Mohon tunggu...
Riska Amelia
Riska Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - Absurd

Seorang yang suka dengan sastra dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pencuri-pencuri Buku

16 September 2021   20:40 Diperbarui: 16 September 2021   20:44 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Buku adalah jendela dunia ...

Bagaimanapun, buku-bukulah yang mengantarkan manusia pada mimpi-mimpinya.

***

Dari dalam jendela aku mengintip teman-temanku yang sedang melakukan pemanasan di lapangan. Wajah mereka tampak berseri, apalagi wajah anak-anak perempuan—mereka tampak seperti bunga-bunga yang merekah indah di pagi hari. 

Di samping itu, aku juga melihat seberkas cahaya yang sangat indah tengah berdiri di barisannya dan memandangi seorang anak perempuan berambut pirang dan bermata bulat bersinar. Aku tersenyum getir. Terbesit di kedalaman yang antah di mana, aku ingin menjadi anak perempuan itu.

Anak-anak mulai melakukan pemanasan, berlari mengelilingi lapangan, kemudian mereka melakukan permainan bola tangan bergantian. Aku terus memerhatikan pemandangan yang sudah tak asing itu hingga pelajaran sedikit lagi berakhir. Namun, perhatianku menjadi buyar tatkala seorang guru hendak masuk ke dalam kelas. 

Aku segera membenarkan posisi dengan duduk rapi di bangku ke empat. Guru itu masih belum sampai. Aku segera membuka tas untuk mengambil sebuah buku pelajaran dan kemudian pura-pura membacanya. Guru itu datang!

“Apa yang kau lakukan, Anne?” guru itu bertanya  membuat tubuhku sedikit gemetaran. Aku takut. Aku takut bahwa aku akan mendapat hukuman karena tidak membawa baju olah raga. Aku takut aku akan dicela karena itu—aku takut. 

Aku melihat ke arah guru tersebut dan ia terlihat sangat kesal saat melihat ke arahku. Lantas aku pun kembali menundukkan kepala.

“Sedang apa, Anne?” guru tersebut bertanya untuk yang kedua kalinya. 

“Annu ... saya hanya sedikit membaca.” Ucapku membuat guru tersebut menganggukkan kepalanya.  

“Baiklah. Tutup bukunya dan ikuti saya.” Ujar lelaki berusia tiga puluh tahunan tersebut sambil meninggalkan kelas. 

Lantas aku pun segera membuntuti guru tersebut dan menjadi perhatian anak-anak yang sedang bermain bola tangan. Aku mendengar, aku melihat ... mereka menertawakanku. Mereka semua mengejekku. Tapi, aku tidak berdaya. Dengan rasa sakit dan malu, aku pun hanya berjalan menunduk mengikuti setiap langkahnya. 

Guru tersebut berhenti di sebuah gedung kecil yang tak lain adalah sebuah perpustakaan. Beliau membuka pintu dan menyuruhku masuk ke dalamnya. Meski merasa sakit hati karena harus menerima hukuman dan terkena gunjingan, tetapi aku juga merasa sedikit senang, sebab yang harus kubersihkan bukan WC sekolah yang selalu kotor dan menguarkan bau tajam. Melainkan, sebuah ruang kecil yang diisi ratusan jendela dunia—yang menguarkan wewangian segar. 

“Lihat! Habis semua buku-buku di sini di telan bumi. Seseorang telah lama mencuri buku-buku di sini. Saya prihatin terhadap nasib buku-buku yang dicuri. Mungkin akan berakhir sebagai bungkus cabai, atau sebagai tilam gorengan.” Gerutunya sambil mengecek setiap buku yang masih tersedia di rak kayu. “Nah, sekarang kamu bersihkan semua buku tersebut. Lalu, setelah semuanya selesai, jangan lupa kamu harus membereskannya ke dalam rak.” 

“Baik, Pak.” Dengan sigap aku membuka tiga kardus besar itu dan mengeluarkan buku-buku yang ada di dalamnya. Buku-buku tersebut tampak usang dan penuh debu, jilid-jilidnya juga terlihat lecet dan ada yang sobek—sepertinya mereka semua bekas dan merupakan sumbangan dari seseorang atau kelompok. 

Karena penasaran, aku membuka salah satu buku sebelum aku membersihkannya. Buku tersebut cukup menarik di mataku. Le Petit Prince. Adalah judul dari buku tersebut. 

Jilidnya berwarna putih—dihiasi seorang anak lelaki berambut pirang yang tengah berdiri di atas sebuah lingkaran hitam dan di kelilingi bintang-bintang berwarna kuning. Aku tidak membacanya. Saat itu aku hanya membuka-buka buku tersebut dan melihat gambar yang ada di dalamnya. 

“Anne, sekarang Bapak mau kembali ke lapangan. Sementara kamu lakukan apa yang sudah saya katakan. Mengerti?”

“Mengerti, pak.”

Aku segera menutup buku tersebut dan mengambil lap yang telah tergantung di  sisi rak buku. Aku membersihkan buku-buku tersebut dan menyusunnya acak. 

Sunyi. Begitu yang kurasakan saat berada di ruang itu. Tapi, meski begitu aku merasa nyaman saat berada di sana. Debu-debu menari dalam sinar mentari yang berhasil masuk melalui jendela-jendela kaca. A

ku juga melihatnya. Seekor burung yang tengah bertengger di atas reranting cengkeh dan berkicau ria. Tanpa suara-suara manusia ... aku menjadi hidup, menjadi peka, dan penuh gairah. Tanpa suara-suara manusia, aku mendengar dinding yang dingin, kaca yang hangat, dan cacak-cacak yang merayap di dinding—berdesik kepadaku;

“Tak usah menangis lantaran sendiri. Kami ada di sini. Kami akan mendengar kisahmu sampai kamu benar-benar puas.”

Meski begitu, perasaan sedihku tak dapat dilepas. Fakta bahwa perpustakaan tak pernah dibuka membuatku kehilangan harapan. Meski dinding, jendela, dan cacak-cacak itu bersedia mendengar residu kalbu, tapi aku tidak akan pernah bisa menemui mereka lagi. 

Perpustakaan itu tidak pernah dibuka kecuali untuk latihan menari, bahkan tidak sama sekali untuk anak-anak sekadar membaca.

Lalu, aku yang selalu penasaran dengan bau buku cerita, pun hanya menggigit jari sambil melihat anak-anak yang sedang latihan menari dari jendela. Itu pun berdesakan dengan anak-anak lain. 

Entah dengan anak-anak lain. Mungkin, mereka tak kalah sama penasarannya denganku yang ingin merasakan bagaimana menghabiskan waktu luang di sudut ruang bernama perpustakaan.  

“Anne ...”

Tepat saat aku membereskan buku-buku ke rak, sebuah suara berdesir pelan menyebutkan namaku. Suara tersebut sangat pelan dan hampa—laiknya angin yang berembus pelan di daerah landai. Aku segera menyisir ke setiap penjuru. Tidak ada siapa pun. Dengan spontan, bulu kudukku berdiri. Suara itu mengingatkanku pada suara hantu yang tempo hari kutonton bersama saudaraku. 

“Anne ... Anne ...” 

Suara itu kembali terdengar—kali ini sedikit lebih keras. Jantungku berdetak sangat tidak teratur. Perasaan takut itu telah membalut diriku yang kecil, lemah, dan acapkali tidak berdaya. Meski begitu, rasa penasaranku terhadap hantu, juga tidak kalah besarnya. Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang perpustakaan. 

Aku disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan  saat mendekati jendela tersebut. Rupanya hamparan daun-daun hijau itu telah menyembunyikan laut yang terlukis cerah di kaki langit. Begitu aku membuka jendela, kesegaran alam semakin kental terasa. 

“Anne! Kenapa lama sekali? Cepat bantu aku naik ke dalam!” 

Aku segera melihat ke bawah. Ada dua bocah lelaki yang sedang menungguku di sana. Ya, mungkin—sedang menungguku. Aku harap begitu.

“Hah? Loh memangnya tidak apa?” aku bertanya bingung. 

“Cepat!” Ujar Anju membuatku tak kuasa menolaknya. 

Tak ingin berlama-lama dan ketahuan, aku pun segera membantunya masuk. Aku menarik tangannya, sementara dari luar ia didorong teman karibnya, Zaenab. 

“Anju, memangnya kenapa kau ke sini? Bukannya masih oleh raga, ya?” tanyaku penasaran. 

Bocah itu mengangguk, sedang temanya—Zaenab berdecak kesal dan marah-marah.

“Zaenab buku apa yang ingin kau baca?” tanya Anju segera setelah ia mengambil sebuah buku.

“Mana kutahu! Aku tidak tahu apa-apa tentang buku.”

“Bagaimana dengan kisah para nabi? Kau tertarik?” 

Di tempatnya Zaenab bergeming. Tampaknya ia sedang menimbang-nimbang saran dari Anju. 

“Mana? Biar kulihat dulu.” 

Anju menyodorkan buku tersebut kepada Zaenab.

“Kisah nabi Daud, toh.” Lirih Zaenab seraya membuka buku tersebut. “Tidak buruk,” sambungnya lagi sambil menutup buku tersebut. 

“Baiklah, sekarang giliranku.”

Anju segera berdiri di depan rak buku. Matanya yang hitam kecokelatan bergerak ke kanan, atas, kiri, dan bawah. Sangat tampak bahwa bocah itu sedang mencari sebuah buku. Buku yang antah apa judulnya, yang antah bagaimana, dan yang antah dibuat oleh siapa. 

“Buku apa yang kau cari?” tanyaku lagi, hendak membantunya. 

“Sebuah buku filosofis.” Ujarnya sambil berlari ke arah rak yang lain. 

“Filosofis? Buku tentang apa itu?”

“Kau mana tahu. Kau kan tidak pernah membaca.”

“Makanya aku bertanya agar tahu.”

“Ya, seperti inilah filosofis.”

“Seperti mana?”

Anju menoleh malas ke arahku. “Seperti ini.” 

“Ini mana?” tanyaku sambil mendekatinya. 

“Ini yang ini.” Ujarnya lagi sambil menunjukkan sebuah buku berwarna putih dengan seorang anak kecil sebagai penghiasnya. 

“Apa yang membuat buku tersebut dikatakan sebagai buku filosofis, Anju? Tadi aku memegangnya. Dan bahkan membuka setiap lembarnya. Tapi, yang disayangkan adalah aku tidak tahu di mana letak filosofis buku itu.” 

“Pegang ini.” Ujarnya sambil menyodorkan buku tersebut kepadaku. 

Anju segera melepas kancing-kancing yang menutup rapat seragamnya.

“Apa kau sudah membacanya?”

Aku menggeleng.

“Bagaimana bisa kau tahu kalau kau tidak membacanya. Ada-ada saja.” Aku melihatnya. Tubuh kurus Anju yang bagaikan pohon cemara di tengah kemarau panjang. Perutnya kempis—seperti sebuah cekungan-cekungan yang ada di bawah kaki-kaki gunung. Selain itu, aku juga melihat dua lingkaran kecil berwarna cokelat dia atas dadanya—mereka terus menatapku—datar.

“Bukunya!” 

Aku menyodorkan buku tersebut, sementara Anju segera meletakkannya ke dalam perutnya yang kempis. 

“Apa yang kau lakukan?” ujarku setelah mengetahui bahwa Anju akan mencuri. 

“Suttt ...” 

“Kau akan mencurinya?” 

“Suttt ...” 

“Anju, segera letakkan itu, atau akan aku katakan semuanya kepada pak Wawan!”

“Suttt ...” Anju segera berlari ke arah rak lain dan mengambil tiga buah buku lain yang sudah di tandainya. Ia memasukkannya lagi ke dalam seragam dan membiarkan perutnya yang kempis membuncit diisi empat buah buku curiannya. Anju segera keluar melalui jendela dibantu  Zaenab. 

Aku segera mengejar Anju dan melihatnya dari jendela. “Anju! Zaenab! Kembalikan buku-buku tersebut!” 

“For what?” ujar Anju. “Anne, asal kau tahu. Tidak semua pencurian dapat dikatakan sebagai tindak kejahatan. Hari ini aku mencuri. Tapi, barangkali dengan pencurian ini, suatu saat aku dapat menciptakan dunia yang lebih baik dari hari ini.” 

“Itu benar, Anne. Kau tahu, kejahatan itu adalah dengan membiarkan diri terus terjerat dalam kebodohan.” Zaenab menimpali. 

“Kau semakin pintar setelah aku mengajarkanmu, Nab.” Ujar Anju sambil menepuk-nepuk bahunya. “Baiklah, karena kami sudah selesai maka kami akan segera ke kelas. Selamat tinggal, Anne.” 

Mereka berdua segera menjauh dari pandanganku. Ruang yang  semula hangat kembali pening dan dingin. Suara burung tekukur yang kesepian pun terdengar sangat keras saat dua bocah itu kembali ke kelas. Aku segera menutup jendela tersebut. Ada kerancuan di dalam hatiku. Aku segera turun dari kursi tanpa menyelotnya. Entah, mungkin karena aku sedang bingung. 

***

Tiga hari sudah berlalu. Setiap hari setelah kejadian pencurian itu—di dalam kelas aku terus memerhatikan Anju dan Zaenab. Seperti anak-anak lainnya, tidak ada yang mencurigakan dari kedua bocah itu. Mereka tak tampak kutu buku, juga tak tampak melankolis sepertiku. Mereka tampak tenang seperti biasanya. Bahkan, setelah melihat ke arahku. 

“Pak Wawan!” teriak Martin membuat semua anak yang ada di kelas wara-wiri membenarkan diri. 

Aku sedikit gelisah mendengar teriakan Martin. Dari kedalaman yang tidak terjamah, seseorang berteriak gemetar menyuruh sembunyi. Tapi bukankah semua sudah terlambat? Sekarang guru itu sudah berdiri di ambang pintu. 

Sekali lagi aku melihat ke arah Anju dan Zaenab. Reaksi mereka tidak berubah. Mereka masih bersikap tenang seperti air yang mengalir pelan menuju hilir. 

Pak Wawan mulai membuka suara. “Hari ini saya mengecek perpustakaan. Tapi, saya dikejutkan.”

Di dalam kelas Pak Wawan tertawa. Diikuti anak-anak lain, yang tertawa karena mendengar suara tawanya yang aneh. 

“Buku-buku yang mana merupakan hasil donasi telah hilang dicuri para pencuri.”

“HAHHHH?!” ujar anak-anak secara serentak.

“Dan kalian tahu apa yang paling membuat getir sekaligus membuat saya gusar? Yaitu mengetahui bahwa para pencurinya kita sendiri. Tanpa dilumati takut, kepada kita ia mengobral senyum dan tawa cerahnya. Kalian tahu? Itulah yang membuat saya gusar dan harus turun tangan.”

Semua terdiam. Kelas yang sebelumnya riuh dan panas pun berubah menjadi pening dan dingin. Semua orang menjadi serius. Mereka semua penasaran terhadap si pencuri buku itu.

“Anju!” Begitu memanggil sebuah nama, suara guru itu menggema. Memantul-mantul seperti bola kasti yang dilemparkan ke atas lantai, yang kemudian berdiam setelah memasuki kolong-kolong. “Bersama Zaenab, sekarang kau ikut saya ke kantor.” 

Kedua bocah itu segera mengikuti pak Wawan menuju ruang guru. Mereka masih terlihat tenang, sementara aku merasa sangat gelisah. Sesampainya di kantor, Anju bersama Zaenab segera duduk di kursi yang menghadap ke arah kursi lain, yang mana sudah di duduki seorang pria tua berjanggut.

Sambil memain-mainkan janggutnya ia berkata;

“Jadi mereka yang selama ini mencuri buku-buku di perpustakaan?” 

“Menurut seorang anak begitu, Pak.” 

Pria itu mengangguk-angguk paham. 

“Hebat sekali kalian sudah menjadi sampah.” 

Anju menatap pria tua itu dengan gusar. Sementara Zaenab merekatkan kesepuluh jarinya ke atas kursi agar tidak sampai mencakar wajah pria tersebut. 

“Sudah sejak kapan kalian mencuri?”

“Kami tidak mencuri.” Zaenab menjawab.

“Tidak mencuri? Lalu, siapa yang mengambil buku-buku di perpustakaan? Siapa yang akan mengaku mengambilnya? Kamu masih mau mengaku bukan pencuri, hah?”

“Kami tidak mencuri. Secara fisik kami mengambil, tetapi kami tidak mencuri. Itu adalah hak kami sebagai siswa.” Ujar Anju membuat pak Wawan memelototinya. 

“Hak sebagai siswa?” ulang pria tersebut sambil berpikir. “Lantas, apa aku harus memaafkan kalian?” 

“Kami tidak perlu dimaafkan karena kami tidak melakukan kesalahan.” 

“Lancang sekali!” seru pak Wawan kepada Zaenab sambil mengibas kepalanya dengan buku. 

Seketika Anju bertanya, “Saya hanya ingin bertanya, apa boleh, pak?”

“Lancang. Tapi, ya tanyakan saja.”

“Andai perpustakaan tidak dikunci, bisa dimasuki, dan kami bisa membaca dan berada di sana sepuasnya—menurut bapak, apakah masih mungkin kami akan mencuri?”

Pria berjanggut itu terdiam. Sebuah kepicikan terlihat sangat jelas di kedua bola matanya. Ia menatap Anju dengan luapan emosi yang membara-bara. Tampaknya pria itu merasa telah dibodohi oleh bocah-bocah yang menurutnya bodoh nan cilik. 

“Tidak boleh berandai-andai. Karena, pada dasarnya semua yang terjadi tidak berandai-andai. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, kita tidak bisa membenarkan suatu perbuatan hanya karena ada alasan lain yang biasa dijadikan ‘pengandaian’.”

“Tetapi saya berpikir begitu. Bila kami mendapatkan hak sebagaimana mestinya, tentu kami tidak akan nekat mencari dan memenuhi sendiri hak tersebut.”

Di tempatnya, Pak Wawan menelan ludah. Ia terheran-heran melihat kedua bocah yang masih duduk di kelas empat berbicara tentang hak-haknya. “Bagaimana bisa kedua bocah itu pandai bicara?” Teriak Pak Wawan di dalam batinnya. 

“Anak kecil tahu apa? Kau pernah mendengar seekor katak yang terjerat di dalam sumur semasa hidupnya? Bagaimana ia mengambil perspektif tentang dunia sesaat di dalam sumur dan setelah keluar dari dalam sumur? Nah, begitulah pandanganmu saat ini. Seperti katak yang masih berada di dalam sumur.”

Anju tersenyum kecil. Begitu pun dengan Zaenab. Mereka sama-sama dibuat geli oleh perkataan pria berjanggut tersebut. 

“Begitu. Baiklah, sekarang apa hukuman untuk kami?” tanya Zaenab, enteng. 

“Ikhlaskah bila kalian saya depak dari sekolah ini?”

Anju dan Zaenab bergeming. Kedua sempat terdiam cukup lama sebelum akhirnya membuka suara.

“Tidak masalah. Tetapi, citra bapak sebagai seorang kepala sekolah mungkin akan tercemar karena telah mendepak dua bocah pencuri yang haus pengetahuan. Tidak. Mungkin citra sekolah ini yang akan tercemar karena tidak memberikan pendidikan yang diharapkan.” 

“Banar. Perpustakaan yang tidak pernah dibuka, lantas apa gunanya ada? Ini seperti sebuah sumur yang tidak pernah di ambil airnya. Bukankah sumur itu tidak berguna sebagaimana mestinya?” tambah Zaenab. 

“Seseorang pernah berkata; tidak. Aku mendengarnya dari kakakku.  Kejahatan di dunia ada dua; satu, berdasarkan nafsu. Dan dua, berdasarkan logika. Menurut Bapak, kejahatan kami termasuk yang mana?”

Pria berjanggut itu terdiam. Wajahnya menjadi datar dan pucat. Sementara, jakunnya terlihat naik dan turun. Tampaknya ia sangat gusar setelah mendapat pernyataan dari Anju  dan Zaenab. 

“Sekarang ini juga, saya nyatakan kalian bukaan merupakan murid sekolah ini lagi. Kalian bisa pindah ke sekolah lain. Saya sendiri yang akan membantu berkas-berkasnya.”

Mendapati jawaban seperti itu pak Wawan langsung menjatuhkan dirinya ke atas kursi. Pasalnya, Anju dan Zaenab merupakan anak sekaligus sanak dalam keluarganya. 

[SELESAI]

Bantu koreksi mana yang harus diperbaiki teman-teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun