Mohon tunggu...
Rizka Fayyida
Rizka Fayyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lawan Kekerasan Seksual

6 Januari 2023   13:40 Diperbarui: 6 Januari 2023   18:27 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud. Sumber Ilustrasi: Suara.com

TUGAS UAS PANCASILA

Dosen Pengampu : Dr. WAHIDULLAH, S.H.I., M.H.

Penyusun : Rizka Fayyida 

NIM : 221510000502

Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam 

Fakultas : Dakwah dan Komunikasi

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

"LAWAN....! KEKERASAN SEKSUAL"

Indonesia merupakan negara hukum, dengan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar dalam peraturan Perundang-undangan. Salah satu amanat konstitusi kepada Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Pemerintah, melalui upaya, kewenangan, kebijakan, serta program pembangunan, berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dengan segala keragaman anak bangsa. Dalam pembangunan hukum nasional maka salah satu isu yang strategis adalah mengenai penghapusan kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual, dari tahun ke tahun, seperti fenomena gunung es, yang memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual terjadi pada anak-anak serta perempuan dewasa maupun usia muda. Sedangkan akar permasalahannya memiliki kompleksitas yang saling terkait, baik itu masalah sosial, ekonomi, budaya, kejiwaan, dan kejahatan. Oleh karena itu, upaya penghapusan kekerasan seksual, membutuhkan prespektif yang luas, yang mengaitkan berbagai bidang dimensi kehidupan sosial dan individu, serta penegakan hukum dalam penghapusan kekerasan seksual.

Masih adanya kekerasan menunjukkan bahwa masih kurang maksimalnya upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan atas kasus kekerasan seksual di Indonesia. Meskipun telah ada beberapa undang-undang terkait pengaturan kekerasan seksual, namun belum mampu memberikan perlindungan yang optimal, khususnya kepada korban kekerasan seksual. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka hak atas perlindungan harkat dan martabat manusia yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945 tidak akan terpenuhi. Dalam dalam rangka menemukenali problem hukum pengaturan kekerasan seksual terdiri dari Legal Policy dan Human Dignity.

Diversifikasi kebijakan hukum (legal policy) terkait kekerasan seksual dan dampaknya hingga saat ini terdapat beberapa undang-undang yang mengatur kekerasan seksual di Indonesia. Dari sisi material, ini adalah semacam diversifikasi kebijakan hukum. Dalam konteks kebijakan hukum pragmatis, diversifikasi kebijakan hukum (legal policy) diperlukan untuk mempersempit kekosongan hukum. 

Beberapa peraturan perundang-undangan memang mengatur kekerasan seksual, tetapi tidak semua peraturan tersebut sepenuhnya memahami pendekatan holistik terhadap masalah yang lebih dalam terkait dengan kekerasan seksual. Selain itu, undang-undang dan peraturan yang ada harus dilengkapi dengan undang-undang substantif dan formal, termasuk mekanisme pencegahan, perlindungan, dan penanganan yang berpihak pada korban.

Sebagaimana dikemukakan dalam analisis instrumen hukum kekerasan seksual sebelumnya, muatan hukum beberapa undang-undang tidak secara komprehensif mengatur kekerasan seksual, mulai dari definisi kekerasan seksual, upaya pencegahan, perlindungan dan penanganan pemulihan korban. Dengan demikian, diversifikasi ketentuan tentang kekerasan seksual menimbulkan kesenjangan dalam memastikan perlindungan korban secara optimal dan membuka perbedaan interpretasi terhadap substansi muatan aparat penegak hukum.

Berdasarkan hal di atas, secara substantif dapat ditemukan persoalan materi muatan hukum sebagai berikut:

a. Cakupan terbatas kekerasan seksual diatur dalam KUHP, UU PKDRT, UU HAM, UU PTPPO, Konvensi Anti Penyiksaan, UU Perlindungan Anak, UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 tentang Pornografi. Terbatasnya cakupan tindak pidana perkosaan mengakibatkan kasus kekerasan seksual yang dialami korban tidak diakui sebagai tindak pidana atau pelanggaran ringan. Misalnya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan aborsi, perkawinan paksa, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

b. Kegagalan untuk mengatur beberapa jenis kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan membuka impunitas bagi pelakunya, karena aparat penegak hukum tidak memiliki badan normatif yang menangani kekerasan seksual dalam hukum pidana, tetapi tidak diatur oleh undang-undang manapun. Impunitas juga disebabkan oleh undang-undang dan peraturan yang mengecualikan pelaku kejahatan dari militer, dan kebijakan diskriminatif di zona konflik yang membuka peluang terjadinya kekerasan seksual oleh aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya. 

c. Adanya regulasi yang mengatur kekerasan seksual sebagai kejahatan berdampak pada perbedaan interpretasi terhadap penanganan kekerasan seksual. Segala bentuk kekerasan seksual disalah pahami sebagai kejahatan yang harus terlebih dahulu dilaporkan oleh korban sehingga kekerasan seksual dapat diperlakukan sebagai masalah pribadi dan dicabut atau didamaikan. 

d. Terbatasnya pengaturan perlindungan terhadap korban dalam KUHP, Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan Korban, dimana korban hanya mendapat perlindungan jika menempuh proses hukum. Sedangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terbatas pada perlindungan terhadap anak.

e. Dalam KUHAP, pengaturan pembuktian kasus kekerasan seksual terbatas, karena itu proses persidangan kasus kekerasan seksual diperlakukan sama dengan tindak pidana lainnya. Padahal, sejatinya kekerasan seksual sebenarnya merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menyasar pada kelompok rentan menjadi korban, yakni perempuan dan anak-anak, sehingga diperlukan pula perlakuan khusus. 

f. Keterbatasan pengaturan dan perubahan makna ganti rugi bagi korban mengakibatkan korban tidak menerima santunan atau ganti rugi dari pelaku. Kondisi ini, menegaskan pentingnya kualifikasi bentuk ganti rugi materiil dan immaterial serta mekanisme eksekusi restitusi.

Sedangkan untuk struktur kepolisian terdapat permasalahan yaitu penanganan kasus kekerasan seksual yang kurang memadai dan perlindungan terhadap korban. Hal ini terlihat ketika aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan belum sepenuhnya menangani kekerasan seksual dengan cara yang berbeda. Meskipun kemajuan telah dicapai di banyak bidang, namun tidak merata di semua sektor. Misalnya, masih kurangnya kesempatan untuk memeriksa korban di ruang terpisah dari pendengar lain, masih ada lembaga kepolisian yang memahami isi undang-undang dari sudut pandang selain dari sudut pandang korban, masih ada lembaga kepolisian yang tetap gagal untuk memahami dan mempersiapkan kebutuhan korban secara memadai. 

Banyak perspektif budaya hukum masyarakat, termasuk penegakan hukum yang tidak berperspektif korban. Oleh karena itu, kasus kekerasan seksual dianggap sebagai masalah pribadi, sepele, dan lebih baik mengutamakan nama baik, keluarga, dan masyarakat. Asumsi ini tercermin dari perilaku aparat kepolisian dan aparatur pemerintah dalam menanggapi peristiwa kekerasan seksual, seperti kurangnya empati terhadap perempuan korban bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Korban harus menceritakan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya berkali-kali, mulai dari penyelidikan hingga persidangan. Kerahasiaan korban juga sering diabaikan. Dalam menangani kasus kekerasan seksual, permasalahannya adalah kurangnya keahlian dalam memahami kasus kekerasan seksual dan kurangnya sudut pandang korban. 

Persoalan-persoalan pada ranah substansi, struktur, dan kultur dari suatu beberapa pengaturan (diversifikasi) tentang kekerasan seksual pada gilirannya menjadikan pengaturan kekerasan seksual belum secara komprehensif dalam:

1. menjamin perlindungan korban kekerasan seksual, 

2. menjamin tidak berulangan kekerasan seksual, dan

3. terciptanya sistem pencegahan yang efektif. 

Ketiadaan ketiga faktor tersebut mengakibatkan tidak tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, khususnya bagi korban kekerasan seksual.

Selain itu, yaitu adanya distorsi perlindungan harkat dan martabat manusia dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945. Ditinjau dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi sumber hukum di Indonesia bagi proses dan produk hukum dalam negeri, perlindungan hak asasi manusia yang disampaikan dalam Bab XA menjadi landasan konstitusional bagi seluruh produk hukum di Indonesia.

Meskipun UUD NRI Tahun 1945 tidak secara langsung menyebutkan kekerasan seksual, namun dasar dan arah pengaturan kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman dan hak untuk dilindungi bebas dari menyiksa atau perlakuan merendahkan. Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: 

 1. Setiap orang berhak atas perlindungan dirinya, keluarganya, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan aman mengancam untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. 

 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat dan berhak atas suaka politik di negara lain. 

Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 mengatur perwujudan hak atas perlindungan dari ancaman kekerasan, yang meliputi perlindungan martabat manusia, status normalnya tidak hanya terkait dengan perwujudan martabat manusia, tetapi juga sebagai hak konstitusional yang harus dilaksanakan sebagai hak hukum melalui peraturan perundang-undangan. 

Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 dapat dirumuskan sedemikian rupa sehingga harkat dan martabat manusia merupakan konsep dan kerangka hak asasi manusia. Martabat manusia adalah konsep yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sama mendasarnya dengan konsep hak asasi manusia.

