Di Jakarta, retail ini ada di mana-mana, bahkan di depan tempat tinggalku. Aku punya banyak kenagan di sana, sebab seperempat hari-hariku di Jakara dihabiskan di tempat itu.Â
Mulai dari membeli kebutuhan bulanan, transaksi ini itu di mesin atm, minum kopi, bertemu teman, membeli buah anggur kortingan seharga dua puluh ribu, sampai dengan mencari bahan-bahan pembuat kue.
Kesenangan itu, gilanya, menutup rasa prihatinku ketika banyak pedagang kecil tergilas oleh bisnis retail ini. Patricia mungkin akan bilang, aku ini korban kapitalis yang bersukarela. Ah dia juga, haha.
Setelah membeli 2 item bahan makanan, aku beringsut. Menuju kasir dan memilih pembayaran dengan kartu debit. Empat kali aku membayar dengan uang tunai, empat kali pula si kasir pura-pura lupa melengkapi kembalian uang. Yang seharusnya Rp 28.500,- akan diberikan 20 ribu saja.Â
Kelewatan nggak tuh kasir? Jadi aku nekat berdiri cukup lama di depan dia untuk meminta sisa kembalian sambil mencela kesengajaannya. Kok aku tahu dia sengaja? Tahulah, kan aku melihat gestur tubuhnya.
***
Akhirnya aku pulang. Melewati jalanan yang kering di kota ini. Aku memendam rasa rindu pulang sambil membayangkan kampung halamanku. Meski dunia sudah terhubung, tetapi aku tidak suka melewati lintasan-lintasannya.Â
Barangkali itu yang membuat aku tidak suka dengan traveling. Apa asyiknya kalau semua kota sudah dijelajahi? Kalian tidak punya kejutan lagi.
Ayo, sepakatlah denganku. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H