f. Keterbatasan pengaturan dan perubahan makna ganti rugi bagi korban mengakibatkan korban tidak menerima santunan atau ganti rugi dari pelaku. Kondisi ini, menegaskan pentingnya kualifikasi bentuk ganti rugi materiil dan immaterial serta mekanisme eksekusi restitusi.
Sedangkan untuk struktur kepolisian terdapat permasalahan yaitu penanganan kasus kekerasan seksual yang kurang memadai dan perlindungan terhadap korban. Hal ini terlihat ketika aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan belum sepenuhnya menangani kekerasan seksual dengan cara yang berbeda. Meskipun kemajuan telah dicapai di banyak bidang, namun tidak merata di semua sektor. Misalnya, masih kurangnya kesempatan untuk memeriksa korban di ruang terpisah dari pendengar lain, masih ada lembaga kepolisian yang memahami isi undang-undang dari sudut pandang selain dari sudut pandang korban, masih ada lembaga kepolisian yang tetap gagal untuk memahami dan mempersiapkan kebutuhan korban secara memadai.Â
Banyak perspektif budaya hukum masyarakat, termasuk penegakan hukum yang tidak berperspektif korban. Oleh karena itu, kasus kekerasan seksual dianggap sebagai masalah pribadi, sepele, dan lebih baik mengutamakan nama baik, keluarga, dan masyarakat. Asumsi ini tercermin dari perilaku aparat kepolisian dan aparatur pemerintah dalam menanggapi peristiwa kekerasan seksual, seperti kurangnya empati terhadap perempuan korban bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Korban harus menceritakan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya berkali-kali, mulai dari penyelidikan hingga persidangan. Kerahasiaan korban juga sering diabaikan. Dalam menangani kasus kekerasan seksual, permasalahannya adalah kurangnya keahlian dalam memahami kasus kekerasan seksual dan kurangnya sudut pandang korban.Â
Persoalan-persoalan pada ranah substansi, struktur, dan kultur dari suatu beberapa pengaturan (diversifikasi) tentang kekerasan seksual pada gilirannya menjadikan pengaturan kekerasan seksual belum secara komprehensif dalam:
1. menjamin perlindungan korban kekerasan seksual,Â
2. menjamin tidak berulangan kekerasan seksual, dan
3. terciptanya sistem pencegahan yang efektif.Â
Ketiadaan ketiga faktor tersebut mengakibatkan tidak tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, khususnya bagi korban kekerasan seksual.
Selain itu, yaitu adanya distorsi perlindungan harkat dan martabat manusia dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945. Ditinjau dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi sumber hukum di Indonesia bagi proses dan produk hukum dalam negeri, perlindungan hak asasi manusia yang disampaikan dalam Bab XA menjadi landasan konstitusional bagi seluruh produk hukum di Indonesia.
Meskipun UUD NRI Tahun 1945 tidak secara langsung menyebutkan kekerasan seksual, namun dasar dan arah pengaturan kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman dan hak untuk dilindungi bebas dari menyiksa atau perlakuan merendahkan. Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa:Â
 1. Setiap orang berhak atas perlindungan dirinya, keluarganya, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan aman mengancam untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.Â