Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohongilah Aku

29 Desember 2018   05:12 Diperbarui: 29 Desember 2018   05:40 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nah, gitu dong! Serius tapi santai. Ga usah terlalu tegang. Kan ibu juga ga ngapa-ngapain. Yuk, sersan ya!", Bu Wina pun melanjutkan materinya.
***

Guru SD-ku pernah bilang, untuk jadi pintar itu tidak murah. Harus dibayar dengan belajar sungguh-sungguh dan badan yang lelah. Mungkin aku harus membuat tubuhku lelah. 

Aku mulai rajin bangun jam 2 pagi untuk tahajud dan belajar. Aku tidak tidur lagi sampai jam berangkat sekolah. Hampir tiap hari aku pulang berjalan kaki, walau sedang puasa sekalipun. Karena belajar itu harus lelah. Aku tidak mau hasil UN-ku hancur parah. Nilai 42,05 menjadi alarm tanda bahaya buatku. 
***

Hasil UN sudah keluar. Nilaiku rata-rata delapan koma. Aku lupa koma berapa. Whuuuaaaaaaa.... Aku senang tak terkira. Bahkan teman sebangkuku nilainya di bawahku. Nilaiku termasuk tinggi di kelas unggulan ini. Alhamdulillah.. Tak henti-hentinya aku berucap syukur. Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. 

"Ning, nilai kamu tinggi, ih!", puji temanku, Namla
"Iya, nih! Alhamdulillah. "
" Wah, kamu bisa dong masuk SMA favorit? "
"Hehe, pengennya sih gitu. Tapi gimana nantilah.. "
"Nilai kamu tuh gede tau... Sayang kalau ga dimanfaatkan buat masuk sekolah favorit. Sayang nanti kalau sekolah biasa. Kalau di sekolah favorit kan kemampunmu makin terasah.. "

Aku mulai mengkhayal, seandainya aku meneruskan ke sekolah favorit. Sekolah lagi bersama orang-orang pintar. Aku akan lebih mudah menggapai cita-citaku. Bisa masuk ke universitas favorit di kota ini. Ah, lamunanku terlalu jauh! Kenyataannya bapak ibuku tak mampu menyekolahkanku kesana. Biayanya mahal. Uang masuk 6 juta terasa berat untuk bapak ibuku. 

"Ning, kamu kan punya banyak adik. Kasihanlah sama adik-adikmu. Biaya sekolah itu dibagi-bagi.", nasihat ibuku. 

Aku menuruti kemauan orang tuaku. Aku tidak jadi melanjutkan ke SMA favorit. Aku harus bersyukur sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja, dekat dari rumah. Setidaknya, aku hanya cukup berjalan kaki 2 kilometer saja ke sekolah.
***

Aku sudah kelas 1 SMA. Sebentar lagi naik ke kelas 2. Aku sudah menjadi juara umum di sekolahku yang biasa saja itu. Aku mulai kerasan di sekolah baruku, alhamdulillah. 

Suatu hari, aku membereskan laci tempat tidur orang tuaku. Laci itu terkunci entah sejak kapan. Rasanya bertahun-tahun aku tak pernah membuka laci itu. 

Aku meneliti kertas-kertas yang bertumpuk di laci itu. Ada kertas fotokopian bergaris batik di pinggirnya. Di bagian atas tertulis namaku, Siti Cahyaning. SMP Negeri 1 Kota Besar. Eh? Sebentar? Kertas apa ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun