Apa yang terlintas di benakmu mendengar kata diskotik atau club? Kurasa tak akan jauh dari minuman beralkohol dan rokok, musik bergenre EDM dari sang DJ yang menghentak, suasana hingar-bingar dengan tata cahaya nan apik, euforia orang-orang bergoyang heboh, dan wanita berpakaian seksi yang memenuhi setiap sudutnya. Mungkin juga narkoba, aku tak menafikannya.
Lalu muncul pertanyaan berikutnya, orang macam apa yang mendatangi diskotik atau club? Hedonis, anak gaul, pemabuk, wanita nakal, orang stress, atau sebutkanlah satu lagi. Yang jelas, hampir tiap pekan aku mendatangi diskotik atau club bersama kolega sekantor. Terserah kalian akan mengklasifikasikan aku yang mana, tapi dengarkan ceritaku dulu.
***
Malam mulai meninggi di kawasan Kemang. Cuaca sedikit berawan di penghujung 2019. Kulirik Tag Heur-ku, hampir pukul sebelas malam. Kuparkir Brio RS putihku agak jauh dari pintu masuk. Maklum, malam ini weekend, jadi ramai sekali. Kusapa ramah tiga orang security yang sudah mengenalku. Aku lalu menuju spot favorit kami di tempat ini. Aku orang terakhir yang tiba disana.
"Hallo guys, dah pada kumpul semua nih!" sapaku sambil ber-hi five pada kolega satu kantor di Bank ABC. Ada Frans, Leo, Randi, Joya dan Meta.
"Ah, ini dia manusianya baru dateng." Leo berujar sambil mematikan Marlboro Lights-nya.
Sengaja aku ambil posisi duduk di sebelah Meta. Pertama karena kami sama-sama tidak merokok. Kedua karena kami sama-sama tidak minum alkohol. Ketiga karena Meta cantik sekali malam ini, seperti biasanya. He... He... Dengan gaun sabrina merah marun dan high heels hitam, she look gorgeous. Sebenarnya sih aku naksir Meta, dan Meta juga sangat perhatian padaku.
"Minum dulu mas Ardi, udah aku pesenin softdrink tuh," ujar Meta sambil mengembangkan senyumnya yang manis sekali. Kuhirup softdrink beberapa teguk untuk hilangkan dahaga. Tiba-tiba kuteringat sesuatu.
"Ah, gue lupa belum sholat isya. Disini ada musholla ngga yah?" tanyaku setengah panik.
"Yaelah, udah clubing masih inget sholat aja. Udah ntar aja pulang clubing, kan masih keburu." sergah Frans sambil menenggak Chivas Regal-nya.
"Iya, bro. Nanti aja. Lagian di tempat kayak gini emang ada musholla?" dukung Leo.
"Jangan dengerin dua setan ini mas. Sholat aja dulu. Coba tanya security atau waiter, dimana mushollanya." Meta mendukungku dan membuatku langsung beranjak. Kutebar pandangan mencari waiter. Ah itu ada satu di dekat bar.
"Mas, di sini ada musholla ngga?" tanyaku setengah berteriak untuk bersaing dengan hentakan musik. Yang kutanya seperti keheranan. Ia mungkin heran, koq ada anak clubing mikirin sholat.Â
Ia lalu mengantarkan aku menuju sebuah ruangan yang dijadikan tempat untuk sholat. Tempatnya di basement, lumayan jauh dari club. Yah, agak aneh memang. Di tempat maksiat penuh dosa ini, masih ada ruang untuk orang menyembah Tuhannya. Mungkin pengelola tempat ini tak ingin dicap sebagai orang yang tidak menghormati hak orang untuk beribadah. Sekedar basa-basi, khas Indonesia.
Ternyata aku tak sendirian, ada seorang wanita berpakaian seksi di musholla itu. Di tempat wudhu yang hanya menyediakan satu keran, kami tak sengaja bertatap mata. Sorot matanya dingin, but damn, she's pretty. Kuberi nilai 7,5 skala 10. Dengan tube dress hitam yang membungkus raga indahnya, membuatku sedikit hilang fokus. Aku wudhu setelah dirinya. Kupikir ia akan langsung sholat, ternyata ia menantikan diriku.
"Mas, kita sholat jamaah," ujarnya. Sejenak aku menatap wajahnya, kemudian aku mengangguk. Kubentang sajadah yang sudah kumal, lalu kumulai sholatku. Sedikit grogi juga menjadi imam sholat, karena aku sendiri lupa kapan terakhir kali jadi imam sholat. Kubaca surat Al Fatihah dengan mantap. Gini-gini aku ini dulu waktu SMA ikut Rohis, jadi masih ada puing-puing sholeh dalam diriku. Kubaca surat Al Baqarah ayat 1 sampai 10 di rakaat pertama. Kudengar suara isak tangis dari belakang. Kubaca tiga ayat terakhir surat Al Baqarah di rakaat kedua, tangisnya makin keras.
Selesai sholat, sengaja aku hadapkan tubuhku ke belakang. Kulihat ia berdoa sambil menangis. Dengan mukena biru, auranya terlihat berbeda. Ingin aku mendekatinya, tapi siapa dia? Just a random stranger. Mungkin juga dia tidak suka aku perhatikan seperti sekarang ini. Aku lalu bangkit, namun sesuatu yang sama sekali tak terduga terjadi. Gadis itu memelukku, lalu menangis. Aku bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Yang kupahami, bila seorang wanita menangis, jangan coba kau redakan, biarkan saja.
Ada semenit ia menangis didadaku. Kemeja Raoul hitamku basah oleh air matanya. Seakan tersadar, ia lalu melepas pelukannya. Ia tampak malu sekali. Ia lalu melepas mukenanya.
"Maaf mas, gue dah lancang main peluk. Gue bingung menghadapi orang baik seperti mas ini. Maklum, biasa menghadapi lelaki hidung belang, mas," katanya sambil duduk melipat mukenanya dan memasukkannya dalam tas.
"Oh, ngga apa-apa mba. Eh, lo lebih cantik kalo pake mukena deh," ujarku tanpa maksud untuk menggoda apalagi menggombal. Kuucap kata-kata barusan dengan ekspresi datar. Ia tersenyum manis sekali, lalu berkata "Belum kenal aja udah berani ngegombal."
"Ya udah kalau begitu, kita kenalan aja, biar gue bisa ngegombal lagi. Gue Ardian,panggil aja Ardi," ucapku sambil mengulurkan tangan dan duduk disampingnya. Ia pun menyambutnya.
"Gue Renata. Panggil aja Rena. Tapi kalo ditempat kerja, nama gue Dinda."
"Rena memangnya kerja dimana? Terus koq bisa dipanggil Dinda?" tanyaku penasaran.
"Di lantai tiga. Mas Ardi tahu kan tempat apa disitu? Yang kerja disitu memang pakai nama samaran semua," jelas Rena tanpa menatapku. Aku mengangguk. Lantai tiga adalah tempat spa khusus pria. Aku belum pernah kesana atau tempat lain semacamnya. Aku hanya pernah mendengar cerita Frans, Randi dan Leo yang kadang mengunjungi tempat seperti itu. Tempat bagi pria melepas penat dan hasrat dengan dimanja oleh wanita cantik.
"Seumur-umur, baru kali ini gue liat pengunjung club ikutan sholat. Biasanya yang sholat di sini paling cuma yang kerja di sini. Itu pun jarang-jarang." Lamunanku buyar saat Rena tiba-tiba berkomentar.
"Aneh yah? Gue juga heran ternyata di tempat begini ada musholla. Biasanya sih gue sholat dirumah, tapi hari ini gue inget belum sholat. Gue ngerasa ngga tenang aja kalau belum sholat," jelasku.
"Oh iya, tadi pas sholat kenapa menangis? Bacaan Al qur'an gue terlalu syahdu yah?" candaku pada Rena yang sedang memainkan gawainya. Ia tak langsung menjawab.
"Iya mas. Bacaan Al Qur'an mas Ardi mengingatkan gue pada banyak hal. Ingat keluarga, ingat teman di kampung, dan yang paling terasa... ingat dosa...." Air mata Rena kembali menetes. Aku hanya bisa terpaku memandangnya.
"Butuh pundak?" tanyaku dengan tatapan syahdu. Ia mengangguk, lalu merebahkan kepalanya di pundakku. Kupegang tangannya. Jujur saja aku bingung harus bagaimana. Logikaku berkata tinggalkan saja, ia hanya random stranger. Perasaanku berkata temani ia yang sedang butuh bantuan seseorang sepertimu. Saat ini mereka sedang berdiskusi mencari jalan tengah. Namun sepertinya diskusi mengalami deadlock. Saat deadlock itulah tiba-tiba nurani berbicara.
"Kita semua punya dosa, Renata. Kamu, pengunjung club ini, tamu yang kau layani, orang-orang diluar sana, termasuk juga yang sedang berbicara ini...," kataku lembut. "Dan bagaimana nasib kita di akhirat nanti, kita tidak tahu pasti. Selama kita masih punya nafas, kita masih bisa mohon ampunan. Dan Dia maha pengampun pada hambaNya yang memohon ampunan. Sebanyak apa pun dosa kita, masih ada harapan untuk diampuni. Iya kan?" kataku panjang lebar.
"Gue pernah dengar ada ustadz yang bilang begini: 'Iringilah perbuatan buruk dengan yang baik. Niscaya pahala akan menghapus dosa. Dan berserah dirilah hanya kepada Allah. Sesungguhnya pintu ampunan Allah itu semesta alam.' Jadi, tetap semangat yah! Jangan hilang harapan terhadap ampunan Allah," lanjutku. Renata menatapku takjub. Kulihat ada bara semangat harapan dari matanya yang masih menyisakan tangis.
Tiba-tiba gawaiku berbunyi, Meta meneleponku. Renata lalu beranjak dari sisiku.
"Mas, dimana? Sholat koq lama banget?" tanya Meta dengan suara keras bersaing dengan hentakan musik.
"Iya lagi di musholla, sebentar lagi kesana koq, ada perlu sebentar," jawabku sambil berteriak dan mematikan gawaiku.
"Pacarnya yah mas? Sekilas gue lihat fotonya tadi, cantik banget. Wah apa jadinya kalo dia lihat yang barusan terjadi." goda Rena sambil tersenyum jahil.
"Oh, Meta? Bukan pacar, dia kolega satu kantor. Cantik sih anaknya, tapi sejak melihat lo, gue rasa sih cantiknya Meta jadi ngga ada apa-apanya." Kukeluarkan salah satu gombalan andalanku.
"Hmm... lama-lama disini, bisa baper gue. Kita cabut yuk mas!" Renata lalu bangkit. Aku pun ikut menyusulnya. Lalu kita berjalan beriiringan keluar dari musholla. Dipersimpangan menuju pakiran basement, kami berpisah.
"Kita pisah di sini mas Ardi. Terimakasih atas semuanya. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu dalam keadaan yang lebih baik. Assalamu'alaikum. Bye, mas Ardi." Renata tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya dan berjalan menuju parkiran.
"Wa'alaikum salam. Bye, Renata. Kalau kita bertemu lagi, mungkin kita berjodoh," ujarku. Renata menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan tersenyum sambil mengangguk.
Setelah itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan Renata. Dia tak pernah menampakkan dirinya di musholla lagi. Saking penasaran, aku nekat mendatangi lantai tiga tempat Renata bekerja. Ternyata ia sudah resign. Aku hubungi dua nomor telepon yang diberikan resepsionis, tak ada yang aktif. Ya sudahlah, aku hanya bisa berdoa, semoga Renata selalu dalam lindunganNya.
Setahun sudah berlalu dari peristiwa tak terduga di musholla itu. Aku sudah resign dari bank tempatku bekerja. Aku kini bekerja disebuah Photograpy Agency. Penghasilannya memang tak sebesar saat masih jadi bankir, tapi di sini aku tak merasa jadi budak korporasi. Di sini aku merasa seperti mengerjakan hobi, dibayar pula. Hari ini aku bertugas meng-handle klien sebuah Pondok Pesantren berkonsep modern di kawasan Bogor. Mereka butuh foto-foto untuk keperluan pembuatan web, media sosial dan materi cetak.
"Assalamu'alaikum mas Ardi. Apa kabarnya?" sapa seseorang saat aku sedang asyik mengambil foto gedung-gedung pesantren yang megah ini. Dari suaranya aku kenal, tapi melihat sesosok wanita berhijab dihadapanku, aku ragu dengan pikiranku.
"Wa'alaikum salam. Maaf, ini dengan siapa yah?" tanyaku sambil menatap lekat wanita cantik dengan jilbab warna biru laut itu.
"Aduh kasian deh gue, udah dilupain gitu aja. Sepertinya kejadian waktu itu ngga ada artinya apa-apa." Dia merengut.
"Renata? Lo Renata a.k.a Dinda?" tanyaku masih tak yakin dan masih menatap lekat wajahnya.
"Iya, biasa aja dong ngeliatinnya. Malu nih. Iya, gue Renata. Tolong jangan sebut-sebut nama Dinda lagi yah mas. Hal itu mengingatkan kembali masa kelam itu," ujar Renata sambil matanya menerawang.
"Oh, iya maaf." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku benar-benar tak siap dan tak menyangka akan bertemu Renata disini. Ternyata doanya terkabul, bahwa kini kita bertemu dengan keadaan yang lebih baik. Renata sudah tak bekerja di dunia hitam lagi. Ia kini menjadi staff administrasi di pesantren ini. Ia juga memutus segala komunikasi dengan dunia hitam itu. Aku juga bercerita tantang pekerjaanku sekarang.
"Hmm... Jadi bagaimana?" tanyaku.
"Bagaimana apanya mas?" Ia bingung.
"Ya, dia lupa. Ingat ga, dulu gue bilang: 'Kalau kita ketemu lagi, mungkin kita berjodoh', ingat ngga?"
Renata tak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu menunduk. Tak ada jawaban saat itu. Tak mengapa, itu saja sudah cukup. Apa yang terjadi nanti, biarlah menjadi misteri. Yang jelas, saat ini aku senang dipertemukan kembali dengan Renata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H