"Rena memangnya kerja dimana? Terus koq bisa dipanggil Dinda?" tanyaku penasaran.
"Di lantai tiga. Mas Ardi tahu kan tempat apa disitu? Yang kerja disitu memang pakai nama samaran semua," jelas Rena tanpa menatapku. Aku mengangguk. Lantai tiga adalah tempat spa khusus pria. Aku belum pernah kesana atau tempat lain semacamnya. Aku hanya pernah mendengar cerita Frans, Randi dan Leo yang kadang mengunjungi tempat seperti itu. Tempat bagi pria melepas penat dan hasrat dengan dimanja oleh wanita cantik.
"Seumur-umur, baru kali ini gue liat pengunjung club ikutan sholat. Biasanya yang sholat di sini paling cuma yang kerja di sini. Itu pun jarang-jarang." Lamunanku buyar saat Rena tiba-tiba berkomentar.
"Aneh yah? Gue juga heran ternyata di tempat begini ada musholla. Biasanya sih gue sholat dirumah, tapi hari ini gue inget belum sholat. Gue ngerasa ngga tenang aja kalau belum sholat," jelasku.
"Oh iya, tadi pas sholat kenapa menangis? Bacaan Al qur'an gue terlalu syahdu yah?" candaku pada Rena yang sedang memainkan gawainya. Ia tak langsung menjawab.
"Iya mas. Bacaan Al Qur'an mas Ardi mengingatkan gue pada banyak hal. Ingat keluarga, ingat teman di kampung, dan yang paling terasa... ingat dosa...." Air mata Rena kembali menetes. Aku hanya bisa terpaku memandangnya.
"Butuh pundak?" tanyaku dengan tatapan syahdu. Ia mengangguk, lalu merebahkan kepalanya di pundakku. Kupegang tangannya. Jujur saja aku bingung harus bagaimana. Logikaku berkata tinggalkan saja, ia hanya random stranger. Perasaanku berkata temani ia yang sedang butuh bantuan seseorang sepertimu. Saat ini mereka sedang berdiskusi mencari jalan tengah. Namun sepertinya diskusi mengalami deadlock. Saat deadlock itulah tiba-tiba nurani berbicara.
"Kita semua punya dosa, Renata. Kamu, pengunjung club ini, tamu yang kau layani, orang-orang diluar sana, termasuk juga yang sedang berbicara ini...," kataku lembut. "Dan bagaimana nasib kita di akhirat nanti, kita tidak tahu pasti. Selama kita masih punya nafas, kita masih bisa mohon ampunan. Dan Dia maha pengampun pada hambaNya yang memohon ampunan. Sebanyak apa pun dosa kita, masih ada harapan untuk diampuni. Iya kan?" kataku panjang lebar.
"Gue pernah dengar ada ustadz yang bilang begini: 'Iringilah perbuatan buruk dengan yang baik. Niscaya pahala akan menghapus dosa. Dan berserah dirilah hanya kepada Allah. Sesungguhnya pintu ampunan Allah itu semesta alam.' Jadi, tetap semangat yah! Jangan hilang harapan terhadap ampunan Allah," lanjutku. Renata menatapku takjub. Kulihat ada bara semangat harapan dari matanya yang masih menyisakan tangis.
Tiba-tiba gawaiku berbunyi, Meta meneleponku. Renata lalu beranjak dari sisiku.
"Mas, dimana? Sholat koq lama banget?" tanya Meta dengan suara keras bersaing dengan hentakan musik.