Mohon tunggu...
Riska Amalia
Riska Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar SMAN 1 PADALARANG

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kun Fayakun

3 Februari 2020   08:43 Diperbarui: 3 Februari 2020   20:21 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu waktu menunjukan pukul 03:00 petang, aku berjalan melewati keramaian kota Jakarta. Keringat bercucuran di pelipisku, jarak sekolah ke rumah memang cukup jauh apalagi  bila ditempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu jam. Akhirnya, sampailah aku di rumahku yang amat sederhana. Kulihat ibu sedang membuat kue untuk aku titipkan di Kantin Sekolah setiap paginya. 

Namaku Putri Sakhi Azkadina, yang artinya perempuan murah hati, sholeh dan taat kepada agama.  Ibu berharap anak perempuannya ini memiliki sifat yang mencerminkan namanya itu.

Ibu selalu mengajarkanku apa arti sebuah kehidupan. Ibu selalu bilang bahwa semua yang kita miliki di dunia hanyalah sebuah titipan Sang Pencipta, kita harus bisa berbagi kebaikan kepada orang lain walaupun yang kita miliki hanya sedikit, dan masih banyak nasihat lain yang ibu beri. Aku selalu ingat kata demi kata setiap nasihatnya.

"Assalamu'alaikum bu!" Ucapku sambil mencium telapak tangan ibu

"Wa'alaikumsalam, bagaimana sekolahmu tadi nak? Ini minum dulu kamu pasti lelah." Tanya ibu dengan menyodorkan sebuah gelas berisi air putih.

" Alhamdulillah bu baik, lelahku tidak sebanding dengan lelahnya ibu. Ibu tampak kelelahan, sini biar aku pijatkan ya."

"Ibu baik-baik saja, istirahat sebentar lelah ibu pasti langsung hilang."

"Oh iya, alhamdulillah kue yang tadi Putri bawa semua laku terjual, ini uangnya." ucapku sambil memberikan uang.

"Alhamdulillah!" ibu tersenyum.

"Putri akan belajar bersungguh-sungguh agar kelak jadi orang sukses dan ibu tidak perlu membuat kue lagi. Doakan Putri ya bu."

"Aamiin Ya Allah, ibu selalu mendoakanmu tanpa perlu kamu minta nak." kata ibu sambil memelukku.

 Dulu keluargaku sangat bahagia dan harmonis. Namun, setelah ayah tiada rasanya separuh kebahagiaanku hilang. Kini tinggal ibu satu-satunya yang kumiliki. Tak tega rasanya melihat ibu yang bekerja membanting tulang setiap harinya. Aku janji bu, aku akan membahagiakanmu!

*


Kringg (alarm berbunyi)

Seperti biasa aku bangun jam 2 pagi untuk melakukan sholat tahajud. Setelah itu, aku belajar karena sebentar lagi UN, USBN, dan SBMPTN akan kuhadapi. Dari kecil aku ingin sekali menjadi dokter. Ingin rasanya bisa membantu orang yang sedang kesulitan dengan keahlian sebagai dokter yang aku punya. Walau terkadang aku masih ragu. Haruskah aku kuliah atau bekerja membantu ibu.

Adzan subuh berkumandang, aku pun sholat subuh dan mandi untuk bersiap-siap ke sekolah. Terdengar suara ibu yang sedang batuk-batuk, kulihat ibu masih berbaring di kasur.

"Ibu, ibu kenapa?" tanyaku sambil memegang dahi ibu.

Badan ibu panas, ibu sakit. Ayo kita ke dokter bu."

"Tidak usah nak, ibu baik-baik saja. Ibu hanya perlu beristirahat sebentar. Lebih baik kamu bersiap-siap nanti terlambat."

"Aku tidak akan sekolah, aku mau menjaga ibu saja." aku sangat khawatir dengan keadaan ibu

"Tidak perlu, nanti juga ibu sembuh. Sebentar lagi kan Putri ujian."

"Tapi bu..." sanggahku

"Sudah, ayo cepat siap-siap ke sekolah. Biar ibu membuatkanmu sarapan." ibu berusaha bangkit lalu berjalan ke dapur.

Aku bergegas ke kamar mandi,  walau sebenarnya aku khawatir meninggalkan ibu sendiri. Aku pun berangkat dari rumah pukul 05:45 dan tiba di sekolah pukul 06.40.

Hampir pukul tujuh tetapi sekolah masih sepi. Sebelum masuk kelas, biasanya aku pergi ke kantin terlebih dahulu untuk menitipkan kue ibu. Penjaga kantin ini bernama Lisa, dia berumur tiga tahun lebih tua daripada aku. Namun, aku biasa memanggilnya Teh Lisa, karena ia lebih menyukai sebutan itu daripada kakak.

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi teh!" sapaku dengan lesu.

"Wa'alaikumsalam. Eh Putri kok nyapanya lesu begitu? Ada masalah apa? Kemari cerita ke teteh."

"Putri khawatir sama ibu teh. Ibu terbaring sakit di rumah. Tadinya putri gak akan pergi sekolah, mau menjaga ibu. Tapi ibu melarangku, katanya sebentar lagi aku ujian jadi gak boleh bolos sekolah."

"Benar kata ibumu, bentar lagi kan ujian. Putri berdoa saja supaya ibu lekas sembuh. Insyaallah saat Putri pulang nanti sore, ibu sudah sembuh." Kata Teh Lisa

"Iya juga ya teh, semoga saja ibu sembuh. Lebih baik aku saja yang sakit, aku tidak tega melihat ibu begitu. Terimakasih ya teh sudah mau mendengarkan curhatanku."

"Tidak usah berterimakasih, teteh sudah anggap kamu seperti adik teteh sendiri. Ya sudah lebih baik kamu masuk kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi."

"Iya teh assalamu'alaikum." Ucapku sambil mencium tangannya.

Aku berjalan masuk ke kelas. Terlihat Lulu dan tiga temannya yaitu Cika, Rina dan Tari sedang duduk di mejaku. Mereka selalu saja berbuat usil, hampir semua murid pernah diusili mereka. Tetapi keusilannya padaku tidak pernah berhenti. Sepertinya dari sekian banyak korban, aku adalah favoritnya hahaha.

"Hai Putri, Selamat pagi! Kamu tahu tidak? Besok ranking paralel akan diumumkan lohh... Siap-siap merayakannya ya, karena aku yang akan dapat peringkat pertama, ya kan girls?

" Iya dong lu, So pasti!" Ucap mereka kompak

"Jangan sombong dulu deh! Hasilnya juga belum pasti, kenapa kamu begitu yakin? Padahal sudah jelas Putri memiliki nilai yang lebih baik dibanding kamu!" Bela Clara teman sebangkuku.

"Ih apa sih kamu! Lulu kan berbicara sama Putri bukan sama kamu!" Timpal Rita.

"Aamiin, kita lihat besok saja ya." Jawabku

"Kok aamiin sih! Kamu menghinaku ya!!" Lulu tidak menerima ucapanku

"Enggak kok." Ucapku dengan tersenyum

Lulu dan temannya memang kadang sangat menyebalkan tetapi hal itu merupakan hiburan bagi aku dengan tingkahnya yang seperti itu. Walau begitu, dia memang salah satu murid yang pandai. Kita juga beberapa kali mengikuti olimpiade biologi bersama dan merhasil meraih juara satu baik itu di tingkat kabupaten, provinsi dan bahkan nasional. Hanya saat olimpiade kita bisa akur dan dia tidak bersikap usil seperti biasanya.

Dia sangat serius dan menjadi teman yang menyenangkan untuk diajak sharing mengenai materi. Aku rasa dia sebenernya bisa menjadi teman yang baik, aku juga ingin menjalin persahabatan dengannya. Tapi hal itu sepertinya agak mustahil, karena katanya dia menganggapku sebagai musuh terbesarnya dengan kata lain aku itu adalah saingan terbesar baginya yang harus bisa dia kalahkan.

Dia berasal dari keluarga yang berada, yang aku tahu ayahnya adalah pemilik salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Dia ingin menjadi dokter sama sepertiku. Aku dengar-dengar sih dia juga mengikuti berbagai les seperti les bahasa inggris, bahasa cina, les pelajaran sekolah, bahkan les khusus bagi orang yang ingin lulus di jurusan kedokteran. Berbeda denganku yang hanya mengandalkan buku bekas dan itu pun kubeli di pasar loak hahaha. Orang tuanya sangat memperhatikan setiap detail kegiatannya, ya wajar saja karena ia adakah anak tunggal alias satu-satunya.

*


Keesokan harinya, hari yang mendebar-debarkan bagi para siswa. Bagaimana tidak, ranking paralel ini lah yang menentukan apakah siswa berhak mengikuti SNMPTN atau tidak. Lagipula siapa yang tifsk mau bisa lulus PTN tanpa mengikuti tes terlebih dahulu?

"Putri selamat ya kamu benar-benar hebat!"

"Selamat ya put!"

"Congrats put!"

"Putriii! Sudah kuduga pasti kamu yang akan dapat peringkat pertama. Selamat yaa!!" Seru Clara

Semua siswa memberiku ucapan selamat. Kecuali Lulu dan teman-temannya, sedari pagi aku tidak melihatnya. Apakah ia sudah tahu terlebih dahulu makanya sekarang bersembunyi karena malu? Padahal aku juga tidak akan mengejeknya karena hal itu. Namaku terpampang jelas di mading sekolah. Rasanya bangga bercampur haru, tak disangka ternyata aku yang mendapatkannya.

"Put, kamu dipanggil bu Kiranti tuh ke ruang BP." Kata Doni, ketua kelasku.

"Loh ada apa? Apa aku melakukan kesalahan?"

"Gak tahu, bukan karena itu deh sepertinya. Coba kamu hampiri saja dulu."

"Baiklah, terimakasih ya Don!"

Aku berjalan ke ruang BP dengan tergesa-gesa, detak jantungku semakin terasa. Semoga bukan hal yang buruk, ucapku di dalam hati.

"Assalamu'alaikum bu."

"Wa'alaikumsalam, Putri kemari duduk."

"Ada apa bu? Apa Putri melakukan kesalahan?"

"Bukan Putri, ini ibu mau memberi ini." Ucap bu Kiranti sambil menyodorkan sebuah kertas.

"Beasiswa kedokteran bu? Tapi kan tahap SNMPTN baru sampai pe-rankingan. Putri juga belum tentu bisa lolos SNMPTN di UI bu."

"Putri nilai rata-rata raportmu 93 ditambah lagi kamu berhasil menjuarai olimpiade hingga tahap nasional. Sudah dipastikan kamu bisa lulus di SNMPTN. Sekolah telah mempertimbangkan matang-matang, kamu memang pantas mendapatkannya. Pihak sekolah juga telah menghubungi pihak universitas, mereka akan sangat terhormat menerima kamu menjadi bagian dari mereka."

"Benarkah bu? Tapi, Lulu juga mendapat ranking 2 se-SMA ini, dia juga menjuarai olimpiade itu bersamaku. Dia juga pantas mendapatkannya." Ucapku dengan mata berkaca-kaca

"Beasiswa ini hanya untuk satu orang. Sekolah juga tidak mempertimbangkan hal itu saja, maaf sebelumnya Putri ibu tidak bermaksud menyinggungmu. Tetapi Lulu berasal dari keluarga yang berada apalagi dia juga mengikuti berbagai les. Jika dia tidak mendapatkan SNMPTN, ibu yakin dia akan berhasil di SBMPTN atau UM."

"Baiklah kalau begitu, terimakasih banyak bu ini sangat penting sekali untuk Putri."

"Sama-sama nak."

Alhamdulillah terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberiku kesempatan untuk kuliah.

Akupun berjalan kembali masuk kelas. Semua murid sibuk pada kegiatannya masing-masing. Tidak terasa, bel sekolah pertanda pulang sudah berbunyi lagi. Sebelum pulang aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk belajar sebentar. Waktu menunjukkan pukul 5 petang. Aku bergegas pulang. Dari kejauhan aku melihat Lulu berjalan mendekat, dia tampak berantakan seperti habis menangis, entah mengapa dia belum pulang. Seingatku tidak ada kerja kelompok hari ini.

"Lulu kamu baik- baik saja kan? Kenapa belum pulang? Teman-temanmu kemana?

"Gak usah sok peduli deh! Lebih baik kamu jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa kamu akan mengambil beasiswa itu?"

"Iya lu, memangnya kenapa?"

"Wow bagus ya, aku yang selama ini berjuang mati-matian tapi malah kamu rebut. Kamu merusak masa depanku put!"

"Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud begitu. Kamu juga tahu lu, aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sementara kamu.."

"Put kamu benar-benar egois! Terimakasih ya kamu telah merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Kamu memang pantas untuk dibenci!"

"Lulu tolonglah mengerti. Aku kan.. Lu tinggu jangan pergi dengarkan aku!"


Aku melamun memikirkan apa yang baru saja terjadi tadi sore. Apa maksud dari semua itu? Kenapa aku merusak masa depannya? Hatiku jadi tak karuan. Lebih baik aku menceritakannya pada ibu.

"Oh jadi begitu, nak kamu haru mencari tahu dulu alasan dia berbicara seperti itu, tanyakan kepada teman dekatnya pasti mereka tahu." Ucap ibu

"Tapi bu, sebelumnya dia baik-baik saja. Di sekolah juga masih suka mengusili aku seperti biasanya."

"Sesuatu yang kamu lihat dan kamu dengar belum tentu sesuai dengan kenyataannya nak. Manusia memang pandai menyembunyikan luka."

"Jika Lulu mengatakan itu karena tidak punya biaya tidak mungkin bu karena ayahnya Lulu kan pemilik perusahaan terbesar di Jakarta."

"Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah berkehendak maka terjadilah."

Aku takut. Aku takut kenyataan seperti apa yang aku khawatirkan. Semoga ini semua hanya perasaanku saja

*


Keesokan harinya aku mencoba mencari informasi tentang Lulu.

"Cik, lulu kemana bukannya kalian biasa berangkat bersama ya?" Tanyaku

"Selama kelas 12 ini, kita tidak pernah lagi berangkat bersama ya kan Rin?"kata Cika.

" Iya put, tapi waktu itu kita pernah melihat dia berjalan kaki ke sekolah. Katanya sih dia mau membakar lemak, itu salah satu program dietnya."jawab Rina.

"Berapa kali dia berjalan kaki seperti itu?" Tanyaku lagi

"Kita cuma liat dia sekali sih kaya gitu."

"Lalu apa ada hal lainnya?" Tanyaku lagi

"Oh iya, dia sekarang ga pernah lagi jajan di kantin atau kumpul main bersama kita."

"Kenapa?"

"Katanya sih lulu itu.." Belum selesai Rina menjawab tiba tiba Lulu datang

"Kenapa kalian sebut-sebut nama aku?" Kata lulu

"Eh kamu sudah sampai. Maksud Rina tadi itu acara kelulusan. Tadi dia belum selesai berbicara." Ucap Cika sambil menyenggol Rina.

"Iya lu itu maksudku hehe.. Eh kamu kok keringatan begitu."

"Emm iya tadi, tadi aku berlari ke sekolah untuk menurunkan berat badanku." Jawab lulu dengan terbata-bataa

"Lu kamu sudah kurus kok sekarang, jadi tidak perlu begitu lagi."kata Rina.

"Apa urusannya denganmu? Terserah aku dong!" Jawab Lulu dengan kesal

"Biasa aja dong lu, Rina kan cuma ngasih tahu."timpal Cika.

Ternyata memang benar sikapnya aneh, hanya aku saja yang baru menyadarinya. Belakangan ini aku perhatikan Lulu jadi sering murung dan melamun. Sekarang dia juga tidak mengusili aku seperti biasanya. Aku khawatir apa yang takutkan terjadi. Jika memang benar adanya, apakah aku harus memberikan beasiswaku? Lalu, bagaimana bisa aku membahagiakan ibu? Beasiswa itu juga harapanku. Aduh aku sangat dilema, apa aku harus mengorbankan masa depanku untuk masa depan dia?
*


Lamunanku terbuyar saat Clara memberi tahu bahwa Lulu sedang menangis di atap gedung sekolah. Sekolah gempar, semua khawatir Lulu melakukan hal yang membahayakan dirinya. Aku berlari ke atap sekolah, aku merasa bertanggung jawab atas semua ini. Jika suatu hal terjadi pada Lulu, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Guru-guru sudah membujuknya  untuk turun tapi dia mengancam akan melompat jika ada yang mendekat.

"Lu turun lu!"

"Lulu turunnn!"

Semua berteriak kepada Lulu.

"Lu apa yang kamu lakukan! Tolong jangan lakulan hal yang membahayakan dirimu." Ucapku.

Tidak ada jawaban, isak tangisnya semakin keras.

"Kalau kamu punya masalah, kamu bisa menceritakannya padaku."

"Tidak! Tidak ada yang peduli padaku. Dunia tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup!" Dia melangkah semakin mendekati ujung atap sekolah. Aku berusaha mendekat.

"Jangan mendekat atau aku akan melompat!"

"Lu, semua orang peduli padamu. Tapi jika kamu tidak menjelaskan masalahnya bagaimana orang bisa tahu dan memahamimu. Jangan memendam sendirian, jika kamu bercerita pasti aku akan berusaha membantu."

"Hanya karena kamu lebih baik daripada aku, semua orang hanya terpaku padamu! Aku muak mendengar semuanya! Apa aku tidak berhak sukses juga!"

"Kamu juga tahu kan, aku hanya punya ibu. Aku tidak punya apa-apa lagi, sementara kamu hidup berkecukupan. Jika kamu tidak mendapat beasiswa itu masih ada kesempatan lain untukmu." Aku sengaja berbicara seperti itu untuk memancingnya agar bercerita malah membuat isak tangisnya semakin keras.

"Keluargaku sudah bangkrut satu tahun lalu, selama ini aku hidup dengan harta yang tersisa. Setiap hari aku ke sekolah dengan berjalan kaki, aku juga tidak pernah membawa uang saku. Selama ini aku berbohohong kepada semua karena aku takut orang-orang akan menghina dan meremehkanku. Aku juga takut teman-temanku akan menjauhiku karena aku miskin." Dia bercerita sambil menangis tersedu-sedu. Aku tak kuasa menahan tangisku. Banyak hal sulit yang telah ia hadapi. Dia sangat apik menyembunyikan penderitaannya.

"Sekarang aku tidak punya apa-apa. Setelah bangkrut, ayahku jatuh sakit. Hanya aku lah satu-satunya harapan keluarga. Beasiswa itu menjadi tujuanku. Makanya aku berusaha belajar bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Tetapi malah kamu yang dapat. Pihak sekolah tidak melihat usahaku selama ini. Selalu saja Putri dan Putri! Lebih baik aku pergi, tidak ada gunanya aku hidup." Dia berjalan semakin mendekat ke ujung atap.

Gedebukkk!!! Aku memberanikan diriku untuk menariknya.

"Lu tolong jangan bertindak senekad itu lagi! Pikirkan juga keluargamu. Kamu bilang hanya kamu satu-satunya harapan mereka. Jika kamu tiada, bagaimana nasib keluargamu?" Aku menangis sambil memeluknya. Dia membalas pelukanku dengan erat.

"Aku telah memutuskan semuanya. Beasiswa itu memang sepantasnya untukmu. Aku akan berbicara kepada bu Kiranti dia pasti akan menyetujuinya."

"Terimakasih banyak Put, lalu bagaimana denganmu?" Tanya lulu

"Aku yakin, Allah telah menyiapkan rencana lain untukku. Doakan aku saja ya!"

"Iya put pasti, maafkan aku selama ini aku sering berbuat jahat. Dugaanku tentangmu selama ini ternyata salah. Kamu berhati malaikat put!"

Aku menceritakan semua yang terjadi hari ini kepada ibu.

"Maafkan aku ya bu, aku tidak bisa mendapatkan beasiswa itu. Tapi aku akan berusaha untuk mendapatkan yang lain."

"Tidak nak, justru ibu sangat bangga padamu. Kamu berhasil mengalahkan egomu untuk orang lain. Percayalah nak dibalik ini semua akan ada jalan yang lebih baik menghampirimu." Ibu berkata dan memelukku.

"Aamiin iya bu Putri percaya. Terimakasih ibu selalu mendukung apa yang Putri lakukan. Putri sangat sayang sama ibu."

"Ibu lebih lebih sangat sangat menyayangimu."

*


Tujuh tahun telah berlalu, kini aku bekerja dia salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta bersama Lulu, maksudku dokter Lulu hahaha. Atas pertimbangan sekolah, aku berhasil mendapatkan beasiswa itu juga untuk kuliah. Bila di acara pencarian bakat, rasasanya seperti mendapatkan golden ticket. Sangat tak terduga! Memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dengan kekuatan doa, jika Allah menghendaki maka terjadilah. 

~~~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun