Berdasarkan laporan keuangan inhouse per September 2019 (tidak diaudit), kas operasi masih positif di angka USD392 juta dollar atau sekitar Rp5,5 triliun.
Pada medio Desember 2018 (audited restatement) juga masih positif USD270 juta atau sekitar Rp3,8 triliun.
Kinerja arus kas operasi terus membaik sejak 2017, dimana arus kas operasi perusahaan pernah negatif minus USD62 juta atau minus Rp868 miliar pada Desember 2017 (audited).
Namun demikian, jika melihat posisi keuangan, tingkat utang yang terus meningkat juga menjadi potensi masalah fundamental yang perlu diberikan perhatian khusus.
Berutang bukan hal haram dalam bisnis bagi perusahaan. Namun ada yang perlu dijaga dalam pelaksanaannya, yakni kemampuan pengembalian utang.
Rasio tingkat utang Garuda yang terus meningkat tercermin dari Debt to Equity Ratio yang meningkat dari 1,7 di 2017 menjadi 2,49 di 2018. Peningkatan ini perlu mendapatkan perhatian khusus.
Sebelumnya, pada pertengahan Juni 2019, lembaga Lembaga pemeringkat global, Moody's Investor Service bahkan ikut mempertanyakan kemampuan pengembalian utang oleh Garuda setelah melihat indikator Interest Coverage Ratio (ICR) yang negatif.
Selain itu dalam jangka pendek, dilihat dari posisi keuangan, kini Garuda punya pekerjaan lainnya yang juga tak kalah penting yakni untuk menyelesaikan pembayaran utang jangka pendek.Â
Per 31 September 2019 (tidak diaudit), total kewajiban jangka pendek mencapai USD2,87 miliar atau sekitar Rp40,08 triliun.
Untuk menutup sebagian utang jangka pendek yang segera jatuh tempo, Garuda membutuhkan pendanaan sekitar USD900 juta atau sekitar Rp12,59 triliun.Â
Dana tersebut akan digunakan kembali (refinancing) untuk membayar sukuk global yang telah diterbitkan di 2015 silam oleh Garuda yang akan jatuh tempo di pertengahan Juni 2020 mendatang.