Mohon tunggu...
Rizki Zakaria
Rizki Zakaria Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa

Penghuni bumi dan penyuka angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jeprut dan Bayang-Bayang Sekut

17 Desember 2024   09:38 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:38 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangunan semi kolonial berdiri tegap di atas bukit, tembok-temboknya memantulkan sinar matahari sore. Tahun --tahun dimana pandemi kelak melanda, hari-hari berjalan biasa seperti biasanya.

Para guru berusaha mendidik murid-murid dengan semangat, meski sebagian besar siswa hanya hadir untuk memenuhi absen. Mungkin setara dengan niat yang dihadirkan.

Sorot tajam tertuju pada sebuah ruang kecil di pojok, Jeprut duduk di kursi kayu yang masih kokoh. Di meja masih setengah gelas kopi tersaji. Wajahnya serius, matanya menatap HP yang layarnya sudah retak, tetapi entah ia menggulirkan apa, sepertinya ia tak paham dengan apa yang dilihatnya itu.

Jeprut baru setahun mengajar di sekolah ini. Di usianya yang 28 tahun, ia membawa dua beban besar: menjadi guru baru yang harus dihormati dan menjadi pria yang baru saja melewati perceraian pahit. Baru saja 2 pekan yang lalu, ia menyandang status duda. Kesedihannya memang tidak terlihat, tetapi mungkin ia sedang bingung.

Sebagai lulusan kampus populer, ia dikenal tegas, disiplin, dan aktif di perguruan silat sebagai aktivitas sampingannya. Tetapi, semua itu tidak cukup untuk mengisi kekosongan di hatinya kini.

Temperamental lamanya, memang terlihat sudah mulai mereda dalam beberapa tahun terakhir ini, ia tampaknya siap bangkit kembali memenuhi tujuan yang pernah tertancap saat masih berkuliah, memberikan pengajaran demi mencerdaskan kehidupan bangsa, katanya sih begitu.

Dan di sinilah Sekut muncul.

"Pak, tugas ini nggak ada gunanya," kata Sekut di ruang BK. Suaranya berat, penuh ejekan.

"Bapak tahu, kan? Orang tua saya bisa bayar guru lain buat ngajarin hal ini lebih baik."

Jeprut mengepalkan tangan di bawah meja.

"Sekut, tugas ini bukan soal uang. Ini soal tanggung jawab."

Sekut tertawa pelan, lalu bersandar di kursi.

"Saya nggak butuh ceramah, Pak. Kalau Bapak masih mau dihormati, cari cara lain!"

Jeprut menahan diri dengan sekuatnya. Tetapi hari-hari berikutnya, Sekut terus datang dengan komentar sinis, menguji kesabaran Jeprut. Ia anak orang kaya, superkaya. Mobil mewahnya sering parkir sembarangan di halaman sekolah. Orang-orang mengagumi kekayaan keluarganya, tetapi tidak ada yang bisa memahami sikapnya.

Suatu sore, saat Jeprut selesai mengajar, Sekut menunggu di depan ruang BK.

"Pak, kapan Bapak mau sadar kalau guru itu nggak lebih dari seorang pelayan?"

Jeprut berhenti di ambang pintu. Nafasnya berat. Ia berbalik, menatap Sekut tajam.

"Apa maksudmu?"

"Maksud saya, hidup ini soal siapa yang punya kuasa. Bapak jelas nggak punya apa-apa," jawab Sekut dengan senyuman meremehkan.

Entah apa yang terjadi setelah itu. Semua seperti kabur. Jeprut hanya ingat suara tamparan dan wajah Sekut yang terkejut. Sekolah heboh. Sekut melaporkan kejadian itu ke kepala sekolah, dan orang tuanya mengajukan tuntutan.

Dua minggu kemudian, Jeprut resmi dipecat. Ia tidak membela diri. Ia bahkan tidak berusaha menghubungi pengacara. Dalam pikirannya, ia hanya ingin semuanya berakhir.

***

Hari-hari setelah dipecat ia isi dengan keheningan. Ia tidak lagi bertemu dengan rekan guru. Jeprut menghabiskan waktu di rumah kontrakannya, memandang tembok kosong. Tetapi Sekut terus menghantui pikirannya.

Suatu malam, Jeprut berbicara dengan Damar, tetangga kontrakkannya.

"Sekut benar-benar membuatku kehilangan segalanya," kata Jeprut, suaranya berat.

Damar menatapnya lama, lalu berkata perlahan,

"Kenapa, Prut?"

"Gak ada." Jeprut tetap diam.

Damar mencoba untuk menayampaikan,


"Terkadang, kita melihat apa yang sebenarnya berasal dari dalam diri kita sendiri. Dunia luar sering menjadi cermin, memperlihatkan apa yang kita coba hindari."

Jeprut masih tetap terdiam. Kata-kata itu bergema di kepalanya dan bernyanyi dalam keheningan.

***

Seminggu kemudian, Jeprut memutuskan untuk kembali ke sekolah. Bukan untuk mengajar, tetapi untuk mencari Sekut. Ia berdiri di gerbang sekolah, memandang keramaian siswa yang keluar masuk. Tapi ia tidak menemukan Sekut. Tidak ada mobil mewah, tidak ada suara sarkastik itu lagi, entah kenapa.

Ia mendatangi ruang guru. Seorang guru senior menyapanya. "Jeprut, apa yang membawamu ke sini? Ada sesuatukah?"

"Saya mencari Sekut," jawab Jeprut singkat.

Guru itu mengernyit.

"Sekut? Jeprut, Sekut siapa?"

Jeprut tertegun.

"Apa maksud Ibu? Dia yang kelas X. Saya dikeluarkan dari sekolah ini kan karena menampar dia."

"Sadar, Jeprut. Kamu pasti salah. Kamu kenapa?"

Dunia Jeprut seakan runtuh. Hilang. Ia keluar dari ruang guru dengan langkah lemas. Angin sore menyapu wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menghilangkan kebingungan yang mencekik. Sekut tidak ada.

Ia berjalan pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Di tengah perjalanan, ia berhenti di tepi jalan dan menatap pantulan dirinya di kaca jendela toko. Wajahnya tampak lelah, tetapi dibalik itu, ia melihat sesuatu yang lebih dalam --- rasa sakit yang selama ini ia coba hindari.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap langit. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa perlu memaafkan dirinya sendiri.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun