Mohon tunggu...
Riski Setiawan
Riski Setiawan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Saya tidak memiliki talenta khusus, saya hanya ingin mencoba banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Laporan Liburan Semester Setelah 6 Bulan di Asrama

5 Januari 2024   09:51 Diperbarui: 5 Januari 2024   10:07 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  yang mencerminkan adat istiadat masyarakat Bangka yang ramah tamah, sopan santun, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap siapa saja, khususnya tamu istimewa yang datang berkunjung ke negeri sepintu sedulang semakin di patenkan dan di perkenalkan kepada masyarakat luas termasuk sering kali di tampilkan pada saat menyambut tetamu agung mulai dari presiden, menteri dan tamu-tamu yang di anggap istimewa lainnya baik yang berasal dari luar maupun dari dalam daerah. 

  Tari Sambut Sepintu Sedulang juga di perkenalkan hingga ke Negeri Sriwijaya Palembang Sumatera Selatan, Tepat pada tanggal 10 juli tahun 1985, saat Sumatera Selatan masih berkuasa atas pulau Timah ini, Tari Sambut Sepintu Sedulang di persiapkan untuk mengikuti even seni ke tingkat Propinsi Sumatera Selatan di Palembang yang di gelar pada tanggal 20 juli 1985.

          5. Prasasti Kota Kapur

  Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiya, seorang penguasa dari Kadtuan rwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Batu kutukan ini ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Satu-satunya prasasti yang ditemukan di Kota Kapur adalah prasasti batu yang ditemukan oleh J.K. van der Meulen, administratur Hindia-Belanda di Sungaiselan, pada bulan Desember 1892. Prasasti batu yang berbentuk tugu (obelisk) itu berukuran tinggi 177 cm dan lebar 19-23 cm. 

   Prasasti Kota Kapur disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D90. Prasasti tersebut ditulis dalam huruf Pallawa dan dalam bahasa Melayu Kuno. Tulisannya sebanyak sepuluh baris. Untuk membaca tulisannya dari kiri ke kanan prasasti tersebut harus direbahkan dengan bagian puncak prasasti berada di sebelah kiri. Orang yang pertama kali membaca prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "rwijaya" itu adalah nama seorang raja. Kemudian atas jasa Cds, mulailah diketahui bahwa di Sumatra pada abad ke-7 Masehi ada sebuah kerajaan besar bernama rwijaya. 

   Prasasti Kota Kapur berisi tentang persumpahan dan kutukan datu Sriwijaya kepada orang yang berbuat jahat seperti memberontak atau bersekongkol dengan pemberontak, tidak berperilaku hormat, takluk, dan setia kepada datu Sriwijaya dan datu yang diangkat oleh datu Sriwijaya, mengganggu ketentraman orang lain, membuat orang sakit dan gila serta menggunakan mantra dan racun, memakai racun upas dan tuba, memaksakan kehendak pada orang lain, dan merusak batu prasasti. Rumusan kalimat persumpahan prasasti tersebut sama seperti pada prasasti lainnya yang diterbitkan oleh datu Sriwijaya yaitu Prasasti Palas Pasemah (Lampung), Telaga Batu (Palembang) dan Karang Berahi (Jambi). Keunikan Prasasti Kota Kapur adalah ditulisnya tanggal penulisannya, yaitu hari pertama paruh terang bulan Waisaka tahun Saka 608 (28 Pebruari 686), yang dikatakan bersamaan dengan peristiwa pengiriman bala tentara ke Bhumi jawa.

Budaya di Kabupaten Karimun

          1. Kampung sehidang talam

KARIMUN -- Tradisi kenduri kampung sehidang talam yang dipusatkan di rumah dinas Bupati Karimun, Sabtu (18/3), akan jadi agenda rutin dan mulai dianggarkan melalui APBD Kabupaten Karimun tahun depan.Bupati Karimun Aunur Rafiq mengatakan, kegiatan kenduri kampung sehidang talam adalah budaya atau tradisi masyarakat Melayu, yang sudah turun temurun sejak lama dan kini coba dihidupkan kembali, melalui agenda rutin tahunan.

   "Kenduri kampung sehidang talam adalah kegiatan masyarakat yang sudah ada sejak dulu, sebagai tradisi Melayu. Maka perlu kita lestarikan dan tahun depan kita jadikan agenda tahunan," sebut Aunur Rafiq.Hal itu menurutnya, selain pelestarian budaya juga sebagai ajang menjalin silaturahmi antar sesama, serta menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

           2. Tradisi lampu colok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun