Siapa sangka Albert Camus yang dikenal sebagai tokoh filsuf “Absurdisme” dan sastrawan berkebangsaan Al Jazair merupakan tokoh yang gila terhadap sepakbola? Siapa sangka Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh revolusioner menjadikan ‘Sepakbola sebagai Alat Perjuangan?’ Siapa sangka Soeratin dapat berpikir bahwa bentuk perlawanan terhadap kolonialisme bisa dilakukan melalui sepakbola?
Secara historis, banyak tokoh yang mendeskripsikan sepakbola lebih dari sekedar permainan diatas rumput saja. Bayangkan saja, sepakbola yang sering diremehkan sebagai permainan paling mainstream dimaknai begitu luas.
Jika mengacu pada logika rasinalitas manusia yang mencintai sepakbola, mungkin sangat bertentangan dengan teori Rasionalitas-nya Descrates.
Ada hal yang sangat irasional yang memantik para pecinta sepakbola yang menjadikan sepakbola dianggap sebagai dewa yang sangat disanjung. Irasionalitas tersebut terbangun dari latar belakang mereka mencintai sepakbola; baik secara ontologis, historis, taktikal, atau permainan di dalam lapangan itu sendiri (pemain idola, tim kebanggaan, atmosfer di dalam stadion)
Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba menafsirkan sepakbola lebih jauh lagi. Sebagaimana yang disebutkan di prakata pembuka, sepakbola menjadi penyebar konsep humanisme di dalam suatu negara.
Sejarah dan Fanatisme Sepakbola
Jika kita menarik waktu pada beberapa tahun silam, tepatnya pada abad ke 19. Britania raya, Inggris menjadi tempat munculnya olahraga ini. Pada saat itu, sepakbola menjadi permainan yang dimainkan oleh kaum kelas pekerja di sela sela kesibukannya selepas bekerja.
Memang, beberapa sumber mengatakan bahwa sepakbola telah lahir sejak awal masehi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bill Murray dalam bukunya The World Game: A History of Soccer, Sepakbola sudah dimainkan pada awal masehi.
Masyarakat kuno pada saat itu memainkan sepakbola yang bola nya terbuat dari buntalan kain linen. Beberapa sumber lainnya mengatakan bahwa sepakbola telah ada pada zaman Mesoamerika Kuno yang terjadi pada 3000 tahun silam.
Pada waktu itu bangsa Aztec memainkan sepakbola dengan bola yang terbuat dari karet dan perlu diketahui juga bahwa pada zaman tersebut sepakbola dijadikan sebagai ritual kebudayaan.
Bola di ibaratkan seperti Matahari dan lawan yang kalah didalam pertandingan pun dijadikan bahan persembahan bagi para dewa. Nah, dari beberapa versi tersebut bisa kita simpulkan bahwa kelahiran sepakbola sudah ada sejak lama dan banyak digemari oleh masyarakat.
Sepakbola telah berkembang pesat menjadi salah satu olahraga yang paling banyak diminati oleh masyarakat dunia. Permainan ini menjadikan beberapa daerah membuat sebuah klub atau tim untuk bisa menyalurkan masyarakat yang ingin bermain sepakbola.
Perkembangan zaman pun menjadikan sepakbola mengalami masa transformasi dalam sistem, bentuk permainan, peraturan, dll. Hal ini lah yang kemudian menjadikan sepakbola menjadi olahraga yang ‘terlihat’ ekslusif dibandingkan olahraga lainnya.
Oleh karena itu, klub sepakbola yang ingin tampil di kompetisi kancah nasional atau bahkan internasional haruslah memiliki legitimasi dalam bentuk hukum yang absah. Hal inilah yang kemudian membentuk adanya supporter.
Jika berbicara sepakbola, supporter menjadi salah satu elemen yang tidak terpisahkan dari sepakbola itu sendiri. Salah satu pelatih manager klub liverpool, Bill Shankly, ia mengatakan bahwa, di dalam sepakbola terdapat tiga komponen tak terpisahkan dan memiliki hubungan diantara ketiganya, yaitu: Manager (Pelatih), Klub, dan Supporter. Konsep tersebut kemudian dinamakan dengan Holy Trinity of Football.
Jika pelatih adalah konseptor yang meracik para pemain sebelum bertanding didalam lapangan, dan klub adalah wadah dari para pemain untuk bisa bertanding. Maka, supporter adalah sekumpulan orang yang mendukung tim tersebut di luar lapangan baik pra-pertandingan maupun pasca pertandingan.
Kemunculan supporter tidak hanya menggambarkan bentuk dukungan terhadap klub ketika sedang bertanding. Akan tetapi, supporter menempatkan klub di hati dan jiwa mereka. Sehingga, ke manapun klub tersebut berlaga, supporter tersebut akan mendukungnya meskipun dengan berbagai kesulitan yang ia miliki. Hal itulah yang menjadikan sepakbola dikenal sebagai olahraga dengan fanatisme yang tinggi.
Fanatisme ini biasanya muncul atas beberapa hal, seperti adanya komunal komunal yang membangkitkan spirit kebanggaan terhadap klub, pemujaan yang berlebihan terhadap klub ataupun keberadaan wilayah supporter tersebut.
Meskipun beberapa orang menganggap fanatisme itu melahirkan sebuah tindakan kriminal, akan tetapi saya lebih percaya bahwa fanatisme itu dapat dikendalikan dengan cara dirawat dan diarahkan dengan baik.
Konsep Humanisme dalam Sepakbola
Secara teoritis, humanisme berasal dari dua kata, yaitu: humus dan isme. “Humus” yang berarti tanah dan bumi, dan “Isme” yang berarti paham, ajaran atau kepercayaan.
Dari akar kata humus kemudian memunculkan istilah seperti “homo” yang berarti manusia, “humanus” yang berarti manusiawi dan “humilis” yang berarti kesederhanaan.
Jika diartikan secara teologis, Humanisme merupakan sebuah ajaran yang menempatkan manusia kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Paradigma humanisme yang mencuat pada zaman renaissance sebenarnya terbangun atas kultur Yunani Kuno dengan landasan eudaimonia atau kebahagiaan sebagai manusia.
Selain itu, pengaruh peradaban barat menjadikan konsep humanisme berpusat pada aliran kosmosentris dan teosentris sebelum berevolusi kembali pada pemahaman humanisme universal yang membentuk kesadaran baru pada hakikat manusia yang berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri yang bebas dari penjajahan dan bermartabat.
Prinsip utama dari humanisme adalah menjadikan manusia layaknya manusia dengan mengedepankan haknya untuk bisa hidup dengan damai, menolong sesama, menghargai orang lain, saling toleransi dll.
Lalu, apa kaitannya dengan sepakbola?
Jika menarik prinsip humanisme didalam lapangan, sepakbola menjadi ladang yang besar untuk menyebarkan ujaran kasih dan cinta di dunia olahraga.
Apalagi, sepakbola menjadi salah satu olahraga yang dimainkan dalam bentuk tim. Meskipun tensi dalam permainan sepakbola bisa begitu panas, akan tetapi nilai kemanusiaan itu perlu dijunjung tinggi. Bahkan salah satu bentuk jargon yang terus digaungkan oleh pecinta sepakbola adalah “Rivalitas hanya 90 menit” atau “No Hate Love Football”.
Apa yang perlu di dekontruksikan di dalam sepakbola?
Belajar dari beberapa tragedi berdarah dalam sepakbola; seperti kasus Hillsborough, Kanjuruhan Disaster, Tragedi Stadion Peru, dll. Mengedepankan prinsip humanisme dalam sepakbola menjadi hal yang diharuskan.
Fanatisme sepakbola adalah bentuk dinamika boleh terjadi, akan tetapi kemanusiaan tetap diatas segalanya. Ketiga elemen tersebut sudah semestinya saling bekerjasama dalam membentuk iklim sepakbola yang humanis.
Sebab, seringkali klub dan supporter saling berseberangan yang membuat supporter tidak lagi percaya pada manajemen klub dan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap tim, mereka membuat sebuah gebrakan atau protes yang mungkin saja terlihat arogan.
Andai saja Max weber hidup pada abad 19 atau 20, mungkin baginya sepakbola lah yang dianggap candu. Sebab kecintaan sepakbola sudah mengakar dan bahkan menempatkan posisi klub kecintaannya layaknya Tuhan. Spirit kebersamaan yang dibangun diantara komunal komunal supporter membangun kebersamaan antar supporter untuk membentuk rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi.
Dekontruksi terhadap nilai humanisme yang terjalin antar supporter juga membuat para supporter tidak hanya bicara tentang sepakbola di dalam lapangan saja, bahkan sampai berjuang untuk mengedepankan hak persamaan semua masyarakat untuk bisa mendapatkan lahan untuk bisa bermain bola bersama
“FOOTBALL FOR UNITY”
“FOOTBALL FOR HUMANITY”
Slogan seperti itulah yang membuat sepakbola seperti tujuan awal dicetuskan. Rasionalitas memang menjadi hal yang sulit dikedepankan ketika fanatisme itu menyebar lebih luas, akan tetapi emosional yang berasal dari hati nurani dapat membangkitkan kepedulian yang tinggi.
Bahkan di Indonesia sendiri, para supporter banyak yang mengadakan agenda kolektif berbasis solidaritas untuk memperjuangkan pendidikan gratis, hak tanah seperti di Dago Elos, keadilan terhadap korban kekerasan dan kegiatan kemanusiaan lainnya.
Hal itulah yang perlu dibangun kembali di dalam iklim sepakbola supaya sepakbola tidak hanya dinilai sebagai olahraga saja akan tetapi alat perjuangan dan pemersatu bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI