"Ya..., buat bayar hutang sih"
"Kamu punya hutang?"
"Bisa dibilang iya, tapi... bisa dibilang enggak juga" Jawab Pandhu tersenyum disusul wajah Agam yang kebingungan.
Sebenarnya mudah saja menjelaskan hal ini bagi Pandhu. Namun hatinya selalu merasa sakit tiap kali ia mengingat hal ini.
Sedikit demi sedikit mereka berdua bertukar cerita tentang kisah hidup masing-masing. Malam itu Pandhu dan Agam melewati hari kelabunya bersama.Â
Mempertanyakan nasib dan pilihan yang diambil. Seiring berjalannya waktu, hari demi hari mereka lalui, keduanya mulai saling memahami posisi masing-masing.
Tak ada yang salah dari kisah mereka berdua, semua perasaan tergantung dari rasa bersyukur. Agam mulai sadar, kehidupan Pandhu berbeda jauh dengannya. Setiap waktu pikirnya bertanya-tanya, apakah sudah cukup ia bersyukur?. Apakah jalan yang ia ambil sudah benar?.
Hari dilemanya dimulai setelah ia mengenal sosok Pandhu. Begitu pekerja keras dan mandiri, Agam malu melihat perbuatan dirinya sendiri yang mencoba lari dari kenyataan. Hingga di suatu pagi, ketika burung-burung bernyanyi untuk membangunkan temannya.
"Pandhu!, saya mau merekrut kamu!" Seru Agam, mengagetkan Pandhu yang sedang mencukur kumis di hadapan cermin. Wajahnya serius dengan mata yang seakan berbinar.
"Rekrut apaan?" Pandhu keheranan.
"Saya mohon kamu mau ya, jadi kepala Divisi Produksi di perusahaan saya!"