“Seperti mana?”
Anju menoleh malas ke arahku. “Seperti ini.”
“Ini mana?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Ini yang ini.” Ujarnya lagi sambil menunjukkan sebuah buku berwarna putih dengan seorang anak kecil sebagai penghiasnya.
“Apa yang membuat buku tersebut dikatakan sebagai buku filosofis, Anju? Tadi aku memegangnya. Dan bahkan membuka setiap lembarnya. Tapi, yang disayangkan adalah aku tidak tahu di mana letak filosofis buku itu.”
“Pegang ini.” Ujarnya sambil menyodorkan buku tersebut kepadaku.
Anju segera melepas kancing-kancing yang menutup rapat seragamnya.
“Apa kau sudah membacanya?”
Aku menggeleng.
“Bagaimana bisa kau tahu kalau kau tidak membacanya. Ada-ada saja.” Aku melihatnya. Tubuh kurus Anju yang bagaikan pohon cemara di tengah kemarau panjang. Perutnya kempis—seperti sebuah cekungan-cekungan yang ada di bawah kaki-kaki gunung. Selain itu, aku juga melihat dua lingkaran kecil berwarna cokelat dia atas dadanya—mereka terus menatapku—datar.
“Bukunya!”