Kemarin saya terpaksa ketukang gigi lagi untuk membuat retainer gigi yang baru, karena yang lama patah tidak sengaja terinjak. Dulu saya sudah pernah ketukang gigi ini, dengan alasan yang sama, dan hasil kerjanya lumayan bagus meski cukup mahal. Ada rupa, ada harga.
Saat saya pertama kali kesana, sekitar 1.5 tahun yang lalu, yang melayani adalah seorang ibu keturunan tionghoa berusia sekitar 50 an tahun. Saat saya datang lagi kemarin, ibu ini ditemani oleh seorang pria, yang berusia sebaya dengan si Ibu. Jadi saya perkirakan dia adalah suaminya.
Saya berdiskusi mengenai harga dengan si Ibu. Setelah kami sepakat dengan harga retainer ini, sang suami menunjuk ke kursi periksa dan berkata : "Duduk!". Gigi saya akan dibuat cetakannya menggunakan semacam silikon yang akan dimasukkan kemulut saya, dibiarkan mengeras, lalu dikeluarkan. Saya sudah hafal dengan prosedur ini karena sudah berkali-kali retainer saya patah dan harus dicetak ulang.
Saya duduk di kursi periksa semacam yang ada di dokter gigi, tapi yang ini sudah tua dan penuh bercak-bercak coklat yang menunjukkan umurnya. Memandang berkeliling, diseluruh dinding tertempel berbagai poster yang menunjukkan berbagai informasi yang berkaitan dengan gigi.
Menariknya, semua keterangan di semua poster itu ditulis dalam tulisan mandarin alias Hanzi. Saya beberapa tahun belajar bahasa mandarin, tapi hanya bisa mengenali sedikit karakter disana. Sepertinya saya tidak punya kosa-kata karakter mandarin yang cukup mengenai hal-hal yang berkaitan dengan gigi.
Sementara menunggu sang tukang gigi mengaduk-ngaduk adonan silikon, saya mendengarkan mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah mereka. Saya kurang mengenal aksennya, karena mereka tidak menggunakan bahasa mandarin. Kemungkinan besar mereka menggunakan bahasa Khek atau Hokkien. Waktu SMP saya punya beberapa teman yang menggunakan bahasa itu dirumahnya, disekolah mereka berbahasa Indonesia.
Kemudian si Ibu menanyakan beberapa hal kepada saya, yang kemudian diterjemahkan kepada sang suami dalam bahasa daerah mereka. Ternyata sang suami tidak lancar berbahasa Indonesia.
Entah kenapa hal ini membuat saya gusar. Bagaimana mungkin ada orang dewasa yang tinggal ditengah-tengah orang Indonesia, masih tidak lancar berbahasa Indonesia? Apalagi toko mereka ada ditengah-tengah pertokoan yang mayoritas masyarakatnya berbahasa Indonesia.
Apakah bapak ini tidak pernah bergaul dengan orang-orang lokal? Tidak merasa perlu menghormati penduduk setempat dengan belajar bahasa Indonesia? Saya rasa tidak mungkin bapak ini terlalu bodoh untuk tidak mampu mempelajari bahasa Indonesia, sedangkan istrinya lancar-lancar saja berbahasa Indonesia.
Meskipun dalam hati saya merasa gusar, tapi saya tetap bersikap sopan dan menyelesaikan urusan hari itu dengan tenang.
Tapi hal ini terus terpikirkan oleh saya sampai di rumah. Saya merasa terganggu dengan perasaan saya sendiri. Adilkah sikap saya tadi? Bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya akan segusar itu jika yang tidak bisa berbahasa Indonesia adalah orang-orang  keturunan Jawa, atau Papua, atau Sumatera Barat?
Masalahnya, saya tidak punya perbandingan. Saya tidak pernah ketemu dengan orang Indonesia dari daerah lain yang tidak lancar berbahasa Indonesia. Setidaknya tidak pernah saya ketemu dengan pemilik toko ataupun pegawainya yang tidak lancar berbahasa Indonesia. Mereka akan berkicau dalam bahasa daerah mereka masing-masing saat bercakap-cakap dengan sesama mereka, tapi SELALU berbicara dalam bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya. Termasuk mereka yang merupakan keturunan tionghoa, semua lancar berbahasa Indonesia. Baru kali ini hal ini terjadi pada saya.
Tentu pengalaman saya tidak cukup luas untuk dijadikan basis data, karena saya hanya pernah berdiam di Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, dan sekarang, Banten. Mungkin di daerah-daerah lain sangat berbeda, dimana para pemilik toko tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dan lebih sering menggunakan bahasa daerah masing-masing. Atau mungkin saya yang kuper.
Paling-paling saya pernah melihat video klip Cak Nun yang seringkali mencampur bahasa Jawa dalam ceramahnya. Dan saya memang mengkritik keras Cak Nun melalui kolom komentar, (lha iya, masa saya mesti pergi ke surabaya?) Protes, kenapa bahasa jawa melulu.
Akibatnya berhari-hari saya diserbu dan dibully netizen yang mengamuk membela Cak Nun, katanya saya Anti Jawa. Mereka membela Cak Nun dengan berkata bahwa Cak Nun menggunakan Bahasa Jawa hanya sebagian kecil saja padahal hampir seluruh pemirsa ceramahnya orang Jawa.
Saya ngotot pokoknya tidak boleeeh! Harus bahasa Indonesia, karena akan diterbitkan ke Youtube! Ini demi persatuan Indonesia! Kan yang melihat videonya ada orang Sunda, orang Melayu (seperti saya). Nanti bagaimana kalau muncul salah paham?
Dalam hal ini Cak Nun tentu tidak tahu menahu sudah terjadi pertengkaran bodoh antar netizen.
Begitulah saya sangat keras kepala. Padahal berantem melawan netizen itu lebih berat dari pada menembus dinding dengan lidah. Tapi saya lihat akhir2 ini video ceramah Cak Nun akhirnya ada yang bersubtitle bahasa Indonesia. Lumayanlah.
Dulu, waktu saya kecil, saat pulang kampung, memang sering saya bertemu orang-orang tua yang kurang berpendidikan, sehingga tidak mengerti bahasa Indonesia atau berbahasa Indonesia dengan terbata-bata.
Saat saya dewasa, hanya di Malaysia saya bertemu dengan orang keturunan Tionghoa yang tidak pandai bercakap-cakap dalam bahasa melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia. Tapi saya tidak menggeneralisasi orang Malaysia tentunya, mengingat waktu kunjungan saya disana sangat terbatas.
Kembali kepada si Bapak Tukang Gigi. Haruskah saya menganggap bapak ini sebagai turis-turis dari negara Asing atau sebagai pekerja Asing, bukan sebagai penduduk Indonesia? Karena kalau turis, atau pekerja Asing, ya apa boleh buat. Nanti toh mereka akan pulang ke negara mereka sendiri. Tidak mau belajar bahasa Indonesia ya tidak apa-apa. Tapi turis dan pekerja asing tidak berhak menuntut hak kewarganegaraan yang sama sebagaimana sesama rakyat Indonesia. Orang asing tidak bisa datang ke Indonesia lalu mengatakan : "Kami dididiskriminasi karena diperlakukan berbeda dengan penduduk lokal!"
Saya terus bertanya-tanya dalam hati. Apakah orang-orang ini betul orang Tionghoa Indonesia ataukah orang Tionghoa imigran yang berasal dari Singapura atau Hongkong? Di Singapura, bahasa Melayu adalah bahasa yang dianggap lebih rendah, sehingga dianggap tidak perlu dipelajari. Dan itulah sebabnya saya merasa sangat gusar. Apakah Bapak tadi, menganggap bahasa Indonesia begitu rendah untuk dipelajari?
Di daerah saya berdiam, di Banten, sering kali diberitakan sebagai daerah yang intoleran. Anti Cina. Anti Asing. Sementara tanah di daerah banten ini banyak yang dijadikan perumahan super mewah, Mall-mall megah, Gedung perkantoran raksasa yang mayoritas digunakan oleh pendatang. Tidak ada data pasti dari mana asal pendatang ini, apakah memang pendatang dari berbagai daerah di Indonesia? Ataukah pendatang dari Singapura atau Tiongkok?
Kalau saya yang sekedar pendatang saja bisa merasa gusar dengan hal ini, bagaimana dengan penduduk asli disini? Karena kalau mereka tidak merasa perlu belajar bahasa Indonesia -yang berarti tidak merasa perlu menghormati penduduk setempat- tentu saja penduduk asli akan merasa gusar.
Dan kalau mereka adalah pendatang, maka kelakuan mereka akan membahayakan penduduk Tionghoa asli Indonesia. Karena seumur saya ini, dari teman-teman kecil saya, sampai bos-bos saya, yang keturunan Tionghoa, semua lancar berbahasa Indonesia. Karena mereka tahu pentingnya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Yang berarti mereka tahu, untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan orang-orang dari ratusan suku lain, yang juga punya bahasa daerah masing-masing. Mereka ini akan kecipratan kelakuan orang-orang yang menolak berbahasa Indonesia DI Indonesia!
Tiga atau empat hari kemudian saya kembali ke tukang gigi tersebut untuk mengambil retainer saya yang sudah jadi. Kali ini saya berniat menanyakan langsung kepada orangnya, meminta penjelasan hal ini. Karena saya bukan tipe orang yang suka menduga-duga yang berujung kepada berpikiran buruk pada orang lain.
Kebetulan saat saya masuk ke ruko tukang gigi hanya ada bapak itu. Ruangannya sedang kosong, tidak ada tamu lain, dia sedang duduk disebuah bangku sambil menonton TV yang menyiarkan berita dalam bahasa mandarin.
"Siang paak!!", saya dengan semangat berlebihan menyapa bapak itu. Saya selalu kelebihan energi disaat saya gugup. Saya ini orang introvert yang tidak terlalu banyak pengalaman berbasa basi dengan orang lain.
"Ya?", si Bapak menyahut dengan tersenyum.
"Saya yang kemarin bikin retainer gigi, sekarang mau ambil."
"Apa?", si Bapak menyahut dengan tampang kosong tidak mengerti.
"Kemarin looh, yang bikin retaineeer!", setengah berteriak saya menunjuk gigi. Kenapa juga saya berteriak saya tidak mengerti. Kan Bapak itu tidak bisa bahasa Indonesia, bukannya budeg.
"Oooh!", si Bapak bangun dari duduknya.
Si Ibu keluar dari dalam, sepertinya karena mendengar suara saya yang heboh.
"Eh, halo buu!", saya melambai kepada si ibu dengan senyum lebar karena lega.
Si ibu langsung mengenali saya dan berseru, "Ooooh.. Sudah jadi buu!", katanya. "Silahkan duduk." Si Ibu menunjuk ke kursi periksa.
"Okay!" saya langsung duduk.
Sementara si Ibu mencari-cari retainer saya, saya langsung mulai dengan interogasi saya mengenai hal yang mengganggu pikiran saya kemarin.
"Buu. Si Bapak sudah berapa lama di Indonesia? Kok masih belum bisa bahasa Indonesia juga? Kan kita harus lancar berbahasa Indonesia."
"Iya niiih!!" Si Ibu melempar pandangan setengah sebal setengah geli kepada si bapak.
Tiba tiba saya menyadari satu hal, bahwa bapak itu ternyata adalah ayah dari si Ibu tukang gigi dan bukan suaminya. Tahulah, tipe bapak-bapak yang umurnya susah ditebak.
Saya dengan nekat melanjutkan dengan bahasa mandarin yang belepotan, berkata pada si Bapak, "Ni zhu zai zher duoshao shijian?" Saya bertanya pada si bapak dengan tata bahasa mandarin yang sama sekali salah, "Anda sudah berapa lama tinggal disini?" (seharusnya sih : Ni zai zher zhule duojiu?)
"Ni weisheme hai bu neng jiang Inni yu?" (Kenapa anda masih belum bisa bahasa Indonesia?)
"Wah", kata si Ibu,"Kamu kok bisa bahasa Cina (Mandarin)?"
"Iya buu. Saya menghormati kebudayaan Cina (Tiongkok) karenanya saya berusaha belajar bahasa Mandarin. Karenanya kalau menghormati Indonesia, kita harus bisa berbahasa Indonesia juga." Saya sok menasihati, padahal saya jauh lebih muda. Saya duga ini akibat pengaruh barat dalam jiwa saya.
Secara mengejutkan, si bapak mendadak tertawa riang. Lalu berkata dalam bahasa Indonesia, "haaa.. Saya bisa kok bahasa Indonesia"
Lalu si Bapak mengajak saya bercakap-cakap ngalor ngidul dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan kebolehannya. Memang ada logat daerah Tiongkok yang kental, tapi bahasa Indonesianya sangat lancar sekali! Malah si Bapak menyanyi-nyanyi (lagu apa saya lupa) dalam bahasa Indonesia. Kami bercakap-cakap sambil menyetel retainer gigi. Tapi saya tidak bisa banyak ngomong. Wong mulut saya menganga disumpel retainer!
Jadi ternyata si Bapak cukup lancar berbahasa Indonesia, tapi memang kata-kata yang sulit masih si Ibu yang mengartikan. Mungkin kebiasaan barangkali, jadi si Ibu senang menerjemahkan, meskipun kadang tidak perlu. Kami terus bercakap-cakap dengan gembira. Saya dengan bahasa mandarin yang belepotan, si bapak dengan bahasa Indonesia dalam logat Tiongkok yang kental. Sepertinya hanya si Ibu yang mengerti semua pembicaraan yang kusut lalu lalang ini.
Si ibu lalu mengatakan bahwa logat dia bukanlah Hokkien atau Khek, melainkan logat Kanton. Logat yang biasa dipakai orang dari Hongkong. Dari situ si Ibu malah balik bertanya-tanya tentang saya (apa pekerjaan saya? Rumahnya dimana? Apakah kamu penyanyi? (beneran loh, dia nanya ini!!).
Sayang saya tidak bisa lebih lama bercakap-cakap, karena saya masih banyak urusan dan takut keburu hujan turun. Jadi, setelah melunasi pembayaran, saya pamit pulang sebelum mengetahui kenapa si Bapak kemarin pura-pura tidak bisa bahasa Indonesia? Tapi saya sih cukup senang mengetahui si Bapak bisa berbahasa Indonesia, jadi tidak terlalu peduli lagi alasannya kenapa.
"Duo xie nii aa (terima kasih banyaaak)," saya berpamitan, "zai jian (Bye bye!)" saya menundukkan kepala sedikit dan melambaikan tangan, lalu pergi.
Semuanya berakhir dengan baik. Ternyata kuncinya adalah, daripada saling menduga-duga. Lebih baik bertanya langsung. Tapi dengan niat baik dan rasa humor yang banyak. Ini susah bagi orang introvert dengan tampang menyeramkan seperti saya. Tapi rasa humor si bapak ternyata menyelamatkan keadaan dan saya tidak berniat jahat, tapi betul hanya penasaran dan kelewat nasionalis.
Mungkin inilah yang diperlukan Indonesia saat ini, saling bercakap-cakap langsung antara berbagai pihak yang saling tidak mengerti, Â kenapa pihak lain melakukan atau mengatakan sesuatu yang diam-diam kita rasa tidak nasionalis, bahkan melukai hati kita. Dari pada langsung menuduh Anti kafir, Khilafah, Anti Cina, Pro Tiongkok, Pro Aseng, dll. Mungkin lebih baik kita langsung saja saling berdialog.
Bukan dengan saling menuduh, tapi bertanya dan berusaha memahami dengan baik jawabannya. Dengan rasa humor yang banyak, hati yang terbuka dan niat baik demi persatuan Indonesia. Dan untuk itu semua kita memerlukan bahasa yang sama : Bahasa Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H