"Bang.. Bang.. " Dengan suara serak Rini membangunkan suaminya yang masih terlelap. Sebentar lagi adzan Shubuh, karena sudah terdengar suara orang mengaji.
"Hemmm... " Agus malah membalikkan badan sepertinya masih mengantuk.
"Bang!!" Rini menggoyang-goyangkan badan suaminya. Membuat Agus kaget dan terduduk dengan cepat.
"Napa Rin? Banyak betul keringatmu! Basah semua ini. Kenapa Rin?" Dirabanya dahi Rini.
"Lemas Bang."
"Ayok duduk dulu. Sebentar kuambilkan air dan handuk kecil."
Dengan telaten Agus mengelap keringat Rini dengan kompresan air hangat dan mengeringkannya dengan handuk kecil tersebut.Â
"Baring sini dulu. Takut Edo terbangun. Mau sarapan apa? Biar habis sholat langsung dicarikan."
"Mual Bang, mau buah yang dalam kulkas tadi malam tu."
"Dingin tu. Karbohidrat dulu, nasi dululah Rin. Tolonglah, jangan makin bikin aku khawatir. Ya?"
"Terserah Abang saja." Rini pasrah karena memang tak ada selera sama sekali. Kepalanya berat dan badan panas seperti orang demam meriang.
Dengan cepat Agus segera ambil wudhu dan menunaikan sholat Shubuh yang tak bisa dilakukannya di Mesjid. Hatinya sebenarnya risau, tak mau terjadi apa-apa dengan Rini dan kandungannya.Â
"Kenapa Nak?" Tiba-tiba Ibu muncul di dapur.
"Agus mau bikin nasi goreng Bu ni dah mau selesai, tinggal ceplok telur." Ibu tersenyum melihat putra sulungnya begitu sigap memasak untuk Rini.
"Hati-hati tu apinya kecilkan lagi Nak. Edo dah bangun belum?"
"Belum Bu. Agus ngasi Rini makan dulu ya?"
"Loh, emang Rini kenapa Gus?"Â
"Rini sakit Bu, tapi semalam kan baru habis berobat. Coba dikasi makan dulu."
"Oh ya sudah, Ibu buatin sarapan Ayah kamu dulu ya."
"Iya Bu."
***
Usia kandungan Rini sudah memasuki 28 Minggu. Perutnya pun sudah semakin membesar. Namun sudah jarang merasakan sakit. Terakhir USG 3 bulan yang lalu. Sehingga jenis kelaminpun belum diketahui sama sekali. Rini sangat berharap calon adiknya Edo adalah laki-laki juga agar tak perlu membeli baju dan keperluan lainnya lagi, cukuplah memakai bekas baju Edo yang masih bagus. Sebenarnya dia capek juga naik motor karena takut jatuh, namun jika bang Agus sudah memaksa dia pun tak bisa berkata apa.Â
"Doain hari ini gajian ya Rin." Agus siap-siap memakai baju seragam securitynya.
"Aamiin Bang."
"Kalau sore nanti cair malamnya kita USG ya." Agus duduk di samping tempat tidur menatap wajah istrinya yang lelah. Mungkin penat tiap hari harus membawa perutnya yang semakin hari semakin besar dan berat.
"Capek Bang. Tak sanggup naik motor, takut jatuh nanti."
"Bawa pelan-pelan aja nanti. Pegang kuat-kuat nanti. Dah berapa bulan kita tak USG, nanti takut ada masalah Rin."
"Aku gak mau Bang. Jangan paksalah Bang. Bawa badan aja macam tak kuat. Sesak juga Bang."
"Mau sewa mobil aja?"
"Sayanglah uangnya."
"Tuh kan, kalo duit gitulah dia. Disayang-sayang. Rezeki anak tu ada aja, yakinlah Rin."
"Iya Bang." Rini penat menjawab suaminya terus.
"Aku berangkat, Assalamualaikum." Agus menyalami dan mencium kening istrinya. Tak sampai hati meninggalkannya dalam keadaan sulit begitu, namun dia harus masuk hari ini, berharap keluar juga gajinya demi bisa periksa ke dokter. Biar tahu kapan prediksi melahirkan dan kapan dia ambil cuti ketika Rini melahirkan nanti. Semoga semua lancar tanpa satupun masalah.
***
"Alhamdulillah Rin, semoga hasil USG ini tak meleset ya." Agus tak berhenti menatap foto USG Rini yang baru saja didapatnya dari hasil pemeriksaan tadi.
"Bisa aja meleset Bang. Jangan terlalu berharap." Rini takut jika hasil USG itu benar, bagaimana jika adik Edo benar-benar perempuan? Dia takut sekali karena hatinya sangat tak ingin punya anak perempuan. Selain masa kecilnya dulu yang sering diperlakukan tak adil, ibu mertuanyapun lebih sayang dengan cucu perempuan. Mungkin menurut orang lain laki-laki dan perempuan dama saja, namun tidak dengan keluarganya. Mereka suka tak adil memperlakukan anak laki-laki dan perempuan. Cukuplah dia yang sakit. Jangan anaknya. Dia tak mau anaknya juga diperlakukan tak adil. Jangan sampai terjadi rasa benci dan iri satu sama lain. Rasanya ingin segera pindah dan kontrak rumah saja. Namun posisi bang Agus di rumah membuatnya harus mengubur dalam-dalam keinginan itu.
"Janganlah, tak mungkin seorang dokter memberi keterangan yang salah."
"Bisa saja Bang."
"Kamu kenapa Rin? Salah jika perempuan? Aku lihat wajahmu tu tak suka dari tadi. Kenapa emangnya jika anak kita perempuan? Baguslah jadi sepasang. Bersyukur kita harusnya."
"Lihat tu Ica dan Edo. Lihat gak? Gimana Ibu lebih sayang Ica?"
"Ya gak lah, ibu sayang semuanya. Hanya saja Ica kan suka nyimpan uang, kalo Edo suka dihabiskan untuk jajan. Bukan karena lebih sayang Ica."
"Abang tu kerja, ya tak taulah apa yang terjadi di rumah. Lagipula abang pasti bela Ibu. Aku tak mungkin didengar."
"Udah yok kita pindah kamar takut ibu dengar."
Rini ikut ajakan Agus. Mereka duduk di pinggiran tempat tidur.
"Sini dengerin, tolong buang fikiran buruk kamu tentang Ibu. Ibu tu udah tua, apapun yang dibilangnya biarkan saja. Andaipun di mata kita dia buat salah biar saja, kita yang paham diam saja Rin. Biar mulus kamu melahirkan nanti Rin."
"Tapi sakit hatiku Bang, aku kasihan lihat Edo." Berdua serentak mereka lihat Edo tidur dengan lelapnya.
"Kita banyak berdoa ya. Maafkan Aku, semua ini salahku. Andai Ibu dan Ayah tak bergantung padaku."
Rini menangis sedih mendengar kata-kata Agus. Hatinya makin bertambah susah mengingat keuangan yang habis begitu saja. Tadi saja habis tiga ratus ribu untuk USG. Belum untuk keperluan Edo yang masih ketergantungan dengan susu formula dan pempers.
"Hapus air mata kamu, tak bagus untuk anak kita. Ingat pesan Dokter. Biarlah kita susah sekarang. Semoga besok terbuka pintu rezeki kita yang lain. Aamiin."
"Iya Bang."
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H