Meskipun UUD NRI Tahun 1945 tidak menjelaskan secara rinci arti dari derajat martabat manusia, prinsipnya adalah penghormatan terhadap diri dan martabat manusia yang berkaitan dengan integritas dan pemberdayaan fisik dan psikis. Martabat manusia adalah bagian penting dari hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Dengan demikian, harkat dan martabat manusia dilanggar atau setidak-tidaknya dilanggar oleh perbuatan tidak adil berdasarkan sifat atau keadaan pribadi, yang tidak berkaitan dengan kebutuhan, kemampuan atau sifat orang tersebut dalam kaitannya dengan penghapusan kekerasan seksual. 

Beberapa martabat manusia dapat dipulihkan dan diperkuat melalui undang-undang yang peka terhadap perbedaan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik setiap orang, dengan memperhatikan konteks yang mendasari perbedaan tersebut. Di sisi lain, harkat dan martabat manusia dirugikan ketika seseorang atau sekelompok orang dikucilkan, diabaikan dan dipinggirkan. Dalam konteks penegakan hukum, derajat harkat dan martabat manusia memerlukan hukum yang sepenuhnya mengakui status setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat. Martabat manusia merupakan salah satu pasal konstitusi masih sering dilanggar melalui paksaan, ancaman atau kekerasan. Kekerasan seksual merupakan salah satu jenis pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional, karena menurut UUD NRI Tahun 1945 terdapat kegiatan yang mendistorsi harkat dan martabat manusia.

Rumusan tata cara perlindungan harkat dan martabat manusia sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia menurut UUD NRI Tahun 1945 masih bersifat abstrak. Dalam hal kekerasan seksual, ketentuan Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat ditegakkan dan memberikan perlindungan khusus. Secara konstitusional, ketentuan Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 dapat dijadikan sebagai landasan filosofis untuk menghasilkan produk hukum terkait pengaturan kekerasan seksual, seperti yang tertuang dalam UU PKDRT, UU Perlindungan anak, dan UU PTPPO.

Selain itu, negara harus berpartisipasi aktif dalam membangun keadilan menyeluruh bagi para korban dan keluarganya, mendeportasi pelaku kejahatan dan menghapus impunitas. Perlakuan yang cepat, tepat dan adil terhadap korban dan keluarganya atau advokatnya dari awal hingga akhir persidangan. 

Kewajiban negara atas pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan ketidak perulangan perlu diimporporasikan dalam mekanisme negara sehingga seluruh upaya mengembalikan situasi yang lebih baik bagi korban didukung oleh mekanisme yang sistematis. Sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya yang berkenaan dengan tujuan penanggulangan kejahatan, tidak cukup hanya melihat dan mengatur tentang bagaimana kejahatan tersebut ditanggulangi dan penekanan pada pengaturan pencerahan balasan atas perbuatan "pelaku kejahatan," baik secara benar maupun non penal, tetapi harus mengintegrasikannya dengan pemenuhan hak-hak korban. Pengaturan hak korban dalam hukum pidana dilandasi pemikiran bahwa setiap tindak kejahatan akan selalu menimbulkan kerugian bagi orang lain, yaitu korban. Karenanya, hak-hak korban diintegrasikan pengaturannya dalam keseluruhan proses atau tahapan peradilan dan menjadi tanggung jawab bagi pelaku kejahatan untuk memulihkan dan memperbaiki kerusakan yang dialami korban.

Pengaturan Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia saat ini belum memberikan perlindungan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Problem pokok pertama, adalah keragaman (diversifikasi) pengaturan hukum tentang kekerasan seksual yang mengakibatkan batasan, ruang lingkup, dan tujuan dari pengaturan kekerasan seksual berbeda-beda. Hal dini menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Kedua, bahwa bentukan-bentukan kekerasan seksual sesungguhnya tidaknya berkaitan dengan tindakan kriminal terhadap organ seksual, tetapi manifestasi dari bentuk diskriminasi gender dalam konstruksi budaya masyarakat patriarki. Ketiga, perspektif serta orientasi aparat penegak hukum lebih menitikberatkan pada tindakan represif atau pemidanaan bagi pelaku, bukan pada perlindungan dan pemenuhan kepentingan terbaik bagi korban, perubahan perilaku bagi pelaku, serta pemulihan keseimbangan dalam masyarakat.

Sumber referensi:

- Attamimi, Hamid S., Hukum tentang peraturan perUndang-Undangandan peraturan kebijakan (hukum tata Negara) (Jakarta, Universitas Indonesia, 1990)

- Bagong, S, Dkk. Menghadang Langkah Perempuan, (Jogjakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, 2000)

- Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun