Mohon tunggu...
Riska Aulya Rahmadhina
Riska Aulya Rahmadhina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Explore makanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Kebijakan Pemerintah dalam Kasus Pandemi Covid-19 bila Ditinjau dari Perspektif Politik

7 Juni 2022   22:22 Diperbarui: 7 Juni 2022   22:52 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Corona Virus Disease 2019 atau yang biasa disingkat COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, dimana penderitanya dapat mengalami demam, batuk kering, dan kesulitan bernafas. Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai epidemi global. COVID-19 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, 

dan menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan ekonomi global. COVID-19 juga memiliki konsekuensi politik, memaksa negara-negara di seluruh dunia untuk mengubah kebijakan mereka. 

Hampir setiap negara di seluruh dunia harus bertindak cepat dan tanggap untuk menerapkan perlindungan yang efektif untuk mencegah masalah kesehatan, ekonomi, dan politik. Di tingkat global, nasional, dan lokal, kondisi pandemi ini tidak diragukan lagi berpotensi sebagai ujian kompetensi dan kualitas dari kepemimpinan pemerintah itu sendiri.

Pemerintah Indonesia sendiri pertama kali mengumumkan kasus COVID-19 pada tanggal 2 Maret tahun 2020, meskipun banyak ahli yang pesimis dengan statement tersebut. Disini penulis tidak begitu mempersoalkan bagaimana dan darimana COVID-19 itu muncul, tetapi lebih kepada melihat bagaimana penaganan kasus pandemi tersebut bila ditinjau dari perspektif politik. 

Perspektif politik disini dimaksudkan sebagai suatu pandangan yang berasal dari logika seseorang yang mengembangkan pemikirannya secara rasional tentang penanganan kasus pandemi COVID-19 dari sudut politik itu sendiri. 

Adapun dampak pandemi COVID-19 ini begitu dirasakan di sektor ekonomi dan kesehatan yang ditambah dengan munculnya penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penyelenggara sebagaimana yang dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Penyalahgunaan kekuasaan inilah yang lantas menghilangkan sebagian kepercayaan publik kepada Pemerintah yang dipersonifikasi oleh Presiden.

Dilihat dari situasi saat ini, pandemi COVID-19 telah menyebar ke seluruh daerah yang ada di Indonesia. Meskipun yang kini tejadi ialah jumlah kasus COVID-19 menurun, tetapi mobilitas masyarakat tetap tinggi, terutama di tempat- tempat hiburan, kafe, dan tempat-tempat wisata yang masih buka seperti biasa. 

Apalagi jika melihat satu tahun lalu, dimana pada awal tahun 2021, jumlah pasien COVID-19 terus meningkat sehingga berpotensi membuat sistem kesehatan kewalahan akibat ketidakmampuan rumah sakit menangani pasien yang jumlahnya sangat banyak. Akibat situasi ini, hak asasi manusia atas kesehatan, terutama hak atas perawatan kesehatan yang baik, secara normatif telah dilanggar.

Di sisi lain, COVID-19 juga merupakan ujian bagi komitmen terhadap prinsip demokrasi, misalnya dalam menjamin penyampaian aspirasi di ruang publik dan memberi kebebasan bagi rakyat untuk terlibat dalam roda pemerintahan. Pandemi COVID-19 bukan merupakan masalah satu negara saja, 

tetapi saat ini telah menjadi masalah internasional yang penyelesainnya juga membutuhkan solusi global. Namun demikian, mengingat Pemerintah merupakan manifestasi dari negara sebagai entitas superpower yang memiliki akses kuasa tak terbatas terhadap seluruh sumber daya, 

persoalan tersebut mestinya tetap bisa dikendalikan. Adapun pengendalian tersebut lantas diwujudkan dalam program-program penanganan pandemi COVID-19 di tingkat nasional dan lokal.

Namun demikian, sangatlah penting untuk memeriksa keabsahan program-program tersebut terlebih dahulu, dengan tujuan untuk menghindari tindakan hukum di masa depan terhadap pemerintah. Adapun salah satu cara untuk memastikan keabsahan tersebut adalah dengan memasukkannya ke dalam logika-logika ilmu politik. 

Oleh karena itu, penulisan artikel ini didasari oleh adanya pendapat atau pemikiran yang dikembangkan dari perspektif politik mengenai penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam kasus pandemi COVID-19. 

Sebab, kasus pandemi COVID-19 ini bukan hanya menjadi masalah dibidang kesehatan dan ekonomi saja, melainkan dapat pula dilihat dari sudut pandang politik. Latar belakang kondisi politik di atas mendorong saya untuk mengangkat judul “Kebijakan Pemerintah Dalam Kasus Pandemi Covid-19 Bila Ditinjau Dari Perspektif Politik” sebagai tema dalam artikel opini ini.

Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Kasus Pandemi Covid-19 Bila Ditinjau Dari Perspektif Politik

Pandemi COVID-19 yang telah melanda dunia, dan Indonesia termasuk di dalamnya memunculkan begitu banyak asumsi-asumsi negatif. Indonesia berjuang melawan COVID-19 dengan memodifikasi kebijakan karantina wilayah (lockdown) menjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang bersifat lokal sesuai tingkat keparahan di wilayah provinsi, kabupaten, atau kota. 

Untuk itu, Pemerintah berupaya mengagendakan kebijakan Normal Baru (New Normal) agar dampak ekonomi akibat pandemi tidak sampai menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memperbarui dan menambah pengetahuan pembaca bahwa penanganan kasus COVID-19 tidak hanya berkaitan dengan kesehatan dan ekonomi saja, melainkan berkaitan dengan politik juga.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Riau, Rusidi Rusdan, menghimbau kepada para bakal calon kepala daerah (cakada) untuk tidak memanfaatkan momen pandemi COVID-19 demi kepentingan politik. 

"Marilah berpolitik yang berintegritas untuk tidak memanfaatkan situasi wabah corona dengan memboncengi kegiatan pemberian bantuan kepada masyarakat terdampak atau masyarakat pada umumnya," katanya kepada Gatra.com, 

Pada Minggu (3/5). Seperti yang diketahui bahwa wabah COVID-19 terjadi pada momen gelaran pemilukada serentak tahun 2020. Hal ini membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, memutuskan menunda sejumlah tahapan pemilukada. 

Keputusan tersebut menyebabkan kurangnya pengawasan terhadap pemugutan suara yang sedianya digelar pada September 2020. Adapun dampak wabah COVID-19 telah menimbulkan hilangnya akses pekerjaan sejumlah orang, 

sehingga menimbulkan beban sosial dan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan maraknya pemberian bantuan kepada masyarakat, khususnya yang terdampak. Hanya saja kemasan bantuan yang diberikan tersebut, juga bermuatan politik, seperti munculnya atribut cakada pada kemasan bantuan.

Ini menandakan bahwa masih adanya potensi penyalahgunaan situasi pandemi COVID-19 pada dimensi politis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah telah membahas pokok-pokok kebijakan fiskal APBN 2023 dalam sidang kabinet terbatas. 

Asumsi fiskal pada tahun depan dipengaruhi berbagai faktor besar, seperti pandemi COVID-19, konsolidasi fiskal, hingga perang Rusia dan Ukraina. Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam sidang kabinet tersebut, dirinya bersama Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan para menteri lainnya membahas 

pokok kebijakan fiskal tahun depan. Sidang itu mengawali proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023. Beliau menjelaskan bahwa terdapat asumsi pada 2023 mulai terjadi penurunan kasus COVID-19 atau pandemi yang mulai mereda. Hal tersebut akan mengurangi beban dan tekanan terhadap masyarakat dan perekonomian, sehingga APBN dapat mendorong perekonomian dengan lebih baik.

Secara umum, program-program penanganan pandemi COVID-19 memang harus diselenggarakan untuk memulihkan kondisi publik. COVID-19, yang pada awalnya bukan menjadi isu prioritas, justru memberikan dampak yang cukup signifikan, terutama dari aspek kesehatan dan ekonomi. Namun demikian, yang agak luput dari perhatian publik padahal penting untuk 

tetap diketahui adalah fakta bahwa program-program penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah tersebut bukan hanya bisa dilihat sebagai kewajiban untuk melindungi publik sebagaimana amanat perundangan, melainkan juga bisa dilihat sebagai reaksi atas terjadinya krisis legitimasi. Dalam tulisan ini dijumpai bahwa terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam upaya penanganan kasus COVID-19.

Pertama, penanganan yang merujuk pada sisi politis yang muncul di dalam pemerintah itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada situasi dimana seseorang yang tidak ahli di bidangnya ditempatkan pada suatu posisi tertentu, ini disebut sebagai Penempatan Orang Berdasarkan Nama, Bukan Kompetensi. 

Jika memang benar penanganan COVID-19 semata-mata untuk tujuan memperbaiki kondisi ekonomi dan kesehatan, peran para ahli tentu saja akan dipertanyakan. Dalam program penanganan COVID-19, domain ekonomi dan kesehatan menempati posisi krusial. Upaya politik untuk memerangi pandemi dapat diatasi dengan cara ini. 

Namun, inisiatif penanganan COVID-19 justru dipimpin oleh pejabat yang diangkat oleh Presiden yang tidak memiliki latar belakang ekonomi atau kesehatan. Tentunya ini menimbulkan pudarnya atau bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap kinerja Pemerintah.

Kedua, penanganan yang merujuk pada sisi politis yang muncul dari relasi pemerintah dan masyarakat. Hal ini dapat kita amati dengan penerapan PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan program penanggulangan COVID-19 yang dimotori oleh pemerintah yang berfokus pada pembatasan mobilitas untuk menghindari berbagai kegiatan yang akan meningkatkan jumlah wabah virus. 

Pemberlakuan PSBB telah memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi lingkungan sekitar. 

Sebab mobilitas yang begitu dibatasi. Dimana, pemberlakuan PSBB tersebut telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Dalam PSBB, disebutkan bahwa pelanggar akan dikenai hukuman beragam sesuai tingkatan pelanggarannya. 

Padahal, hukuman sebagaimana diketahui merupakan instrumen yang secara politis, sebetulnya bukan hanya dibuat untuk membatasi mobilitas masyarakat, melainkan juga membatasi kemerdekaan masyarakat dalam mengajukan inisiatif. 

Pembatasan ini juga justru berdampak pada semakin menurunnya gejolak sosial yang semestinya muncul akibat pandemi. Semestinya setiap masyarakat berhak mengajukan inisiatif ataupun menyuarakan pendapatnya mengenai kebijakan PSBB tersebut, 

menjadi terhalang karena harus mengikuti anjuran pemerintah dengan dalih sebagai upaya penurunan kasus COVID-19. Tentu, pembatasan untuk mengajukan inisiatif tersebut juga erat kaitannya dengan upaya-upaya memulihkan legitimasi sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya.

Ketiga, Program vaksinasi saat ini sedang digencarkan, namun hal tersebut tidak terjadi dalam dua bulan terakhir. Hal ini sebagai bagian dari upaya agar jumlah kasus di Indonesia tidak meningkat. Subjek vaksinasi telah memicu kontroversi publik, seperti yang kita semua tahu. 

Seperti yang kita ketahui bersama, awalnya pemerintah berencana memungut biaya untuk vaksinasi yang tidak ditanggung oleh pemerintah. Namun, seiring berjalannya waktu, negara akan membayar penuh program imunisasi ini, sehingga menjadi gratis. Tujuan dari program vaksin berkompensasi ini adalah untuk mengurangi beban penanggulangan wabah. 

Transisi pemerintah dari vasinasi berbayar ke vaksinasi gratis dapat diartikan sebagai respon cepat dan bayangan pergolakan yang akan melemahkan otoritasnya. Menggratiskan vaksinasi sebenarnya bukanlah pilihan ideal bagi pemerintah, 

karena hal itu justru akan membebani biaya penanganan. Namun pada kenyataannya pemerintah memilih menggratiskan vaksinasi, dibanding berhadapan dengan potensi semakin parahnya legitimasi pemerintah. Bahkan program vaksinasi hingga 3 kali juga masih menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat.

Pada akhirnya, Indonesia menjadi negara yang menggunakan vaksin dan mulai digunakan secara besar-besaran. Hal ini terjadi karena sejumlah masalah administrasi yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Tentu saja, kelangsungan jangka panjang administrasi vaksin tersebut dapat dinilai dari sudut pandang politik. Pertama, vaksin berfungsi sebagai 

alat untuk menyamakan kedudukan. Bahkan orang-orang yang tidak mendukung pemerintah pun mempercayainya karena hanya pemerintah yang berwenang membawa vaksin ke dalam negeri. Kedua, vaksinasi dapat digunakan sebagai alat kontrol untuk menjamin kegiatan restorasi legitimasi dilakukan dengan baik.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kasus pandemi COVID-19 telah berhasil membuat pemerintah kehilangan legitimasinya. Akibatnya, pandemi COVID-19 harus ditangani dengan cara mengembalikan kredibilitas yang saat ini terancam, meskipun dengan kedok agar memberikan hasil ekonomi dan kesehatan yang lebih baik. Padahal, pemerintah telah menyusun 

sejumlah program tanggap pandemi di bawah payung PSBB. Program-program tersebut tentu saja menyasar pada sektor ekonomi dan kesehatan, yang dengan demikian dipandang sebagai topik yang sudah ada sejak merebaknya wabah tersebut. Akibatnya, tulisan ini disusun untuk memberikan sudut pandang yang baru kepada pembaca tentang pandemi COVID-19 yang ditinjau dari perspektif politik.

Tulisan ini berisikan upaya untuk mengembalikan legitimasi tersebut sebagai tindakan politis. Sebab, secara umum masyarakat dominan membicarakan keseluruhan program penanganan COVID-19 dari sudut pandang ekonomi dan kesehatan. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang politik, penanganan kasus pandemi yang dilakukan oleh Pemerintah sangat menarik unuk dibahas. 

Dengan tulisan ini diharapkan ada upaya untuk memperbarui, sekaligus memperkaya cara pandang tersebut dengan mengajukan politik sebagai instrumen alternatif. Pada tulisan ini ditemukan bahwa : 

Pertama, bahwa penanganan atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam masa pandemi COVID-19 di Indonesia, ternyata juga ditujukan untuk memulihkan legitimasi dan oleh karenanya dilakukan melalui upaya-upaya politis. 

Kedua, bahwa upaya ataupun usaha politik terdiri dari berbagai komponen yang berbeda pula. Penanganan dari dalam berkaitan dengan sisi politik, khususnya penanganan yang terjadi di dalam pemerintahan itu sendiri, seperti menempatkan orang berdasarkan nama daripada kompetensi. Adapun penanganan dari luar yaitu penanganan yang bersumber dari keterkaitan 

pemerintah terhadap masyarakat, seperti pelaksanaan Pembatasan Sosial Bersakla Besar (PSBB) dan program vaksinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun