Mohon tunggu...
Rizka Fayyida
Rizka Fayyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lawan Kekerasan Seksual

6 Januari 2023   13:40 Diperbarui: 6 Januari 2023   18:27 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat dan berhak atas suaka politik di negara lain. 

Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 mengatur perwujudan hak atas perlindungan dari ancaman kekerasan, yang meliputi perlindungan martabat manusia, status normalnya tidak hanya terkait dengan perwujudan martabat manusia, tetapi juga sebagai hak konstitusional yang harus dilaksanakan sebagai hak hukum melalui peraturan perundang-undangan. 

Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 dapat dirumuskan sedemikian rupa sehingga harkat dan martabat manusia merupakan konsep dan kerangka hak asasi manusia. Martabat manusia adalah konsep yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sama mendasarnya dengan konsep hak asasi manusia.

Meskipun UUD NRI Tahun 1945 tidak menjelaskan secara rinci arti dari derajat martabat manusia, prinsipnya adalah penghormatan terhadap diri dan martabat manusia yang berkaitan dengan integritas dan pemberdayaan fisik dan psikis. Martabat manusia adalah bagian penting dari hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Dengan demikian, harkat dan martabat manusia dilanggar atau setidak-tidaknya dilanggar oleh perbuatan tidak adil berdasarkan sifat atau keadaan pribadi, yang tidak berkaitan dengan kebutuhan, kemampuan atau sifat orang tersebut dalam kaitannya dengan penghapusan kekerasan seksual. 

Beberapa martabat manusia dapat dipulihkan dan diperkuat melalui undang-undang yang peka terhadap perbedaan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik setiap orang, dengan memperhatikan konteks yang mendasari perbedaan tersebut. Di sisi lain, harkat dan martabat manusia dirugikan ketika seseorang atau sekelompok orang dikucilkan, diabaikan dan dipinggirkan. Dalam konteks penegakan hukum, derajat harkat dan martabat manusia memerlukan hukum yang sepenuhnya mengakui status setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat. Martabat manusia merupakan salah satu pasal konstitusi masih sering dilanggar melalui paksaan, ancaman atau kekerasan. Kekerasan seksual merupakan salah satu jenis pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional, karena menurut UUD NRI Tahun 1945 terdapat kegiatan yang mendistorsi harkat dan martabat manusia.

Rumusan tata cara perlindungan harkat dan martabat manusia sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia menurut UUD NRI Tahun 1945 masih bersifat abstrak. Dalam hal kekerasan seksual, ketentuan Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat ditegakkan dan memberikan perlindungan khusus. Secara konstitusional, ketentuan Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 dapat dijadikan sebagai landasan filosofis untuk menghasilkan produk hukum terkait pengaturan kekerasan seksual, seperti yang tertuang dalam UU PKDRT, UU Perlindungan anak, dan UU PTPPO.

Selain itu, negara harus berpartisipasi aktif dalam membangun keadilan menyeluruh bagi para korban dan keluarganya, mendeportasi pelaku kejahatan dan menghapus impunitas. Perlakuan yang cepat, tepat dan adil terhadap korban dan keluarganya atau advokatnya dari awal hingga akhir persidangan. 

Kewajiban negara atas pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan ketidak perulangan perlu diimporporasikan dalam mekanisme negara sehingga seluruh upaya mengembalikan situasi yang lebih baik bagi korban didukung oleh mekanisme yang sistematis. Sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya yang berkenaan dengan tujuan penanggulangan kejahatan, tidak cukup hanya melihat dan mengatur tentang bagaimana kejahatan tersebut ditanggulangi dan penekanan pada pengaturan pencerahan balasan atas perbuatan "pelaku kejahatan," baik secara benar maupun non penal, tetapi harus mengintegrasikannya dengan pemenuhan hak-hak korban. Pengaturan hak korban dalam hukum pidana dilandasi pemikiran bahwa setiap tindak kejahatan akan selalu menimbulkan kerugian bagi orang lain, yaitu korban. Karenanya, hak-hak korban diintegrasikan pengaturannya dalam keseluruhan proses atau tahapan peradilan dan menjadi tanggung jawab bagi pelaku kejahatan untuk memulihkan dan memperbaiki kerusakan yang dialami korban.

Pengaturan Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia saat ini belum memberikan perlindungan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Problem pokok pertama, adalah keragaman (diversifikasi) pengaturan hukum tentang kekerasan seksual yang mengakibatkan batasan, ruang lingkup, dan tujuan dari pengaturan kekerasan seksual berbeda-beda. Hal dini menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Kedua, bahwa bentukan-bentukan kekerasan seksual sesungguhnya tidaknya berkaitan dengan tindakan kriminal terhadap organ seksual, tetapi manifestasi dari bentuk diskriminasi gender dalam konstruksi budaya masyarakat patriarki. Ketiga, perspektif serta orientasi aparat penegak hukum lebih menitikberatkan pada tindakan represif atau pemidanaan bagi pelaku, bukan pada perlindungan dan pemenuhan kepentingan terbaik bagi korban, perubahan perilaku bagi pelaku, serta pemulihan keseimbangan dalam masyarakat.

Sumber referensi:

- Attamimi, Hamid S., Hukum tentang peraturan perUndang-Undangandan peraturan kebijakan (hukum tata Negara) (Jakarta, Universitas Indonesia, 1990)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun