Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat-surat untuk Irena (3)

28 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 28 Februari 2019   18:15 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/kglithero

Untuk sahabat tercantikku Irena alias mamanya Priyanka,

a.k.a istrinya Joko Baskoro

Ren, terimakasih ya untuk suratnya.

Aku secepat kilat membalas demi membaca dua paragraf di akhir suratmu. Oh Sofie, apa gunanya dia dulu sampai mengejar-ngejar kita untuk menginap dua malam di Sawangan ya kalau akhirnya kawin juga, hahaha.

Tapi tak apalah. Kalau urusan hati tidak ada yang bisa meramalkan kemana arahnya. Tapi rasa-rasanya, akulah yang paling serius menyimak dan mengamini tekad si Sofie waktu itu. Kebetulan aku mengikuti perjalanan asmara dia. 

Dengan yang terakhir agak fatal, karena cowoknya waktu itu sampai bilang kalau Sofie cocoknya jadi jomblo forever karena DNAnya memang seperti itu. Hus, jangan ketawa kamu RenJ. Serius, itulah yang dibilang sama Arwin sebelum mereka putus. Arwin itu nama pacar terakhir dia. Dan Sofie mengiyakan.

Sofie sempat bilang ke aku, bahwa mungkin dia bukan pasangan yang baik. Kalau sahabat yang baik, iya.

Aku waktu itu mendengarkan saja. Beberapa bulan kemudian, datanglah undangan menginap itu. Kita diajak main ke villa dan ujung-ujungnya dia membuat deklarasi itu.

Sudahlah dulu tentang Sofie. Titipkan salamku buatnya ya, Ren. Kalau aku pulang, aku akan singgah ke rumahnya.

Sekarang aku ingin bilang bahwa aku sudah tidak lagi mengajar. Mau tahu bagaimana perasaanku? Antara plong dan sedih. Plong karena akhirnya lepas juga pekerjaan yang membebani pikiranku selama berbulan-bulan itu. Sedih karena anak-anak itu protes aku tinggalkan.

Eeee, aku bukan mau bikin suasana mendayu-dayu lho ya. Bener kok, anak-anak itu ngambek aku tidak mengajar lagi. Padahal, soal memberikan materi sih rasanya aku katro banget deh. Tapi aku berusaha mengajar semaksimal mungkin. Berdasarkan kurikulum yang berlaku. Tetapi Kepala Sekolah bilang, yang paling dibutuhkan siswa-siswa di sekolahnya adalah perhatian.

Ya, porsi itulah yang paling banyak kuberikan.

Sambil berjalan, sambil kuuji diriku sendiri, apakah aku memang harus bekerja di sini. Ternyata tidak!

Aku akan tetap dengan rencanaku semula. Terimakasih ya Ren, sudah mengingatkanku. Kamu betul, dunia anak-anak bukanlah tempatku. Dan seharusnya aku menolak dari awal tawaran ini.

Aku ingin tertawa waktu kamu mengingatkan kalau aku payah untuk urusan mengasuh bayi. Kapan sih aku bercerita soal itu? Aku sendiri sudah lupa. Memang ibuku mahfum kalau aku suka kabur kalau bayi-bayi alias para keponakan sedang ada di rumah. Tunggu mereka besar, barulah aku mau mengasuhnya. Itupun tidak lama. Tapi kalau anak-anak remaja di sekolah atau di gereja, aku dengan senang hati jadi inang pengasuh mereka.

Sekarang, aku tidak lagi mengurusi remaja. Minggu lalu aku pergi ke Lapas untuk memberikan penyuluhan agama. Petugasnya menyambut baik. Beliau malah meminta aku datang ke sana setiap hari di luar hari Sabtu dan Minggu. Kata beliau, para warga binaan itu sangat membutuhkan pembinaan dan variasi kegiatan di tengah-tengah hari-hari yang membosankan.

Tapi tentu saja aku tidak bisa. Aku hanya bisa dua minggu sekali. Kecuali kalau nanti ada penyuluhan hukum, aku mungkin akan datang seminggu sekali ke Lapas. Itupun temporer saja. Aku memang membutuhkan wawasan lain seperti bidang hukum, yang nantinya akan dipertalikan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan.

Kali ini aku mesti lebih wise. Dulu, aku begitu polosnya sampai-sampai mau saja memberikan nomor ponselku kepada warga binaan. Tak butuh waktu lama, mereka kemudan meng-sms dan meneleponku bertubi-tubi. Dari Lapas! Padahal mereka dilarang memegang ponsel. Tidak cukup hanya menelepon hampir setiap malam, setiap akhir bulan mereka minta dikirimi pulsa. Awalnya aku sempat berikan, dua kali kalau tidak salah.

Lalu aku diberitahu soal peraturan di Lapas. Segera aku melapor ke ketua tim yang biasa melayani di sana, dan aku diminta untuk tidak meladeni permintaan pulsa termasuk panggilan telepon. Padahal, beberapa di antara mereka adalah orang yang memang membutuhkan pendampingan secara pastoral, lebih dari sekedar hadir di jam-jam ibadah. 

Aku mencoba meminta dispensasi itu. Tapi untunglah Ketua Tim tetap melarang. Kalau mau pelayanan pastoral katanya, gunakan saja waktu yang telah disediakan setiap hari Sabtu dan Minggu. Pak Ketua Tim beberapa kali menekankan kepadaku, mbak Melda, yang terpenting adalah bagaimana mereka ketika kembali ke masyarakat. Apakah kita siap kita menerima mereka termasuk jika mereka membutuhkan pekerjaan? Pertanyaan ini yang belum mampu kujawab Ren.

Aku belum yakin, apakah akan sampai ke urusan pasca di Lapas atau tidak. Tapi aku mengenal dengan baik suaminya Tifany. Kamu masih ingat dia kan? Abang itu sekarang banyak mempekerjakan ex warga binaan Lapas di rumahnya. Ada usaha kecil-kecilan di sana, mulai dari air isi ulang sampai dengan menjual segala macam jenis sayuran.

Duh, ternyata aku belum sempat bertemu mereka. Keadaanku sekarang tidak lagi sama, Ren. Dulu aku bisa setiap hari bepergian kemana aku suka. Bertemu sebanyak mungkin orang, bukan hanya di kampus atau sekolah. Aku menyerap apa saja yang bisa kupelajari di kota ini. Sampai-sampai, aku lupa Mama Papaku di Jakarta. Begitulah aku, kamu kenal seperti apa kan sahabatmu ini?

Sekarang, setelah selesai dengan kesibukan di sekolah bulan lalu, aku lebih banyak di rumah. Ada satu-dua hal yang membuatku belum bisa beraktivitas setiap hari. Tetapi aku merasakan ini; bahwa apa yang dulu begitu menarik bagiku, kini tidak lagi. 

Mungkin kamu bertanya, bukankah ketika baru tiba di sini aku merasakan euforia luar biasa? Ya, betul! Aku melewati euforia selama 2 bulan pertama. Tetapi sesudah itu aku seperti terlempar ke pelataran yang membuatku jenuh, gamang, dan datar. Aku tidak tahu apa itu namanya. Selera untuk beraktivitas pun hilang. Ah, sulit aku menggambarkannya.

Dulu, aku sering kebanyakan ide. Sekarang ide-ide itu tidak menarik lagi. Dulu, aku bergairah setiap kali akan bertemu orang-orang. Sekarang, aku sering mendapati diriku tidak tahu untuk apa aku menghabiskan waktu dengan mereka. Yang terasa pedih adalah kemarin. Aku hadir bersama 3 orang teman; mereka anak-anak muda semuanya. 

Sudah bekerja, tetapi yang tetap ingin punya komunitas iman. Mereka mengundangku hadir dalam diskusi untuk mendapatkan beberapa masukan dariku. Aku datang, tapi bukan semata-mata mau memberi masukan. Aku ingin bertemu dan mendengar pengalaman mereka juga.

Sekali waktu mereka amat serius mendiskusikan pentingnya memiliki integritas di kantor. Ada sekitar satu jam mereka membahas hal itu. Harusnya aku berbahagia menyaksikan kesungguhan teman-teman. Tetapi sore itu pikiranku terbelah, Ren. Aku sedang pusing memikirkan Robin yang sedang marah besar. Dia berkali-kali protes karena aku terlalu fokus dengan aktivitasku di sini. Dan aku tidak cukup punya waktu, eh, bukan waktu, tapi perhatian kepadanya. Kalau sedang senggangpun, pikiranku tak bisa jauh dari pekerjaan.

Kutukan LDR kini melandaku. Aku semakin tahu sekarang, aku bukan orang yang sanggup menjalani relasi jarak jauh. Pertemanan hanya di surat atau alat komunikasi tidak pernah membuatku jadi teman sejati atau kekasih yang baik. Teman terbaiku adalah orang-orang yang tinggal bersamaku dalam satu atap, satu habitat, atau satu organisasi. Di luar itu, rasanya semu deh.

Kamu tentu sudah bosan kalau aku ulang-ulang kisahku; dimana setiap kali ada konflik ketika memasuki tempat baru, kemungkinan besar di situlah tempatku. Di situlah aku menemukan teman-teman sejatiku. Kantor dimana aku pernah bekerja memberikan tiga orang sahabat. Persahabatan kami bermula dari keributan mendebat sesuatu. Lalu dilanjutkan dengan saling mengenal kebiasaan masing-masing dan ketika banyak kecocokan di antara kami, jadilah kami teman dekat. Dengan Robin, aku tidak demikian. Kami hanya bercakap-cakap dari jauh. Lalu aku merasa bersalah karena tidak bisa tampil apa adanya.

Lho, kok aku jadi curhat dia ya?

Aku mohon doamu ya Ren bisa melewati tahap yang sulit ini. Kadang-kadang aku berpikir, apakah aku sedang menjalani fase kehidupan seperti musa di usia tuanya. Semua gairah untuk berbuat sesuatu telah lenyap, sehingga menimbulkan keengganan. Maunya menjalani rutinitas saja karena semua euforia telah hilang. Namun justru di saat itulah Tuhan menyuruhnya bekerja! Memimpin bangsanya yang susah diatur, sekaligus menghadapi dirinya yang pemarah.

Kalau itu yang terjadi, sungguh berat Ren. Aku terbiasa bekerja dengan passion, sebab itulah yang memberiku semangat.

***

Di luar sedang hujan.

Bagaimana di kotamu, Irena? Jangan suruh aku pulang ya, sebab begitu aku di sana, aku bakal ingin ke sini lagi. Dilema orang yang orientasinya bukan di masa kini. Kadang-kadang cemas tak jelas, haha ...

Aku mungkin sedang belajar sesuatu. Menjalani komitmen tidak selalu mudah. Apalagi ketika melalui bagian yang tak enak. Aku berusaha tidak lagi menoleh ke belakang; ke masa-masa penuh kejutan dan keriangan ketika mengerjakan panggilanku. Beberapa teman yang dulu masih remaja dan kini sudah punya anak, kerap mengajaku mengenang masa-masa indah dulu. Masa-masa dimana dulu kami sebagai kawanan yang dihormati banyak orang, sebagai kelompok yang kerap menjadi trend setter, dan yang melakukan kegiatan yang selalu dinanti orang.

Para ibu anak-anak remaja itu, kalau aku minta izin membawa anaknya ikut kegiatan, mereka senang sekali. "Titip ya bu, anak saya. Pokoknya saya percaya deh sama ibu. Saya serahkan anak saya untuk ibu jaga." Bukan main ya? Dititipi anak-anak itu beban lho karena harus menjaga mereka. Mbak Kiwi suka meledekku, "Kamu tuh Mel, dilimpahi kerjaan baru. Jadi Nany."

Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, gila juga ya kami dulu. Bawa anak orang sampai 30 ke pantai. Naik angkutan umum 3 mobil. Satu mobil cukup untuk 10 anak, karena badan mereka kecil-kecil. Kalau sekarang diminta lagi melakukan hal yang sama, belum tentu aku mau. Selagi muda memang tak perlu berpikir panjang-panjang ketika diberi tugas. Cukup berhati-hati, setelah itu, sudah! Laksanakan.

Nah, anak-anak remaja yang dulu dititipkan kepadaku oleh para ibu itu, yang sekarang sudah punya anak balita, kemarin mengajaku bernostalgia. Bertemu di kedai kopi, memperbincangkan kenangan masa lalu ketika sekolah kami begitu populernya dulu.

Tetapi aku tidak mau Ren. Nostalgia selalu menjebak banyak orang. Dan aku tidak ingin berada di sana. Apalagi kehadiranku di sekolah itu tidak lama. Tidak sampai 5 tahun. Justru Pak Mariolah yang patut kuberi apresiasi. Ia sudah 12 tahun menjadi Pembina di sekolah itu menggantikan posisiku. Sampai sekarang beliau masih setia di sana.

Aku, kadang-kadang menyesali diri sendiri, mengapa tidak bisa cukup lama di suatu tempat. Setelah 3-4 tahun biasanya aku akan pergi. Digantikan orang lain. Berilah nasihatmu Ren. Tapi yang enak didengar saja ya hahaha.

Sudah dulu ya, aku harus melanjutkan pekerjaanku.

Bye,

Imelda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun