"Wah", kata si Ibu,"Kamu kok bisa bahasa Cina (Mandarin)?"
"Iya buu. Saya menghormati kebudayaan Cina (Tiongkok) karenanya saya berusaha belajar bahasa Mandarin. Karenanya kalau menghormati Indonesia, kita harus bisa berbahasa Indonesia juga." Saya sok menasihati, padahal saya jauh lebih muda. Saya duga ini akibat pengaruh barat dalam jiwa saya.
Secara mengejutkan, si bapak mendadak tertawa riang. Lalu berkata dalam bahasa Indonesia, "haaa.. Saya bisa kok bahasa Indonesia"
Lalu si Bapak mengajak saya bercakap-cakap ngalor ngidul dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan kebolehannya. Memang ada logat daerah Tiongkok yang kental, tapi bahasa Indonesianya sangat lancar sekali! Malah si Bapak menyanyi-nyanyi (lagu apa saya lupa) dalam bahasa Indonesia. Kami bercakap-cakap sambil menyetel retainer gigi. Tapi saya tidak bisa banyak ngomong. Wong mulut saya menganga disumpel retainer!
Jadi ternyata si Bapak cukup lancar berbahasa Indonesia, tapi memang kata-kata yang sulit masih si Ibu yang mengartikan. Mungkin kebiasaan barangkali, jadi si Ibu senang menerjemahkan, meskipun kadang tidak perlu. Kami terus bercakap-cakap dengan gembira. Saya dengan bahasa mandarin yang belepotan, si bapak dengan bahasa Indonesia dalam logat Tiongkok yang kental. Sepertinya hanya si Ibu yang mengerti semua pembicaraan yang kusut lalu lalang ini.
Si ibu lalu mengatakan bahwa logat dia bukanlah Hokkien atau Khek, melainkan logat Kanton. Logat yang biasa dipakai orang dari Hongkong. Dari situ si Ibu malah balik bertanya-tanya tentang saya (apa pekerjaan saya? Rumahnya dimana? Apakah kamu penyanyi? (beneran loh, dia nanya ini!!).
Sayang saya tidak bisa lebih lama bercakap-cakap, karena saya masih banyak urusan dan takut keburu hujan turun. Jadi, setelah melunasi pembayaran, saya pamit pulang sebelum mengetahui kenapa si Bapak kemarin pura-pura tidak bisa bahasa Indonesia? Tapi saya sih cukup senang mengetahui si Bapak bisa berbahasa Indonesia, jadi tidak terlalu peduli lagi alasannya kenapa.
"Duo xie nii aa (terima kasih banyaaak)," saya berpamitan, "zai jian (Bye bye!)" saya menundukkan kepala sedikit dan melambaikan tangan, lalu pergi.
Semuanya berakhir dengan baik. Ternyata kuncinya adalah, daripada saling menduga-duga. Lebih baik bertanya langsung. Tapi dengan niat baik dan rasa humor yang banyak. Ini susah bagi orang introvert dengan tampang menyeramkan seperti saya. Tapi rasa humor si bapak ternyata menyelamatkan keadaan dan saya tidak berniat jahat, tapi betul hanya penasaran dan kelewat nasionalis.
Mungkin inilah yang diperlukan Indonesia saat ini, saling bercakap-cakap langsung antara berbagai pihak yang saling tidak mengerti, Â kenapa pihak lain melakukan atau mengatakan sesuatu yang diam-diam kita rasa tidak nasionalis, bahkan melukai hati kita. Dari pada langsung menuduh Anti kafir, Khilafah, Anti Cina, Pro Tiongkok, Pro Aseng, dll. Mungkin lebih baik kita langsung saja saling berdialog.
Bukan dengan saling menuduh, tapi bertanya dan berusaha memahami dengan baik jawabannya. Dengan rasa humor yang banyak, hati yang terbuka dan niat baik demi persatuan Indonesia. Dan untuk itu semua kita memerlukan bahasa yang sama : Bahasa Indonesia!