Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lorosae | Bab 2 | Bertemu Teman Facebook

3 Januari 2019   07:11 Diperbarui: 4 Januari 2019   20:45 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Udah sholat maghrib, Ratih?", tanya Farah, temanku yang satu jurusan kepadaku.
"Belum. Dimana wudhunya?"
"Di sebelah kiri kamar ini, paling ujung. Tapi airnya habis."
"Waduh?! Gimana nanti di tempat tugas ya?"
"tenaaang... Sumber air su dekat. Hahaha..", canda temanku, Aya, calon guru ekonomi. Aku baru berkenalan dengannya saat prakondisi, sebulan sebelum pemberangkatan. 

Kami tidur berenam malam ini. Untuk wudhu sementara, aku menggunakan air mineral 1,5 liter yang tadi kubeli di bandara. Arah kiblat, aku perkirakan sedikit serong kanan dari arah matahari tenggelam. Bagiku, berwudhu dengan segelas air sudah cukup. Cukup dengan mengalirkan sedikit air ke telapak tangan kanan, lalu membasuh anggota wudhu. Kulakukan begitu sampai waktu isya tiba. 

Sebelum tidur, aku mengambil telepon genggamku. Sambil mengisi kembali baterainya yang mulai melemah, aku coba mengirim pesan singkat kepada calon keluarga angkatku di Tanah Timor ini. 

Aku mencarinya lewat Facebook. Mencari orang yang tinggal di Kupang untuk kumintai bantuannya. Ya, aku hidup di zaman Facebook. Zaman ketika seseorang dapat saling terkoneksi dengan mudah, walau tidak saling kenal sebelumnya. 

Aku mengiriminya pesan melalui fitur Pesan Facebook dan berhasil mendapatkan nomor kontaknya. Aku butuh petunjuk penduduk setempat. Dan aku selalu berdoa agar Allah mendekatkanku dengan orang-orang yang baik. Alhamdulillah orang yang aku hubungi itu mempercayaiku. Padahal kami tidak saling kenal sebelumnya. 

"Neng, besok beta pi main ke tempat Neng a?"
"Ga ganggu, kak?"
"Tidak, aman sa."

Aku sedikit mengerti Bahasa Kupang setelah ada orang dinas menemui kami di Pulau Jawa dua pekan sebelum keberangkatan kami ke Kupang.
***

"Hei Neng, beta Diah. Kenalkan ini beta punya teman, namanya Elen", sapa seorang kakak berhidung mancung. Jilbab kuning menghiasi wajah cantiknya yang terlihat seperti orang arab. 

"Hai, salam kenal", sapa Kak Elen sambil menyodorkan tangan dan tersenyum kepadaku. Kak Elen teman kantor Kak Diah. Dia berambut pendek, bertubuh agak gemuk dan seorang Katolik yang taat. 

"Hai kak.. " sapaku kembali. Tak lupa kuhiasi wajahku dengan senyuman terindah semampuku. 

"Saya Ratih, ini Farah, yang ini Aya, yang ini Nia. Dua orang lagi Santi sama Rena lagi keluar.", aku memperkenalkan teman-temanku, disambut jabatan tangan dan senyuman masing-masing. 

"Kalian ditempatkan satu kampung ko?"

"Oh, tidak, Kak. Saya dengan Nia di Amarasi Timur. Farah di Amfoang Timur, Aya di Amfoang Barat Daya"

Kulihat kening Kak Diah berkerut. Kak Diah saling berpandangan dengan Kak Elen. Kak Elen melempar pandangan kepadaku memberiku isyarat bahwa dia tidak mengerti apa yang kumaksud. 

"Apa itu Amfoang?", tanya Kak Diah. 

Ku sodorkan SK penempatanku yang ditandatangani gubernur saat itu. 

"Ini, kak."

"Ooohhh...ini Amfo-ang. Dibacanya Amfo-ang, bukan Amfoang. Kotong sonde mengerti Amfoang nah, ahaha.. "

Amfoang dibaca Amfo-ang, Amabi dibaca Am-abi, Nekamese dibaca Nekmese. Kefamnanu dibaca Kefa Mnanu. Lidahku ketlingsut. 

Ini pertemuan pertama kami dengan Kak Diah dan Kak Elen, tapi rasanya  seperti teman akrab yang sudah lama tak jumpa. Kami mencari tahu info tentang lokasi yang akan kami tempati, bagaimana keadaan secara umum masyarakat disana, sambil sedikit belajar Bahasa Kupang. 

"Neng, nanti di tempat tugas mesti hati-hati. Kalau jemur pakaian dalam, harus dibalik. Jahitannya harus di luar. Kalau buang pembalut harus dibakar. Kalau neng disambut sangat baik oleh warga kampung, Neng harus curiga. Biasa disini, orang baik itu diracun!"

"Hah?!  Gimana kak? Diracun?"

"Iya. Disini masih kental guna-guna, santet, yaa.. semacam itu lah. Jadi, Neng harus hati-hati!"

Aku mengangguk, tapi ada yang masih aku belum mengerti. 

"Ohhh.. iya... iya... Tapi, Kak! maksudnya orang baik diracun itu gimana ya?", tanyaku penasaran. 

"Betul, Neng. Disini, kalau kita terlalu baik sama orang, justru malah kita yang diracun. Beta punya bapak hampir diracun juga. Tapi puji Tuhan, Tuhan masih lindungi beta pu bapak.", Kak Elen membenarkan. 

"Hoo...gitu kak?" jawabku datar. Pandanganku menerawang. Membayangkan apa yang disampaikan Kak Diah dan Kak Elen barusan.  

Orang baik diracun? Hmmm..... 

***

"Kamu denger kan tadi Kak Diah sama Kak Elen bilang apa? ", tanyaku pada Farah. 

Hari sudah malam. Gelap. Dingin. Sunyi di penginapan. Lampu 10 Watt di kamar ini menghangatkan suasana.  

"Iya, kok serem ya?" 

"Mana tempat tugasmu jauh pula, Far? Ga ada listrik, ga ada sinyal. "

" Iya, duh.. Gimana atuh? Tapi emang segitunya ya? Santet masih kental sih wajar ya, masih pedalaman. Tapi orang baik diracun?" 

Aku angkat bahu, sambil kubenahi isi koperku. 

"Hah? Gimana teh? Orang baik diracun? ", sahut Rena,sambil tengkurap dengan buku di tangannya. Badannya menoleh, mendengarkan obrolan kami. 

" Iya, tadi ada temen saya kesini. Namanya Kak Diah sama Kak Elen. Mereka ngasih tau kalau jemur pakaian harus dibalik, jahitannya di luar, kalau buang pembalut dibakar, trus jangan terlalu baik sama orang, takutnya nanti diracun."

"Eh,teteh punya temen di Kupang?", sahut Santi. Rena dan Santi mulai membenahi cara duduknya. 

" Hehe.. Engga sih, teman Facebook aja. "

"Weisss... Gaul eumm si teteh.. Haha.."

Ah,Santi nih.. 

"Kalau kata aku sih, tergantung sikap kita. Bersikap sewajarnya aja. Kalau perlu baik ya baik, kalau perlu tegas ya tegas. Jangan terlalu baik, juga jangan terlalu kaku. Gitu aja sih.. "

" Ya sih, kita aja kalau ketemu orang baru,  tapi sikapnya baik banget ama kita, kita juga kan jadi curiga ya? ", timpal Farah. 

"Baik sewajarnya aja. Itu!" 

Aku masih sibuk membenahi koper yang sulit ditutup. Padahal sejak di Bandung, koper ini tertutup rapi. 

"Iya. Eh, Ratih, kamu bawa apaan,  sih? Penuh amat kopermu?", tanya Farah sambil melongok isi koperku. 

"Ini ada beras, deterjen, sabun mandi buat sebulan, minyak goreng, mie instan, minuman sereal serenceng, perlengkapan P3K. Baju malah cuma 3 stel. Cuci- kering-pake nanti kayaknya. Fyuhh, emang kita bakal tugas di pelosok banget ya? "

"Ha.. Ha.. Ha.. Ya ga gitu juga kaleee.. Orang sini aja masih bisa hidup, masa yang begituan ga ada sih disini? Hha.." 

"Tau nih, mama! Bawain ginian. Takut ga nemu warung katanya. "

"Ihh, apa atuh? Warung warung mah pasti ada lah..", sahut Nia sambil membersihkan wajahnya dari sisa make up. 

"Dah, yuk, tidur! Besok dah mulai pada dijemput kan? Istirahat awal lah, biar besok ga terlalu capek. ", aku mengakhiri obrolan malam itu. Akhirnya koperku berhasil ditutup kembali.  

Saat akan kumatikan lampu kamar, 

" Eh.. ehh... Ntar sama saya aja matikannya. Belum selesai bersihkan make up nih.. ", Nia mencegahku mematikan lampu. 

"Oh, oke. Aku tidur duluan ya,  Teh?"

"Hm", Nia makin khusyuk memperhatikan wajahnya. Kalau-kalau masih ada sisa make up menempel di wajah cantiknya. Mungkin ada benarnya guyonan orang-orang tentang wanita sunda. Sunda,  "suka dandan",  heu.. 

Di balik selimut, aku masih kepikiran kata-kata Kak Diah dan Kak Elen tadi siang. Moga aku tak mengalaminya. 

*****

Beta = saya

Pi / pigi = pergi

Sa = saja

Pu = punya

Ko = kah? (partikel tanya) 

Kotong = kita/kami

Sonde = tidak/bukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun