Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohongilah Aku

29 Desember 2018   05:12 Diperbarui: 29 Desember 2018   05:40 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pa, berapa nilai Ning?", ini pertanyaanku ketiga kalinya karena bapak tak mau menjawab berapa hasil nilai Pra-UN-ku. Sudah 15 menit aku menunggui motor bapakku di sebuah gang sempit padat penduduk. Bapakku sangat sibuk dengan jahitannya, tapi menyempatkan diri mengambil nilai Pra UN anaknya. 

"Ya, segitu." 

yayy!! Akhirnya dijawab juga. 

"Berapa? " tanyaku masih penasaran, sambil tersenyum penuh harap. 

"Rata-rata minimalnya berapa?" 

"tujuh. "

" Ya, segitu."

"Berapa? 42?"

"Iyalah...Hmm.. 42,05"

"Hah?! Pas banget?? Coba lihat?"

" Udah, ah! Ayo, pulang! Pakai helmmu!"

Kertas nilai Pra UN keduaku diselipkan bapak di dalam jaketnya tanpa memberikan  aku kesempatan melihatnya. Beliau tak peduli bibirku yang mulai keriting, cemberut dan keningku yang mulai berkerut. Aku galau. Masa sih, udah bangun tiap jam 2 pagi, udah sholat tahajud, udah belajar pula, masa iya nilainya pas banget rata-rata tujuh? Tak terasa, mataku mulai berkaca-kaca. Entah karena kecewa dengan takdirku atau aku yang kurang bersyukur. 

***
Namaku Siti Cahyaning. Teman-teman memanggilku Ning. Aku siswa kelas tiga sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota besar. Sekolahku termasuk sekolah favorit di kota ini. Di kelas tiga ini, aku berhasil masuk kelas unggulan. Dari 44 siswa di kelasku, aku peringkat ke-37. Tak terlalu buruk, bahkan yang nilainya paling kecil di kelas ini pun masih teranggap pintar. Yah, namanya juga kelas unggulan. 

Hari ini aku datang kepagian. Aku ikut motor bapakku karena ada jahitan yang harus diambil pagi-pagi buta. Bapakku penjahit sekaligus karyawan salah satu perusahaan BUMN. Bapak harus membagi waktu antara menjahit dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. 

Ikut motor bapak pagi ini lumayan bisa irit uang jajan. Ibuku memberiku Rp3.000 per hari untuk bekal sekolah. Biasanya terpakai  Rp2.000  untuk ongkos angkot PP. dan sisanya untuk jajan. Kalau aku ada bimbel, maka sehari sebelumnya aku tidak jajan dan pulang sekolah berjalan kaki sejauh 5 km agar aku bisa naik angkot ke tempat bimbel keesokan harinya. Kenapa aku bisa ikut bimbel? Itu karena  aku lolos seleksi beasiswa di kantor bapakku, lumayan untuk daftar bimbel. Seperti teman-temanku yang lain di kelas unggulan ini. Rata-rata mereka ikut bimbel sepulang sekolah. 

Jam 6 pagi, gerbang sekolah masih ditutup. Aku masuk lewat pintu belakang, dekat kantin dan sanggar-sanggar ekstrakurikuler. Tak ada seorang pun yang kutemui. Aku terus berjalan menuju kelasku untuk sekedar meneruskan tidur pagiku. 

Sekolah super sepi dan udara dingin sekali. Hanya kabut yang menemani. Sesekali terdengar suara langkah kaki. Bukan hantu apalagi mister gepeng sang penunggu kamar mandi. Itu hanya penjaga sekolah yang sedang bersih-bersih. 

Pukul 6.45, teman-temanku mulai berdatangan. 

"Eh, nilaimu berapa?", tanya Laili yang datang bersama Vera, sementara aku masih asik tidur-tiduran. 

"Aku 45. Kamu? "

"Sama, 45 juga. Komanya berapa?" 

Bla.. Bla.. Bla.. 

Ah, aku malas mendengarnya. Aku kecewa. Nilaiku hanya 42,05. Aku yang paling bodoh di kelas ini. 

"Hei Echi, kamu dah lihat nilainya? Dapat berapa? "

"48. Kamu berapa, Emi?" 

"Sama. 48 juga. Eh, komanya berapa? "

Haisssshhh....!! Ku tutup telingaku. Dan aku mulai mengutuki diriku sendiri. Aku yang paling bodoh di kelas ini! Titik!
Dan setelah ini, jangan ada yang menanyai nilaiku!!
***

"Jadi, hierarkinya begini.. 

Mahasiswa takut dosen,
Dosen takut dekan,
Dekan takut rektor,
Rektor takut menteri,
Menteri takut presiden,
Presiden takut mahasiswa."

Aku memerhatikan dengan serius penjelasan Bu Wina, guru PPKn di kelasku. Aku tak tahu kalau perkataan Bu Wina itu mengutip puisi Bapak Taufiq Ismail yang berjudul "Takut 66, Takut 98". 

Aku duduk di depan. Pandangaku fokus ke wajah Bu Wina. Aku berusaha memusatkan perhatianku pada penjelasan Bu Wina. Aku tak peduli gincu warna apa yang sedang menghiasi bibir Bu Wina. Fokusku hanyalah: jangan ada satu pun materi yang tidak aku pahami! Nilai UN nanti, nilaiku harus tinggi!

"Ning, serius amat mukanya? Santai aja, ga usah tegang begitu. Belajar itu harus sersan ya anak-anak.. Serius tapi santai.. "

Ah, Bu Wina. Ternyata beliau memerhatikanku. Aku malu, aku tersenyum, lalu menjatuhkan wajahku ke tangan yang sejak tadi sedekap di atas meja. Lalu ku angkat kembali kepalaku sambil berusaha tetap tersenyum, fokus lagi, tapi kali ini berusaha lebih santai. 

"Nah, gitu dong! Serius tapi santai. Ga usah terlalu tegang. Kan ibu juga ga ngapa-ngapain. Yuk, sersan ya!", Bu Wina pun melanjutkan materinya.
***

Guru SD-ku pernah bilang, untuk jadi pintar itu tidak murah. Harus dibayar dengan belajar sungguh-sungguh dan badan yang lelah. Mungkin aku harus membuat tubuhku lelah. 

Aku mulai rajin bangun jam 2 pagi untuk tahajud dan belajar. Aku tidak tidur lagi sampai jam berangkat sekolah. Hampir tiap hari aku pulang berjalan kaki, walau sedang puasa sekalipun. Karena belajar itu harus lelah. Aku tidak mau hasil UN-ku hancur parah. Nilai 42,05 menjadi alarm tanda bahaya buatku. 
***

Hasil UN sudah keluar. Nilaiku rata-rata delapan koma. Aku lupa koma berapa. Whuuuaaaaaaa.... Aku senang tak terkira. Bahkan teman sebangkuku nilainya di bawahku. Nilaiku termasuk tinggi di kelas unggulan ini. Alhamdulillah.. Tak henti-hentinya aku berucap syukur. Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. 

"Ning, nilai kamu tinggi, ih!", puji temanku, Namla
"Iya, nih! Alhamdulillah. "
" Wah, kamu bisa dong masuk SMA favorit? "
"Hehe, pengennya sih gitu. Tapi gimana nantilah.. "
"Nilai kamu tuh gede tau... Sayang kalau ga dimanfaatkan buat masuk sekolah favorit. Sayang nanti kalau sekolah biasa. Kalau di sekolah favorit kan kemampunmu makin terasah.. "

Aku mulai mengkhayal, seandainya aku meneruskan ke sekolah favorit. Sekolah lagi bersama orang-orang pintar. Aku akan lebih mudah menggapai cita-citaku. Bisa masuk ke universitas favorit di kota ini. Ah, lamunanku terlalu jauh! Kenyataannya bapak ibuku tak mampu menyekolahkanku kesana. Biayanya mahal. Uang masuk 6 juta terasa berat untuk bapak ibuku. 

"Ning, kamu kan punya banyak adik. Kasihanlah sama adik-adikmu. Biaya sekolah itu dibagi-bagi.", nasihat ibuku. 

Aku menuruti kemauan orang tuaku. Aku tidak jadi melanjutkan ke SMA favorit. Aku harus bersyukur sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja, dekat dari rumah. Setidaknya, aku hanya cukup berjalan kaki 2 kilometer saja ke sekolah.
***

Aku sudah kelas 1 SMA. Sebentar lagi naik ke kelas 2. Aku sudah menjadi juara umum di sekolahku yang biasa saja itu. Aku mulai kerasan di sekolah baruku, alhamdulillah. 

Suatu hari, aku membereskan laci tempat tidur orang tuaku. Laci itu terkunci entah sejak kapan. Rasanya bertahun-tahun aku tak pernah membuka laci itu. 

Aku meneliti kertas-kertas yang bertumpuk di laci itu. Ada kertas fotokopian bergaris batik di pinggirnya. Di bagian atas tertulis namaku, Siti Cahyaning. SMP Negeri 1 Kota Besar. Eh? Sebentar? Kertas apa ini? 

Aku baca dengan detail kertas itu. Oh, tidak! Ini laporan hasil Pra UN-ku sewaktu SMP. Aku penasaran, apa benar nilaiku 42,05? Telunjukku menyisir perlahan nilai-nilai yang tertera di kertas itu. Total nilai 47,19. Hah?!  Jadi nilaiku bukan 42,05? Jadi aku bukan yang terbodoh di kelas? Tapi kenapa bapak membohongiku?

Aku tertegun. Lama aku berpikir, untuk apa bapak sengaja membohongiku?  Aku berusaha berprasangka baik, aku mulai menerima. Air mukaku melunak. Aku tersenyum. 

Terima kasih bapak karena telah membohongi anakmu ini. Bohongnya bapak telah memecut semangatku lebih tinggi lagi, sampai akhirnya nilaiku bisa lebih baik dari sebelumnya. Bahkan cukup untuk masuk ke sekolah favorit. 

Kebohongan bapak sudah membuatku mudah masuk sekolah negeri manapun yang kumau. Tak ada yang mampu kuucapkan selain mendoakanmu selalu dalam kebaikan dan penjagaan Allah Ta'ala. Bohongilah aku lagi, jika itu bisa membuatku lebih baik. 

Kali ini, giliranku yang menyembunyikan temuanku. Aku tidak bohong, aku hanya tidak memberitahukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun