"Kamu suka baca buku?" sebuah tanyaan awal.
"Nggak pernah, Pak, nggak punya buku, malas juga ke perpus! Nggak seru, Pak!" jawabnya santai.
"Kalau baca cerpen, puisi, atau novel gitu, pernah?" saya mencoba bertanya lebih spesifik.
"Pernah sih, Pak, waktu SMP. Mending liat Youtube aja, Pak! Kenapa mesti baca, Pak?"
Sebenarnya, jawaban mereka sudah saya duga sebelumnya tetapi wawancara tetap dilakukan sebagai bentuk penegasan bahwa mereka memang belum terbiasa membaca. Dari kegiatan itu, saya jadi berkaca pada diri. Apakah saya pun demikian? Berapa buku sastra yang sudah dibaca?
Saya merasa cerita ini penting dibagikan, selain untuk dokumen pribadi, cerita ini dapat dijadikan landasan pengembangan penelitian, sarana berbagi pengalaman, alat ukur efektivitas metode, media, dan model pembelajaran.
Sebagai guru pengampu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, saya juga bertanggung jawab atas segala kelancaran maupun ketidaklancaran dalam pembelajaran, termasuk keabsahan model pembelajaran hingga kurikulum yang digunakan. Perhatian pun ditujukan juga terhadap nilai-nilai Pancasila dan GEDSI (gender, disabilitas, dan insklusi sosial). Nilai tersebut saya terapkan dalam berbagai bentuk, misalnya komunikasi saat pembimbingan, penentuan kelompok serta koreksi kalimat-kalimat pada teks yang dibuat peserta didik.
Peluang Penggalian Potensi Peserta Didik
Semua permasalahan awal berusaha saya hayati untuk kemudian diupayakan dalam bentuk rancangan pembelajaran inovatif. Dari penghayatan yang dilakukan, timbul beragam pertanyaan.
"Apa, ya, pembelajaran yang menarik dan bisa mengakomodasi peserta didik?"
"Bagaimana agar peserta didik merasa belajar tetapi mengasyikkan dan memberikan pelajaran/hikmah?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!