Jarum pada jam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul 6 petang.Â
Dengan wajah memberengut, kulepaskan sepatu converse favoritku. Tiga tahun berlalu sejak ayah memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 17 sebelum ayah benar-benar pergi dari kehidupanku untuk selamanya. Ayah mengidap kanker paru-paru stadium akhir hingga ia menyerah dan tak mampu lagi bertahan. Ayah seorang perokok. Sehari ia dapat menghabiskan tiga bungkus rokok tanpa pernah memikirkan kesehatannya.Â
Ayah meninggalkanku bersama ibu. Namun hanya berselang 3 bulan, ibu juga pergi meninggalkanku. Ibu bersedih sepanjang hari, seakan-akan matahari tidak akan pernah bersinar lagi. Ibu menangis karena merindukan ayah. Apa yang dapat kulakukan selain menghiburnya? Sebagai anak tunggal, aku bingung harus berbuat apa dan pula aku hanyalah seorang anak perempuan.
Kukuatkan jiwa dan raga mengurus ibu meski perihku tak terelakkan ketika Tuhan berkehendak lain atas hidup ibu. Kesedihannya itu menyebabkan ibu tak bergairah melakukan apapun. Ibu jarang sekali makan bahkan sedikit minum. Badannya semakin lemah dan menjadi kurus. Ibu jatuh sakit. Ia kekurangan gizi. Ibu seperti manusia egois. Ia tidak memikirkanku. Dengan mudahnya ia menyerah tanpa melakukan perjuangan apapun. Ibu tidak mau berobat. Ibu memilih berbaring di ranjangnya. Sampai aku menyadari bahwa ibu terlalu mencintai ayah.
Tanganku meraih gagang pintu sebelum sesaat kuperhatikan rak sepatu. Kau sudah pulang rupanya. Biasanya kau masih berada di kantor dan aku akan di rumah sendirian, menunggumu hingga tertidur di sofa. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, mencarimu di ruang tengah. Kau tidak ada di sana. Dari arah dapur terdengar bunyi ketel air mendidih.Â
Bergegas aku berlari tetapi kau juga tak terlihat di sana. Kumatikan kompor lalu menyeduh bubuk kopi yang telah tersedia di dalam cangkir. Sepertinya kau hendak membuat kopi.Â
Memang telah menjadi kebiasaanmu sejak dulu, menyeduhnya dengan air mendidih. Padahal kau bisa mengambil air panas dari dispenser tanpa harus repot memasak air lagi. Namun kau selalu bilang rasa kopinya akan berbeda, tidak senikmat bila diseduh langsung dengan air mendidih.
Aroma kopi seketika menyeruak masuk hingga ke rongga dadaku. Hangat. Begitu menenangkan. Lantas dimana dirimu? Kuletakkan cangkir kopi di atas meja lalu menarik keluar sebuah kursi dari kolong meja dan duduk di situ. Aku memberengut. Mungkin jika kau melihatnya, kau akan berkata aku lebih mirip jeruk purut ketimbang seorang gadis berusia 20 tahun yang cantik dan lugu.
Ah, lama sekali kau muncul. Apakah sejak tadi kau belum juga berganti pakaian? Sepertinya kau tidak merasakan kehadiranku. Aku Kesal. Kurebahkan kepalaku di atas meja, sambil memutar-mutar cangkir kopimu sesukaku tanpa jelas kemana arahnya.
Terdengar derap langkah kaki datang mendekat. Itu pasti dirimu. Enggan kuangkat kepalaku menoleh padamu. Aku dapat mencium wangi parfummu ketika kau mendekatiku. Aku menyukainya.Â
Wangi lembutmu yang selalu membuatku merasa nyaman ketika sedang bersamamu. Aku merasakan tanganmu menyentuh lembut kepalaku.Â
Mataku memejam sesaat, meresapi setiap rasa pedulimu yang tak mampu kau ungkapkan melalui kata-kata. Dapat kutebak, kau telah mengerti permasalahan yang kuhadapi kali ini. Kau melepaskan tanganmu dari kepalaku lalu duduk di hadapanku. Kau menidurkan kepalamu di atas meja agar dapat menatapku dengan mata sipitmu.Â
Wajahmu yang bersih selalu mengingatkanku pada ayah. Setelah lama kuperhatikan, kau memang terlalu mirip dengan ayah, berhidung kecil dan mancung. Yang berbeda adalah dagumu, sedikit berbelah seperti kebanyakan aktor bollywood. Bibirmu tipis merona. Diam-diam aku menyembunyikan tawa. Wajahmu itu, terbilang unik tetapi aku mengaguminya.
Mulutku masih mengatup, belum ingin berucap apapun meski kau telah memberi isyarat dengan kedua alismu, kau siap mendengarkan semua keluhanku. Aku mengangkat wajah lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kau juga melakukan hal yang sama. Tanganmu menarik cangkir kopi, mengangkatnya ke udara, kemudian mengendusi wanginya.Â
Ya, kopi buatanku selalu sesuai dengan seleramu, bukan? Kau menyesapnya dengan perlahan. Seketika senyum simpulmu mengembang. Kau meletakkan kembali cangkir itu dan menatapku lagi. Kau masih sabar menungguku untuk menceritakan apa yang menjadi beban pikiranku.
Aku mengeluarkan secarik kertas double folio dari dalam ransel. Kuperlihatkan isinya kepadamu serta sebuah huruf besar yang menghiasi pojok kanan atas kertas itu.
"Aku dapat nilai D untuk mata kuliah Geografi Lanjutan."ucapku lirih. Semangatku sirna setiap kali melihat nilai itu. Pelupuk mataku mulai basah. Tidak! Aku tidak ingin menangis di depanmu. Sudah terlalu sering kau melihatku meneteskan airmata. Buru-buru kuusap air itu sebelum jatuh.
"Bukankah kau sudah berusaha?"suara beratmu terdengar.
Kepalaku mengangguk pelan. "Tapi dosen itu tega sekali memberikan nilai gagal ini padaku."
"Mungkin dia ingin melihatmu belajar lebih rajin lagi dan berusaha lebih keras."
"Aku sedih sekali, Dev!"kataku tak kuat menahan emosi yang bercampur. Kudaratkan kepalaku pada dada bidangmu. Lenganmu mendekapku. Airmataku membasahi kaos oblong abu-abumu. Aku ingat, kaos itu adalah pemberian ibu yang masih kau simpan sampai sekarang dan paling sering kau pakai jika sedang berada di rumah.
"Sekarang kau mandi. Aku akan memasak makan malam."katamu.
Kulepaskan tubuhku dari pelukanmu. Jemarimu mengusap airmataku. Entah mengapa, dirimu selalu berhasil menyejukkan hati dan perasaanku. Tak ada yang lebih menghanyutkan dari pada itu.
"Aku ingin makan capcay ayam."kataku manja seraya beranjak dari kursi.
"Baiklah, akan aku buatkan capcay ayam yang enak untukmu."jawabmu tersenyum.
"Habiskan kopimu."kataku kemudian berlalu dari hadapanmu sambil membawa kertas double folio itu. Dalam sekejap, kertas itu berubah menjadi gumpalan tak berguna. Aku melemparnya ke dalam tong sampah. Siapa yang peduli pada nilai jelek seperti itu.
Kamarku berada di lantai dua. Awalnya aku merasa rumah ini terlalu besar. Kau membelinya dengan uang tabunganmu. Kau berkata agar aku bisa leluasa bergerak kemana pun aku inginkan. Meskipun kau tahu seharian aku betah berada di dalam kamar.
Sama seperti dirimu, aku juga sangat menyukai kerapian. Setiap hari kau akan membersihkan rumah, kemudian memasak makanan untukku. Kau tidak pernah mengizinkanku melakukan apapun kecuali merapikan kamar dan mencuci pakaianku sendiri. Kau seperti ayah, selalu memanjakanku. Itulah sebabnya mengapa aku mudah sekali menangis. Berharap semua masalah dapat selesai hanya dengan meneteskan airmata.
Di atas meja belajarku, terpajang sebuah bingkai foto yang sudah agak usang. Lama sekali sejak foto itu diambil, dicetak, kemudian kumasukkan ke dalam bingkai.Â
Usiaku baru 8 tahun, diapit oleh ayah dan ibu. Waktu itu kau berumur 18 tahun. Seharusnya kau ikut berfoto bersama kami. Tapi entah kemana perginya dirimu. Itulah masa-masa paling bahagia saat ayah masih sehat dan senyum ibu menjadi penghibur di kala aku sedih.
Sejak dulu, aku senang berbincang denganmu. Kala hujan mengguyur bumi dan petir seakan hendak menerkamku, kau masuk ke kamarku, kebetulan saat itu kau sedang menginap di rumah.Â
Kau lalu duduk di tepi tempat tidurku. Kau mulai menceritakan cerita lucu yang menyenangkan hingga aku kembali terlelap. Kau juga pernah menggendongku ketika aku jatuh dari sepeda meskipun berat badanku tak lagi seperti anak berumur 5 tahun. Tapi kau tetap membawaku sampai ke rumah.Â
Seperti ibu, kau juga pandai memasak. Bolu kukus dan capcay ayam buatanmu persis buatan ibu. Hidup bersamamu membuatku tak perlu khawatir tentang apapun juga. Kau bagaikan penjamin hidup bagiku hingga masa tua.
Kutanggalkan pakaianku dan berlari ke kamar mandi. Bila aku tidak muncul dalam satu jam, kau akan memanggilku sebab kau tahu kebiasaanku, selalu ketiduran setelah mandi. Tidak. Kali ini aku sangat merindukanmu. Entahlah. Aku hanya ingin berbincang denganmu hingga pagi menjelang. Mungkin terdengar berlebihan. Namun sungguh, aku sedang merindukan ayah saat ini. Berbincang bersamamu dapat mengobati rasa rinduku pada ayah.
"Devon, mengapa ayah pergi begitu cepat?"tanyaku menyandarkan kepalaku di pundakmu.
Setelah menikmati makan malam yang enak, kau mengajakku menonton film kesukaanku. Aktornya Steven Seagal. Pertama kali kau mengetahui bahwa aku menyukai film action, kau malah menertawakanku.Â
Jelas saja, semua orang akan melakukan hal yang sama sepertimu. Bagaimana mungkin seorang gadis yang gemar nonton film action memiliki sifat terbalik yaitu melankolis dan cengeng. Kali ini aku katakan padamu, aku sedang berusaha menghilangkan sifat cengeng itu untuk menjadi gadis yang lebih kuat dengan menonton film-film action.
"Kau merindukan ayah?"kau balik bertanya.
Aku mengangguk. "Seharusnya ayah menungguku hingga lulus SMA, bahkan ayah wajib menjadi waliku saat wisuda nanti."
"Aku yang akan menggantikan ayah melakukan semua itu, Vin."katamu seraya menggenggam tanganku.
"Sungguh?"
"Tentu saja. Aku berjanji padamu."
Aku menengadah melihat wajahmu. "Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor?"
"Dalam waktu dekat ini aku harus berangkat ke Swiss."
Mendengar itu, cepat-cepat kutegakkan tubuhku, menatapmu dengan raut wajah sedih. "Jadi kau akan meninggalkanku?"
"Tenang saja, tidak akan lama. Hanya seminggu aku di sana. Setelah itu aku akan kembali ke Indonesia lagi."
"Itu artinya ... aku harus melakukan pekerjaan rumah sendirian?"mataku berkaca-kaca. Entah mengapa ingin rasanya aku melarangmu pergi. Tapi mengucapkannya saja aku tidak mampu.
"Cuma seminggu. Oke? Sini."
Kau menarikku lagi ke dalam pelukanmu. Kemudian menepuk-nepuk lembut punggungku. Kau berusaha menenangkanku karena kau sangat mengerti kalau aku paling takut bila kau bepergian jauh. Kau memahamiku melebihi diriku sendiri. Tidak ada yang lebih spesial selain menghabiskan waktu bersamamu.
Mataku membuka. Sejenak kubiarkan otakku mencerna benda apa yang pertama kali kulihat. Sebuah kursi kosong. Aku menegakkan kepala lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Kulirik jam tanganku. Jarumnya menunjuk angka delapan. Oh, mungkinkah aku ketiduran? Kemana perginya dirimu? Kulayangkan pandang ke sekeliling dapur, tidak ada siapa pun di situ. Kau juga tak ada di setiap sudut mana pun.
"Vincia!"
Secepat kilat aku menoleh ke belakang ketika mendengar suaramu berteriak memanggil namaku. Tapi beberapa menit menunggu, kau tak juga muncul. Ah, hanya halusinasiku. Belakangan ini aku memang jarang minum vitamin C. Konsentrasiku sering buyar. Padahal kau sering mengingatkanku agar tak pernah lupa mengkonsumsi vitamin itu secara rutin.
Aku terkesiap saat mendapatkanmu telah duduk di hadapanku. Kau tersenyum tipis manatapku. Aku membalas senyumanmu. Jangan-jangan kau tadi bersembunyi di kolong meja. Dasar nakal. Matamu kemudian mengerling pada cangkir kopi di atas meja. Isinya masih penuh dan telah dingin.
Aku tertawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala. "Tadinya aku membuatkan kopi ini untukmu, tapi kau ..."kata-kataku terputus ketika menyadari dirimu tak lagi berada di kursi itu.
Sekali lagi, kupandangi sekeliling. Kau tidak ada di mana-mana. Aku mencarimu di kolong meja, hanya kakiku dan kaki-kaki kursi yang terlihat di sana. Senyumanku mengembang lirih. Aku kembali menatap cangkir kopi. Dengan tangan bergetar, aku berusaha menarik cangkir itu agar mendekat padaku. Tiba-tiba saja, airmataku jatuh. Oh, jangan! Jangan lagi! Mengapa kebiasaan cengeng ini belum hilang juga?
Aku bahagia setiap kali terjadi perbincangan di antara kita. Jiwaku seakan menyatu bersama jiwamu ketika aku mendengarkan suaramu. Kau mengurusku dengan sabar bahkan kau berjanji akan menjadi waliku pada hari wisudaku. Tetapi kau tak datang.
Bertahun-tahun kita hidup bersama. Kau seperti malaikat yang hadir menemani sepi hariku. Bahkan ayah dan ibu mempercayakanku padamu saat mereka tak mampu lagi bertahan hidup. Usia kita terpaut jauh. Aku mencintaimu bukan hanya sebagai kakak sepupu melainkan seperti kakak kandungku sendiri. Ibu tak bisa memberikan saudara lain karena kandungan ibu sangat lemah. Memilikimu adalah kebahagiaan bagiku.
Cangkir kopi itu kuangkat ke udara kemudian aku menyesap isinya. Sepanjang hidup, aku tak pernah menelan air berwarna hitam itu karena menurutku rasanya terlalu pahit. Namun, semenjak kau tak lagi berada di sini bersamaku, kucoba untuk mencicipinya. Ternyata rasanya tidak begitu buruk dan aku mulai menyukainya. Minuman pekat ini dapat menenangkan pikiranku saat aku merindukanmu.
Empat tahun silam, dirimu pernah berjanji akan menjadi pengganti ayah di hari wisudaku. Tetapi pesawat yang kau tumpangi ketika hendak kembali ke Indonesia, mengalami kecelakaan sehingga merenggut nyawa seluruh penumpangnya termasuk dirimu.
Betapa merindunya aku padamu, Dev. Aku ingin berbincang lagi denganmu. Aku sangat rindu mendengar kau memanggil namaku. Aku rindu hangat dekapan dan wangi parfummu.
Kembali kuletakkan cangkir kopi itu di atas meja kemudian mengusap wajahku. Aku bangkit dari kursi, berjalan ke kamar sambil menenteng tas kerjaku.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H