Sekut tertawa pelan, lalu bersandar di kursi.
"Saya nggak butuh ceramah, Pak. Kalau Bapak masih mau dihormati, cari cara lain!"
Jeprut menahan diri dengan sekuatnya. Tetapi hari-hari berikutnya, Sekut terus datang dengan komentar sinis, menguji kesabaran Jeprut. Ia anak orang kaya, superkaya. Mobil mewahnya sering parkir sembarangan di halaman sekolah. Orang-orang mengagumi kekayaan keluarganya, tetapi tidak ada yang bisa memahami sikapnya.
Suatu sore, saat Jeprut selesai mengajar, Sekut menunggu di depan ruang BK.
"Pak, kapan Bapak mau sadar kalau guru itu nggak lebih dari seorang pelayan?"
Jeprut berhenti di ambang pintu. Nafasnya berat. Ia berbalik, menatap Sekut tajam.
"Apa maksudmu?"
"Maksud saya, hidup ini soal siapa yang punya kuasa. Bapak jelas nggak punya apa-apa," jawab Sekut dengan senyuman meremehkan.
Entah apa yang terjadi setelah itu. Semua seperti kabur. Jeprut hanya ingat suara tamparan dan wajah Sekut yang terkejut. Sekolah heboh. Sekut melaporkan kejadian itu ke kepala sekolah, dan orang tuanya mengajukan tuntutan.
Dua minggu kemudian, Jeprut resmi dipecat. Ia tidak membela diri. Ia bahkan tidak berusaha menghubungi pengacara. Dalam pikirannya, ia hanya ingin semuanya berakhir.
***