“Tidak mencuri? Lalu, siapa yang mengambil buku-buku di perpustakaan? Siapa yang akan mengaku mengambilnya? Kamu masih mau mengaku bukan pencuri, hah?”
“Kami tidak mencuri. Secara fisik kami mengambil, tetapi kami tidak mencuri. Itu adalah hak kami sebagai siswa.” Ujar Anju membuat pak Wawan memelototinya.
“Hak sebagai siswa?” ulang pria tersebut sambil berpikir. “Lantas, apa aku harus memaafkan kalian?”
“Kami tidak perlu dimaafkan karena kami tidak melakukan kesalahan.”
“Lancang sekali!” seru pak Wawan kepada Zaenab sambil mengibas kepalanya dengan buku.
Seketika Anju bertanya, “Saya hanya ingin bertanya, apa boleh, pak?”
“Lancang. Tapi, ya tanyakan saja.”
“Andai perpustakaan tidak dikunci, bisa dimasuki, dan kami bisa membaca dan berada di sana sepuasnya—menurut bapak, apakah masih mungkin kami akan mencuri?”
Pria berjanggut itu terdiam. Sebuah kepicikan terlihat sangat jelas di kedua bola matanya. Ia menatap Anju dengan luapan emosi yang membara-bara. Tampaknya pria itu merasa telah dibodohi oleh bocah-bocah yang menurutnya bodoh nan cilik.
“Tidak boleh berandai-andai. Karena, pada dasarnya semua yang terjadi tidak berandai-andai. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, kita tidak bisa membenarkan suatu perbuatan hanya karena ada alasan lain yang biasa dijadikan ‘pengandaian’.”
“Tetapi saya berpikir begitu. Bila kami mendapatkan hak sebagaimana mestinya, tentu kami tidak akan nekat mencari dan memenuhi sendiri hak tersebut.”