Mendengar itu, cepat-cepat kutegakkan tubuhku, menatapmu dengan raut wajah sedih. "Jadi kau akan meninggalkanku?"
"Tenang saja, tidak akan lama. Hanya seminggu aku di sana. Setelah itu aku akan kembali ke Indonesia lagi."
"Itu artinya ... aku harus melakukan pekerjaan rumah sendirian?"mataku berkaca-kaca. Entah mengapa ingin rasanya aku melarangmu pergi. Tapi mengucapkannya saja aku tidak mampu.
"Cuma seminggu. Oke? Sini."
Kau menarikku lagi ke dalam pelukanmu. Kemudian menepuk-nepuk lembut punggungku. Kau berusaha menenangkanku karena kau sangat mengerti kalau aku paling takut bila kau bepergian jauh. Kau memahamiku melebihi diriku sendiri. Tidak ada yang lebih spesial selain menghabiskan waktu bersamamu.
Mataku membuka. Sejenak kubiarkan otakku mencerna benda apa yang pertama kali kulihat. Sebuah kursi kosong. Aku menegakkan kepala lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Kulirik jam tanganku. Jarumnya menunjuk angka delapan. Oh, mungkinkah aku ketiduran? Kemana perginya dirimu? Kulayangkan pandang ke sekeliling dapur, tidak ada siapa pun di situ. Kau juga tak ada di setiap sudut mana pun.
"Vincia!"
Secepat kilat aku menoleh ke belakang ketika mendengar suaramu berteriak memanggil namaku. Tapi beberapa menit menunggu, kau tak juga muncul. Ah, hanya halusinasiku. Belakangan ini aku memang jarang minum vitamin C. Konsentrasiku sering buyar. Padahal kau sering mengingatkanku agar tak pernah lupa mengkonsumsi vitamin itu secara rutin.
Aku terkesiap saat mendapatkanmu telah duduk di hadapanku. Kau tersenyum tipis manatapku. Aku membalas senyumanmu. Jangan-jangan kau tadi bersembunyi di kolong meja. Dasar nakal. Matamu kemudian mengerling pada cangkir kopi di atas meja. Isinya masih penuh dan telah dingin.
Aku tertawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala. "Tadinya aku membuatkan kopi ini untukmu, tapi kau ..."kata-kataku terputus ketika menyadari dirimu tak lagi berada di kursi itu.
Sekali lagi, kupandangi sekeliling. Kau tidak ada di mana-mana. Aku mencarimu di kolong meja, hanya kakiku dan kaki-kaki kursi yang terlihat di sana. Senyumanku mengembang lirih. Aku kembali menatap cangkir kopi. Dengan tangan bergetar, aku berusaha menarik cangkir itu agar mendekat padaku. Tiba-tiba saja, airmataku jatuh. Oh, jangan! Jangan lagi! Mengapa kebiasaan cengeng ini belum hilang juga?