Di tempatnya, Pak Wawan menelan ludah. Ia terheran-heran melihat kedua bocah yang masih duduk di kelas empat berbicara tentang hak-haknya. “Bagaimana bisa kedua bocah itu pandai bicara?” Teriak Pak Wawan di dalam batinnya.
“Anak kecil tahu apa? Kau pernah mendengar seekor katak yang terjerat di dalam sumur semasa hidupnya? Bagaimana ia mengambil perspektif tentang dunia sesaat di dalam sumur dan setelah keluar dari dalam sumur? Nah, begitulah pandanganmu saat ini. Seperti katak yang masih berada di dalam sumur.”
Anju tersenyum kecil. Begitu pun dengan Zaenab. Mereka sama-sama dibuat geli oleh perkataan pria berjanggut tersebut.
“Begitu. Baiklah, sekarang apa hukuman untuk kami?” tanya Zaenab, enteng.
“Ikhlaskah bila kalian saya depak dari sekolah ini?”
Anju dan Zaenab bergeming. Kedua sempat terdiam cukup lama sebelum akhirnya membuka suara.
“Tidak masalah. Tetapi, citra bapak sebagai seorang kepala sekolah mungkin akan tercemar karena telah mendepak dua bocah pencuri yang haus pengetahuan. Tidak. Mungkin citra sekolah ini yang akan tercemar karena tidak memberikan pendidikan yang diharapkan.”
“Banar. Perpustakaan yang tidak pernah dibuka, lantas apa gunanya ada? Ini seperti sebuah sumur yang tidak pernah di ambil airnya. Bukankah sumur itu tidak berguna sebagaimana mestinya?” tambah Zaenab.
“Seseorang pernah berkata; tidak. Aku mendengarnya dari kakakku. Kejahatan di dunia ada dua; satu, berdasarkan nafsu. Dan dua, berdasarkan logika. Menurut Bapak, kejahatan kami termasuk yang mana?”
Pria berjanggut itu terdiam. Wajahnya menjadi datar dan pucat. Sementara, jakunnya terlihat naik dan turun. Tampaknya ia sangat gusar setelah mendapat pernyataan dari Anju dan Zaenab.
“Sekarang ini juga, saya nyatakan kalian bukaan merupakan murid sekolah ini lagi. Kalian bisa pindah ke sekolah lain. Saya sendiri yang akan membantu berkas-berkasnya.”