Bukan jumlah yang sedikit, terlebih kas setara kas perusahaan yang ada pun tak cukup untuk membayar keseluruhan utang jangka pendek yang akan jatuh tempo.Â
Pada laporan yang sama per September 2019 (tidak diaudit), kas setara kas perusahaan hanya sekitar USD346 juta atau sekitar Rp4,8 triliun.
Tak ada pilihan lain, mau tak mau Garuda harus mengumpulkan pendanaan dari market/pasar dan pihak eksternal agar tak mengganggu likuiditas perusahaan.Â
Tentu sangat tak mudah, tantangannya semakin berat tatkala ada sisi trust (kepercayaan) market (pasar) yang cenderung labil melihat "tingkah" sebagian pimpinan Garuda masa lalu.
Adanya penyajian kembali (restatement) laporan keuangan Garuda 2018 (audited) malah menunjukan terjadinya kerugian hingga Rp2,45 triliun atau sekitar USD175 juta.
Restatement laba rugi tersebut meskipun sesuai standar dan peraturan yang berlaku Pasal No 69 UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jis.Â
Peraturan Bapepam dan LK No. VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten dan Perusahaan Publik, tetap saja mempengaruhi psikologis market dan menimbulkan pertanyaan publik ada apa dengan Garuda?
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat No. S-21/PM.1/2019 menjatuhkan sanksi administratif kepada Garuda akibat hal ini.
Di samping itu, kasus penyelundupan Brompton dan Harley Davidson ikut memengaruhi citra perusahaan. Ini terkait dengan integritas yang mempengaruhi citra perusahaan.
Beruntung dalam hal ini, Garuda bukan swasta, Garuda citranya masih tertolong dengan predikat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena pemilik mayoritas tak akan tinggal diam, pasti akan ada langkah-langkah penyelamatan, meskipun kita tahu banyak BUMN yang berhenti beroperasi meskipun sudah dibantu diselamatkan. Hal ini yang perlu diwaspadai.
Kedua, fokus terhadap re-profiling bisnis utama dan penunjang.Â