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten dan Perusahaan Publik, tetap saja mempengaruhi psikologis market dan menimbulkan pertanyaan publik ada apa dengan Garuda?

Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat No. S-21/PM.1/2019 menjatuhkan sanksi administratif kepada Garuda akibat hal ini.

Di samping itu, kasus penyelundupan Brompton dan Harley Davidson ikut memengaruhi citra perusahaan. Ini terkait dengan integritas yang mempengaruhi citra perusahaan.

Beruntung dalam hal ini, Garuda bukan swasta, Garuda citranya masih tertolong dengan predikat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena pemilik mayoritas tak akan tinggal diam, pasti akan ada langkah-langkah penyelamatan, meskipun kita tahu banyak BUMN yang berhenti beroperasi meskipun sudah dibantu diselamatkan. Hal ini yang perlu diwaspadai.

Kedua, fokus terhadap re-profiling bisnis utama dan penunjang. 

Meskipun pada Desember 2018 (audited restatement) Garuda rugi hingga Rp2,45 triliun atau sekitar USD175 juta, kerugian tersebut masih lebih rendah dibandingkan kerugian di 2017 yang mencapai US214 atau sekitar Rp2,99 triliun.

Kinerja Garuda terus mengalami perbaikan. Berdasarkan laporan keuangan s.d TW III 2019, kinerja laba rugi (unaudited) mencatatkan kinerja positif hingga USD122,8 juta atau Rp1,7 triliun, Year on Year ("YoY") pada triwulan yang sama tahun lalu meningkat dari angka minus USD110,2 juta atau minus sekitar Rp1,5 triliun.

Bagaimana Garuda dalam waktu yang singkat bisa mengembalikan kerugian menjadi keuntungan?

Jawabannya karena pendapatan usaha/operasi Garuda lebih tinggi dibandingkan beban usahanya. 

Sederhananya, efisiensi terjadi di Garuda dalam jangka waktu tersebut. Sehingga Garuda mencatat laba operasi yang USD253 juta atau sekitar Rp3,54 triliun padahal YoY rugi hingga USD70,8 juta atau rugi usaha sekitar Rp991 miliar.

Laba operasi yang positif sebagai tanda bahwa operasional Garuda telah membaik. Dari struktur beban usaha, Garuda berhasil menekan beban operasional sehingga turun sekitar 5%, selain itu pendapatan operasi/usaha juga naik sekitar 10%.

Garuda dalam hal ini sudah berhasil melakukan re-profiling bisnis. Re-profiling sendiri istilah yang sangat populer yang intinya adalah menggunakan data untuk menata ulang profil dengan menganalisis perbaikan atau aksi korporasi yang harus dilakukan.

Contoh re-profiling yang dilakukan Garuda adalah mengurangi utilitas pesawat dengan mengurangi frekuensi keberangkatan untuk jalur-jalur yang load faktornya tidak banyak, tidak gemuk dari sisi penumpang maupun dari sisi barang dan jasa. 

Hal ini tentu setidaknya akan mengurangi biaya bahan bakar.

Contoh lainnya seperti yang disampaikan oleh Garuda, dengan re-profiling balance sheet dengan negosiasi perpanjangan masa sewa pesawat yang secara akumulasi lebih hemat 25-30% dibandingkan sewa jangka pendek dan secara langsung mengurangi beban utang jangka pendek.

Re-profiling juga bisa dilakukan melihat laporan keuangan yang ada. 

Sebagai contoh pekerjaan yang masih perlu diselesaikan sesuai Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian September 2019 (unaudited) perihal Garuda sedang menyelesaikan permasalahan outstanding kontrak pembelian pesawat 49 pesawat Boeing 737 Max 8 dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2024.

Seperti kita ketahui sebelumnya, 1 pesawat jenis Boeing 737 Max 8 telah dimiliki oleh Garuda namun dalam perjalanannya dinyatakan belum layak terbang dan masih di grounded sejak 12 Maret 2019 sampai dengan hari ini. Sehingga Garuda kehilangan potensi pendapatan hingga USD5 juta.

Joint operation ("JO") antara Garuda dan Sriwijaya juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya hubungan JO sempat pasang surut. 

Padahal strategic partnership dengan Sriwijaya merupakan bagian penting yang diyakini mampu meningkatkan performa perusahaan sebagaimana informasi pada dokumen analyst meeting Garuda pada Q1 2019 .

Dalam makna yang lebih luas, re-profiling perlu dilakukan tidak hanya dalam struktur biaya, utang, piutang, dan struktur keuangan melainkan juga dalam struktur organisasi, mitra kerja sama, konsumen hinggi re-profiling anak dan cucu usaha, serta bisnis utama dan penunjang.

Setelah re-profiling dilakukan Garuda harus sudah lebih mengoptimalkan peran control tower performa perusahaan dengan menganalisis big data semua transaksi grup Garuda. Tak sulit bagi Garuda apalagi sebagai perusahaan publik.

Ketiga, human capital management. 

Dalam dokumen analyst meeting laporan kinerja Q1 2019 yang dipublikasikan pada portal perusahaan, Garuda menempatkan bagian human capital management dalam slide presentasi awal dari beberapa slide paparan yang ada.

Untuk langkah tersebut saya jarang menemui dalam paparan perusahaan-perusahaan, biasanya semua akan terkonsentrasi pada laporan keuangan dan bisnis. Untuk bagian ini kita patut memberikan apresiasi

Human capital management yang dimaksud seputar performance management system, employee benefit, talent acquisition, talent management, organization development, man power planning, dan human capital manual.

Mengelola ribuan karyawan dan banyaknya serikat pekerja Garuda tentu tak mudah. Ini tantangan yang berat bagi "pilot" Garuda berikutnya. 

Bagi saya, human capital management yang dipublikasikan adalah salah satu tanda bahwa human capital ("SDM") merupakan bagian penting bagi Garuda.

SDM bukan robot, butuh seni dalam mengelola SDM yang ada. 

Seni dimaksud itu seni mengelola SDM bukan berbasis kedekatan subjektif dengan atasan, bukan karena pengaruh adanya "orang kuat", seni itu mengelola SDM dengan basis kinerja tanpa memandang status sosial seseorang.

Harus ada sistem yang dibangun, bukan karena dasar like and dislike. Tegakan hukum dengan objektif bagi yang melanggar, apresiasi yang memang pantas diapresiasi sesuai Key Performance Indicators.

Di sinilah letak pentingnya SDM. Butuh pemimpin visioner dan harus adil dalam mengelolanya. 

Seperti kata Zig Ziglar, seorang ahli manajemen, yang selalu saya ulang-ulang, "You don't build a business. You build people, and people build the business."

Terakhir, kita jangan terlalu jauh membahas 3 (tiga) pekerjaan Garuda untuk menjaga fundamental perusahaan, yang harus dilakukan saat ini oleh Kementerian BUMN adalah segera mengisi dulu posisi Direktur yang kosong secara definitif.

Karena turbulensi Garuda perlu diatasi oleh orang-orang dengan komposisi lengkap, yang memiliki leadership yang kuat dan track record yang baik.

Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun