Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia yang Terhubung dan Manusia yang (Tak) Selalu Terhubung

17 November 2020   06:57 Diperbarui: 17 November 2020   07:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hanya ada satu manusia dan meja-meja (Dokpri)

Ternyata dunia begitu sempit. Di mana pun. Padahal, tempat tinggalku di kota ini dipisahkan samudera luas dan jarak tempuh perjalanan yang tidak singkat.

 Akan tetapi, orang yang kutemui pagi tadi di lembaga pemasyarakatan pernah tahunan bekerja sebagai bartender di salah satu pub di bilangan Thamrin Jakarta, yang menjadi langganan tempat nongkrong Patricia dan teman-temannya.

Saya dan Tante Sis, perempuan yang cakap mencampur jenis-jenis minuman itu, bersama-sama mengisi kegiatan ibadah sabtu di lembaga ini.

Dia seusia ibuku. Tapi perawakannya tampak sepuluh tahun lebih muda kalau dilihat dari kegesitannya. Jadi, selisih usiaku dengan Tante Sis sejarak dengan akau dan ibuku. Tapi kami mengobrol seperti teman sebaya saja layaknya. Dia menawarkan rumahnya untuk aku tinggali. Oh, no! Aku tidak pernah suka hal ini. 

Aku sangat tidak suka berhutang budi pada siapapun. Suatu sikap yang kerap dicela sahabat-sahabatku. Kata mereka, kalau seseorang yang menolak ketika ditawari kebaikan, itu artinya sombong. Butuh, tapi menolak bantuan.

Ah, lebih baik dibilang sombong ketimbang melewati hari-hari penuh kejengahan. Aku tidak pernah bisa berada dalam posisi tawar yang tidak setara sehingga tidak merasa merdeka untuk menjalani hari-hariku di rumah orang lain. 

Aku belajar dari pengalaman seorang pendeta sebuah jemaat yang besar; bukan di Indonesia, yang karena mengalami tekanan mental sebab hidup sepenuhnya dari pemberian orang lain, akhirnya mengundurkan diri. Ia melepaskan jabatannya dan menjadi 'orang biasa'. 

Ketika menuliskan testimoninya dalam sebuah memoar, ia menyarankan kepada umat agar tidak terlalu sering memberikan hadiah termasuk tunjangan berlibur. 

Itu membuat banyak para pekerja seperti dirinya menjadi kikuk. Biarkan mereka, para "gembala" Jemaat ini memenuhi seluruh keperluannya dari apa yang diterimanya.

Memikirkan hal ini, sontak aku teringat Kak Pendiardi yang mendapat doorprize (hadiah) motor bebek ketika salah satu penyantun gereja dimana dia bekerja, menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. 

Kak Pendi sempat agak shock ketika nomor kursi yang ia duduki disebut sebagai penerima motor. Ia tidak percaya. Tetapi ketika nomornya sampai disebut tiga kali, barulah ia sadar. 

Kata dia, suasana riuh di perhelatan itu seperti tanpa henti. Ia memang pernah curhat kepada Budiman, teman sejawatnya soal kesulitan mobilitas karena tidak punya kendaraan. Tapi itu sudah lama dan ia meminta agar ini dirahasikan. Apakah Budiman membocorkan curhatnya kepada orang lain? Tapi kan ini doorprize?

Waktu ia menceritakan perihal ini kepada Eddy, lelaki itu dengan enteng mengatakan, "Bu Mel, Anda percaya itu hadiah belaka? Bukan sogokan halus supaya Mas Perdi tidak ribut lagi tentang kebijakan Pak Ridwan yang memaksa para pegawainya masuk di hari libur?"

Aku memang pernah bercerita kepada Eddy tentang keluhan jemaat dimana Perdi melayani, yang sering tidak bisa pergi ke gereja di hari Minggu dan beraktivitas pada malam hari, karena masih sibuk di kantor. 

Pemilik perusahaan itu kebetulan Pak Ridwan. Pemimpin perusahaan dan pejabat gereja itu kadang-kadang dipegang orang yang sama. Masa sih sampai segitunya? pikir saya.

***

Tapi tema soal tawaran rumah Tante Sis kepada saya segera berganti dengan obrolan tentang pekerjaan beliau selama berada di ibukota.  Ketika ia menyebut kota Jakarta, aku seketika merasakan rindu yang bukan kepalang. 

Teman-teman hang out, teman-teman gerejaku yang seru-seru, dan .... mungkin dengan Patricia juga. Tapi Patricia orang yang super sibuk. Dari Senin sampai Minggu waktunya habis untuk bekerja, walau ia sering mencemooh semboyan 'kerja, kerja, kerja' yang terkenal itu.

Eh, tadi dia aku mengatakan kalau dunia itu sempit. Dunia siapa yang sempit? Tentu saja dunia Tante Sisca dengan duniaku. Sempitnya di mana? Ya, di Pub yang aku ceritakan tadi. 

Pub itu adalah tempat yang sama dengan tempat Patricia dan teman-temannya, yang teman-temanku juga, biasa menenggak segelas besar bir bintang. 

Aku setiap kali bersama mereka, akan memesan minuman lain yang tanpa alkohol dan duduk jauh dari mereka kalau sudah tiba acara potret sana potret sini.

Awalnya mereka sebal dengan tingkahku. "Minum bir nolak, diphoto nolak. Apa sih maunya Imelda ini?" dan aku akan bilang, "Aku maunya jus jeruk dan jangan sampai wajahku kelihatan kalau dipotret, supaya ketika foto ini terpublish di media sosial masing-masing, murid-muridku di sekolah tidak mengejekku sebagai ibu guru peminum bir" kataku sambil tertawa.

Mereka ikut tertawa. Kayaknya sebagian belum mengerti apa yang kumaksud. Tapi biarlah. Cerita soal beberapa siswa di kelasku yang sering bolos karena minum miras di belakang sekolah karena tertekan di rumahnya, tak perlu kuceritakan. 

Begitu pula kisah ketika mereka didampingi dan dipulihkan di komunitas iman, tak perlu kusampaikan. Seiring mereka memiliki kelompok pendukung di luar rumahnya, mereka tidak lagi membutuhkan alkohol untuk menenangkan jiwanya. 

Dan mereka tahu, alkohol akan menjadi tabungan penyakit liver di kemudian hari. Ketika mereka memasuki usia produktif, dan ketika mereka perlu tubuh yang sehat untuk membersarkan anak-anak mereka.

Lho, bir kan beda dengan miras?

Iya memang beda. Tetapi di usia belia dan masih labil, mereka belum tahu bedanya anggur, bir, dan minuman cap topi miring, bahkan yang dioplos-oplos itu. Mereka berpikir, jenis mimuman seperti itu cocok untuk menenangkan pikiran yang sedang gundah.

Tapi aku tidak anti dengan bir. Ibuku setiap malam tahun baru menyimpan 2 botol di kulkas untuk diminum sendiri maksimal 2 gelas, sisanya dihidangkan kepada para tamu yang datang keesokan harinya. Di luar momen itu, tidak ada bir di rumah kami.

Ah, membahas ini semakin membuatku rindu pulang ke Jakarta. Padahal aku baru setengah tahun lebih di sini. Belum saatnya pulang liburan. Tetapi belakangan, perasaanku gelisah dan tidak tenang. Patricia sering menanyakan kapan pastinya aku meninggalkan pekerjaanku di sini. 

Ia beralasan, jangan melakukan sesuatu yang tidak kita sukai. Ia mungkin lupa, betapa bukan itu inti persoalanku. Aku sedang memenuhi komitmenku dan sangat membutuhkan kerelaan diriku sendiri untuk melakukannya.

***

Aku berjalan kaki dari stasiun radio milik pemerintah di kota ini menuju persimpangan. Enaknya menunggu ojek online di situ saja deh. Tapi aku terkesima ketika melihat logo mini market yang terkenal dan jumlahnya ribuan itu. 

Oh, di pojokan sini ada juga toh, pikirku. Aku segera masuk. Seketika aku seperti berada di kampung halamanku di ibukota. Seluruh inderaku bergerak dan merasakan memori bangkit dan berkelebatan. 

Di Jakarta, retail ini ada di mana-mana, bahkan di depan tempat tinggalku. Aku punya banyak kenagan di sana, sebab seperempat hari-hariku di Jakara dihabiskan di tempat itu. 

Mulai dari membeli kebutuhan bulanan, transaksi ini itu di mesin atm, minum kopi, bertemu teman, membeli buah anggur kortingan seharga dua puluh ribu, sampai dengan mencari bahan-bahan pembuat kue.

Kesenangan itu, gilanya, menutup rasa prihatinku ketika banyak pedagang kecil tergilas oleh bisnis retail ini. Patricia mungkin akan bilang, aku ini korban kapitalis yang bersukarela. Ah dia juga, haha.

Setelah membeli 2 item bahan makanan, aku beringsut. Menuju kasir dan memilih pembayaran dengan kartu debit. Empat kali aku membayar dengan uang tunai, empat kali pula si kasir pura-pura lupa melengkapi kembalian uang. Yang seharusnya Rp 28.500,- akan diberikan 20 ribu saja. 

Kelewatan nggak tuh kasir? Jadi aku nekat berdiri cukup lama di depan dia untuk meminta sisa kembalian sambil mencela kesengajaannya. Kok aku tahu dia sengaja? Tahulah, kan aku melihat gestur tubuhnya.

***

Akhirnya aku pulang. Melewati jalanan yang kering di kota ini. Aku memendam rasa rindu pulang sambil membayangkan kampung halamanku. Meski dunia sudah terhubung, tetapi aku tidak suka melewati lintasan-lintasannya. 

Barangkali itu yang membuat aku tidak suka dengan traveling. Apa asyiknya kalau semua kota sudah dijelajahi? Kalian tidak punya kejutan lagi.

Ayo, sepakatlah denganku. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun