Mohon tunggu...
rizal malaka
rizal malaka Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bisma Rizal

Seorang ingin mecoba merangkai kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perpindahan Ibu Kota Negara, Dasarnya Apa?

30 April 2019   23:24 Diperbarui: 1 Mei 2019   05:06 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika calon Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) tidak diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X, Yang Mulia Herjuno Darpito pada masa kampanye saya berpikir bahwa Jokowi adalah orang yang tidak tahu sejarah.

Pikiran ini pun menguat ketika kabinetnya mengabarkan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta.

Alasan sederhana saja, Jakarta menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena nilai sejarahnya yang begitu tinggi dalam perjalanan Bangsa ini.

Di Jakarta ada tiga peristiwa besar akan persatuan Indonesia yang merupakan konstanta dalam Pancasila.  

Pertama, peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang terjadi di beberapa lokasi di wilayah Jakarta Pusat.

Yakni, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) yang berada di Lapangan Banteng. Lalu di Gedung Oost-Java Bioscoop dan terakhir di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106.

Sumpah pemuda ini memiliki makna yang berartikan telah lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.

Bangsa ini kemudian berjuang secara bersama-sama dengan nuansa pasang dan surut. Puncaknya  di proklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Satu hari setelah proklamasi, disahkannya Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh PPKI di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi gedung Kementerian Luar Negeri RI.

Selain tiga peristiwa tersebut ada lagi peristiwa 19 September 1945, ketika Jepang meragukan kepemimpinan pendiri bangsa kita para alim ulama dan pemuda berkumpul di Lapangan Ikada memberikan dukungan atas Proklamasi Kemerdekaan dan NKRI yang baru berumur satu bulan.

Inilah makna bahwa DKI Jakarta adalah simbol Persatuan Indonesia. Sehingga wajar saja para pendiri bangsa menjadi kota yang dahulu bernama Batavia menjadi Ibu Kota Negara.

Belum lagi peristiwa 28 Desember 1949, ketika Bung Karno berhasil menduduki Jakarta kembali. Akibat adanya serangan Belanda selama empat tahun ke belakang.

Dalam pidato tersebut, Bung Karno menjelaskan, bahwa berkibarnya bendera merah putih di bumi Jakarta adalah perjuangan bangsa ini dengan keringat dan darah.

Mari kita baca dengan seksama; 

"Saudara-Saudara sekalian. Alhamdulillah saya ucapkan di hadirat Allah SWT, ini hari aku telah menginjak lagi bumi Jakarta sesudah hampir empat tahun lamanya.

Empat tahun bukan sebentar, empat tahun, empat kali tiga ratus enam puluh hari, saya berpisah dengan rakyat Jakarta laksana rasanya seperti berpisah empat puluh tahun saudara-saudara.

Saya menyampaikan salam kepada semua, kepada para perwira dan para prajurit tentara, kepada pegawai, kepada saudara-saudara marhaen, saudara-saudara tukang becak, saudara-saudara tukang becak, saudara-saudara tukang sayur, saudara-saudara pegawai yang sekecil-kecilnya, tidak ada satu yang terkecuali, semuanya saudara-saudara saya sampaikan salamku kepada saudara-saudara sekalian.

Alhamdulillah sekarang di halaman ini telah berkibar Sang Dwiwarna, bendera merah-putih yang kita cintai dan saudara-saudaraku sekalian apa sebab sekarang Sang Dwiwarna bisa berkibar disini? Tak lain tak bukan ialah oleh karena rakyat Indonesia yang 70 miliun ini berjuang mati-matian."

Dari sini jelas dikatakan, bahwa yang memperjuangan Jakarta untuk lepas dari cengkraman Belanda adalah rakyat dari Sabang sampai Maureuke. 

Untuk itu, jika memang Jokowi mau memindahkan Ibu Kota maka izinnya dari rakyat Indonesia Sabang sampai Maureuke melalui Referendum bukan hanya sekedar hasil kajian Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang merupakan pembantu Presiden.

Rakyat lah Raja di NKRI

Jika kita pakai analogi Negara Kerajaan atau Feodal yang merupakan filosofi Kuno atau Tradisional negara. Maka, raja di NKRI adalah Rakyat Indonesia sedangkan Presiden adalah mandataris raja atau Perdana Menterinya.

Jadi tidak heran mengapa bunyi Pasal 1 ayat 2 dalam UUD 1945 naskah asli adalah; "Kedaulatan Tertinggi Berada Di Tangan Rakyat dan Dijalankan Sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)." 

Yang sekarang diganti menjadi; "..Dijalankan Sepenuhnya Oleh Rakyat Berdasarkan Undang-Undang Dasar."

Maka kalo pak Jokowi mau memindahkan Ibu Kota Republik ini mintalah izin kepada pemilik Republik ini yakni, Rakyat Indonesia ketuk pintu mereka satu persatu.

Perbuatan Ilegal?

Sejak hari pencoblosan Pemilihan Umum 2019, sebagai warga negara yang awam, saya melihat ada yang tidak beres dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Mohon maaf kalo ini agak kasar, di awali dari rapat 22 April 2019, ketika KPU masih melakukan penghitungan suara manual, Jokowi menggelar rapat terbatas yang membahas APBN 2020.

Padahal, dalam buku Pendoman Perencanaan, Penganggaran dan Pelaksanaan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan saat itu, Bambang PA Brodjonegoro, anggaran itu direncanakan berdasarkan visi dan misi Presiden RI terpilih yang diturunkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Hal ini sesuai dengan UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 

Sedangkan RPJMN Jokowi-Jusuf Kalla hanya sampai 2019 sebagaimana visi dan misi mereka ketika mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kok bisa-bisanya mereka berdua membahasa APBN 2020? Padahal, selain penghitungan suara yang masih berjalan ada 2.767 TPS yang menggelar Pemungutan Suara Ulang atau PSU?

Hal ini penting sekali dipersoalkan, karena dalam UU nomor 25 tahun 2004 pada Bagian Ketiga Rencana Pembangunan Tahunan Pasal 20 dijelaskan, bahwa RPJM Nasional akan menjadi pendoman Menteri untuk membentuk RKP.

Dan dalam Pasal 19 disebutkan, RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.

Artinya yang berhak membahas APBN 2020 adalah Presiden terpilih pada Pilpres 2019 yang mengeluarkan aturan baru tentang RPJM Nasional. Sedangkan pak Jokowi baru Presiden Terpilih hasil Quick Count Lembaga Survei.

Kok bisa-bisanya membahas APBN 2020? Yang aneh lagi, beliau membahas perpindahan Ibu Kota Negara padahal selama masa kampanye Pilpres tidak pernah hal itu diungkapkan.

Baik pada 2014 dan 2019. Padahal, sejak dihapusnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) maka visi dan misi Calon Presiden lah kompas pembangunan republik ini bergerak.

Harus Ada Pergantian Kekuasaan

Dari pemaparan di atas saya merasakan, pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK sepertinya tidak melihat aturan baku dalam membuat kebijakan. Dengan kata lain, maaf 'Semau Gue'.

Untuk itu, tidak berlebihan rasanya jika Bangsa ini harus ada pergantian kepemimpinan. Dan semoga pak Prabowo dan Pak Sandiaga Uno dapat memperbaiki keadaan ini. Minimal beretika dan bermoral lah ketika mengambil sebuah kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun