Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat-surat untuk Irena (3)

28 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 28 Februari 2019   18:15 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/kglithero

Di luar sedang hujan.

Bagaimana di kotamu, Irena? Jangan suruh aku pulang ya, sebab begitu aku di sana, aku bakal ingin ke sini lagi. Dilema orang yang orientasinya bukan di masa kini. Kadang-kadang cemas tak jelas, haha ...

Aku mungkin sedang belajar sesuatu. Menjalani komitmen tidak selalu mudah. Apalagi ketika melalui bagian yang tak enak. Aku berusaha tidak lagi menoleh ke belakang; ke masa-masa penuh kejutan dan keriangan ketika mengerjakan panggilanku. Beberapa teman yang dulu masih remaja dan kini sudah punya anak, kerap mengajaku mengenang masa-masa indah dulu. Masa-masa dimana dulu kami sebagai kawanan yang dihormati banyak orang, sebagai kelompok yang kerap menjadi trend setter, dan yang melakukan kegiatan yang selalu dinanti orang.

Para ibu anak-anak remaja itu, kalau aku minta izin membawa anaknya ikut kegiatan, mereka senang sekali. "Titip ya bu, anak saya. Pokoknya saya percaya deh sama ibu. Saya serahkan anak saya untuk ibu jaga." Bukan main ya? Dititipi anak-anak itu beban lho karena harus menjaga mereka. Mbak Kiwi suka meledekku, "Kamu tuh Mel, dilimpahi kerjaan baru. Jadi Nany."

Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, gila juga ya kami dulu. Bawa anak orang sampai 30 ke pantai. Naik angkutan umum 3 mobil. Satu mobil cukup untuk 10 anak, karena badan mereka kecil-kecil. Kalau sekarang diminta lagi melakukan hal yang sama, belum tentu aku mau. Selagi muda memang tak perlu berpikir panjang-panjang ketika diberi tugas. Cukup berhati-hati, setelah itu, sudah! Laksanakan.

Nah, anak-anak remaja yang dulu dititipkan kepadaku oleh para ibu itu, yang sekarang sudah punya anak balita, kemarin mengajaku bernostalgia. Bertemu di kedai kopi, memperbincangkan kenangan masa lalu ketika sekolah kami begitu populernya dulu.

Tetapi aku tidak mau Ren. Nostalgia selalu menjebak banyak orang. Dan aku tidak ingin berada di sana. Apalagi kehadiranku di sekolah itu tidak lama. Tidak sampai 5 tahun. Justru Pak Mariolah yang patut kuberi apresiasi. Ia sudah 12 tahun menjadi Pembina di sekolah itu menggantikan posisiku. Sampai sekarang beliau masih setia di sana.

Aku, kadang-kadang menyesali diri sendiri, mengapa tidak bisa cukup lama di suatu tempat. Setelah 3-4 tahun biasanya aku akan pergi. Digantikan orang lain. Berilah nasihatmu Ren. Tapi yang enak didengar saja ya hahaha.

Sudah dulu ya, aku harus melanjutkan pekerjaanku.

Bye,

Imelda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun