Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat gerak sosial geografis oleh seorang individu. Zaman sekarang bukan lagi hal tabu tentang perantauan. Tua atau muda, perempuan atau laki-laki mempunyai hak yang sama dalam konteks perantauan, apalagi tentang melanjutkan pendidikan di luar kota. Dari sisi ini munculah keberagaman budaya menjadi satu, mulai dari bahasa, norma sosial hingga proses pendidikan yang berbeda dari sebelumnya yang dapat memunculkan reaksi emosional yaitu culture shock dari beberapa individu perantau(Devinta, 2016)
    Culture shock merupakan persaan terkejut karena budaya baru, lingkungan baru, bahasa baru, norma-norma sosial baru, adat istiadat baru saat seorang individu pergi merantau dari daerahnya ke luar dari daerahnya. Culture shock bukan masalah yang baru dalam hal perantauan, karena semua perantau akan mengalami culture shock dengan lingkungan barunya namun, yang membedakannya adalah cara mengatasi culture shock tersebut apakah memerlukan adaptasi yang singkat atau yang panjang dan tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor dan upaya ataupun solusi.
     Culture shock dalam konteks mahasiswa rantau mengacu pada perasaan tertekan atau syok yang dialami ketika dihadapkan dengan budaya dan lingkungan baru. Ini adalah reaksi umum bagi mahasiswa perantau atau mahasiswa yang memasuki area baru dengan budaya, adat istiadat, norma, bahasa, dan nilai yang berbeda. Fenomena ini sering disertai dengan gejala seperti kecemasan, stres, keragu-raguan, dan perasaan takut dan tidak aman ketika berinteraksi dengan orang lain karena banyaknya perbedaan di area baru. Faktor culture shock bisa berasal dari faktor lingkungan dan diri sendiri (Sabrina, 2022).
    Terkait dengan adaptasi mahasiswa perantau dalam menghadapi culture shock, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk membantu mereka mengatasi culture shock tersebut. Pertama, pihak universitas atau institusi pendidikan dapat menyediakan program orientasi atau bisa disebut sebagai masa ospek khusus bagi mahasiswa baru yang berasal dari luar kota atau daerah. Program ini tidak hanya memberikan informasi praktis tentang lingkungan kampus, tetapi juga memperkenalkan aspek-aspek budaya dan sosial yang relevan dengan lingkungan baru mereka. Dalam program ini, mahasiswa diperkenalkan dengan kegiatan kelompok, mendapatkan panduan tentang cara berinteraksi dengan sesama mahasiswa dari latar belakang budaya yang berbeda, dan mengakses sumber daya pendukung untuk membantu mereka beradaptasi.
     Kedua, membuat ruang bagi mahasiswa perantau untuk tetap terhubung dengan budaya asal mereka juga penting dalam mengurangi dampak culture shock. Contohnya mengadakan acara atau kegiatan yang memungkinkan mahasiswa untuk berbagi tentang kebiasaan, makanan, dan tradisi dari daerah mereka. Dengan cara ini, mereka merasa dihargai dan diakui, serta dapat tetap merawat identitas budaya mereka, yang pada gilirannya dapat membantu mereka lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa merasa kehilangan identitas mereka.
    Dalam konteks pendidikan perguruan tinggi, pengalaman merantau dan pengalaman culture shock juga merupakan bagian dari proses pembelajaran yang berharga bagi mahasiswa yang baru merantau. Mahasiswa akan belajar tentang toleransi, pemahaman yang lebih luas tentang perbedaan budaya satu daerah dengan daerah lainnya, serta keterampilan adaptasi yang dapat sangat berguna dalam kehidupan profesional dan pribadi mereka di masa depan. Oleh karena itu, mendukung mahasiswa dalam mengatasi culture shock dengan mendorong penyesuaian budaya dapat membantu mereka tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang baru dengan baik.
Faktor - Faktor yang Menyebabkan Culture shock Pada Mahasiswa Rantau
Culture shock dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal bersal dari diri sendiri, yaitu perasaan kerinduan pada rumah, perasaan gelisah, rasa kehilangan, cemas, dan ketidak berdayaan ketika dihadapkan oleh sesuatu yang baru (Mahennaro, 2022b). Karakteristik fisik juga mempengaruhi faktor internal, seperti penampilan, umur, kesehatan, dan kemampuan sosialisasi, umumnya perempuan yang memiliki cara adaptasi cenderung lebih lama dari pada laki-laki.
 Sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan. Perbedaan budaya setempat dari budaya asal daerah, adat istiadat yang berbeda, bahasa dan lain-lain yang ada sangkut pautnya dengan lingkungan keberadaanya, culture shock terjadi lebih cepat jika budaya, norma sosial, bahasa, dan sikap dari Masyarakat setempat sangat amat berbeda dengan keadaan lingkungan asal(Likandi & Sugiyartati, 2023).
Tahapan Culture Shock
Menurut Riadi (2021) ada empat tahapan culture shock yaitu fase honeymoon atau masa dimana individu merasa sangat senang ketika baru datang di lingkungan barunya, fase frustasion atau masa dimana individu mulai merasa ekspetasinya tidak sesuai dengan realita, fase readjustment atau masa adaptasi, fase resolution atau masa proses adaptasi mulai berlaku dan pada masa ini individu mulai menerima tentang realita yang terjadi.