Untuk memecahkan masalah itu para sahabat, termasuk Ibn Mas’ud, menggunakan penalaran akal dan ijtihadnya. Pada periode sahabat sepertinya kondisi sosial. telah ikut mempengaruhi pemikiran sahabat, terutama dalam memahami teks-teks hukum dan memformulasikan pendapatnya, sejauh tidak bertentangan dengan teks yang pasti atau tegas.
Oleh sebab itu hukum Islam dengan kenyataan masyarakat dapat dikatakan mempunyai semacam hubungan timbal balik, lebih-lebih bila dilihat dalam perkembangan hukum Islam itu sendiri. Keberanian moral dan rasa bertanggung jawab para sahabat Nabi dalam mengakomodasi perubahan sosial dihadapkan dengan teks-teks hukum dalam bentuk yang terbatas, telah melahirkan keberagaman pendapat, yang kadang-kadang nyaris menimbulkan konflik dan perbedaan tajam di kalangan mereka. Sebut saja seperti ijtihad Umar yang tidak mau membagi harta rampasan perang kepada para tentaranya yang menimbulkan polemik tajam di kalangan sahabat. Hal ini dilakukan Umar karena menjawab perubahan sosial yang terjadi pada masanya. Dan lebih jauh menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat.
Dalam hubungan ini dengan thalaq tiga sekaligus merupakan respon Ibn mas’ud terhadap perubahan sosial dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan kondisi tersebut. Perbedaan yang terlihat dengan pendapat Umar adalah dari sisi kapan waktu menjatuhkannya. Ibn Mas’ud sepertinya memberikan waktu berpikir yang agak panjang bagi suami sebelum menjatuhkan thalaq tiga, dan ketika pikiran sudah matang, berarti terdapat keseriusan dan tidak main-main. Akibat hukumnya thalaq tiga yang diajtuhkan dengan pemikiran yang matang jatuh tiga sekaligus. Akan tetapi secara prinsip, pemikiran hukumnya memang banyak mengadopsi gaya istinbath hukum Umar ibn Khatab.
- Berkenaan dengan penyusuan laki-laki dewasa.
Sepertinya tinjauan Ibn Mas’ud melihat bahwa konteks yang dihadapi adalah penyusuan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya, di mana ia dihadapkan kepada kasus seorang istri yang mempunyai ASI cukup banyak karena baru melahirkan anaknya dan suaminya juga menyusu kepadanya. Jika penyusuan dilakukan oleh suami pada saat itu tidak mustahil ia akan menelan ASI tersebut. Menurut Aisyah, Urwah ibn Zubeir, Ali ibn Abi Thalib, dan Atha` ibn Abi Rabah, penyusuan yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tetap mengakibatkan hukum mahram. Hal ini didasarkan kepada hadis tentang kisah Salim [yang sudah besar] dan menyusu kepada Sahlah binti Suhail. Sementara ibn Mas’ud mengatakan bahwa penyusuan yang dilakukan laki-laki dewasa tidak akan menimbulkan mahram.
Sementara ibn Mas’ud berhadapan dengan kondisi yang berbeda dengan itu, yaitu berkenaan dengan perilaku suami yang menyusu kepada istrinya.
Suatu hal yang agaknya membedakan kedua kasus itu adalah bahwa kasus Salim dialami olehnya secara khusus, sedangkan kasus penyusuan suami kepada istrinya mungkin dilakukan oleh umumnya suami. Jika ketentuan hadis tentang Salim diberlakukan kepada suami, tentu akan mengakibatkan banyaknya mahram sepersusuan akibat pernikahan, dan ini tentu bukan solusi yang menghasilkan kemaslahatan. Menjawab persoalan itu Ibn Mas’ud menetapkan hukum bolehnya laki-laki dewasa menyusu dan tidak menimbulkan akibat hubungan radha’ah..
Mengenai hadis tentang penyusuan Salim, ada dua kemungkinan yang dapat dianalis dari pemikiran hukum ibn Mas’ud. Pertama, ibn Mas’ud sependapat dengan para istri Nabi SAW bahwa hadis itu hanya khusus berlaku kepada Salim dan tidak berlaku umum bagi semua laki-laki dewasa, karena realitanya Salim tinggal bersama dan menjadi anak angkat Sahlah binti Suhail dan tidak mungkin dipisahkan lagi. Kedua, ibn mas’ud menerima hadis itu tentang hukum laki-laki dewasa yang menyusu, akan tetapi ia berpaling kepada kesimpulan lain karena melihat tidak mungkin menerapkan hadis itu kepada para suami secara umum karena ada maslahah besar yang hendak dipelihara dan kemudaratan yang mesti dihindarkan, yaitu mempertahankan perkawinan sebagai bentuk dari mewujudkan kemaslahatan. Langkah inilah yang pada akhirnya mungkin disebut istihsan oleh ulama-ulama belakangan.
- Keharaman istri ayah disebabkan semata-mata watha’,
Pendapatnya ini agaknya dilatar belakangi oleh kondisi sosial yang lain dalam lembaga perkawinan masyarakat Arab saat itu. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Arab jahiliyah, istri ayah tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Jangankan untuk mewarisi dari suaminya, bahkan ia sendiri menjadi harta warisan bagi anak-anak suaminya. Setelah Islam datang, tradisi ini dibatalkan. Dalam Islam seorang laki-laki (ayah) bisa saja beristri 4 (empat) orang dengan akad yang jelas, akan tetapi di sisi lain ia juga boleh menggauli hamba sahayanya. Setelah Allah SWT menyebutkan wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi dalam surat al-Nisa’ ayat 22-23, lalu dikunci dengan kalimat “dan dihalalkan untukmu selain dari itu”, yang secara tidak langsung menunjukkan aturan tentang menggauli hamba sahaya ini tidak dikategorikan “istri-istri ayahmu” yang diharamkan dalam al-Qur`an.
Untuk menjawab persoalan hamba sahaya yang sudah digauli oleh ayah, Ibn Mas’ud menetapkan watha’ sebagai sebab keharaman istri ayah, hal ini tentunya untuk memasukkan “hamba sahaya yang digauli tanpa aqad nikah ke dalam cakupan istri-istri ayah”. Tentunya hal ini mempunyai implikasi luas dalam hubungan kekeluargaan, di samping untuk menghormati ayah juga menempatkan hamba sahaya tersebut pada tempat yang diinginkan oleh Allah SWT. Dan secara umum apa yang dilakukannya ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam bentuk hubungan mushaharah.
- Berkenaan dengan sogok menyogok (rasywah).
Ada peluang yang diberikan oleh Ibn Mas’ud untuk melakukan sogokan kepada hakim atau penguasa jika yang diperjuangkan itu sesuatu yang benar dan berhubungan dengan terancamnya jiwa dan harta. Walaupun demikian kehalalan ini hanya berlaku bagi pencari hukum, bukan bagi penegak hukum, karena bagi penegak hukum tidak boleh sama sekali menerima sogokan tersebut.
Al-Kahlani dalam hal penegakan sesuatu yang hak ini juga sependapat dengan ibn Mas’ud. Pemikiran ini agaknya dilatar belakangi oleh situasi sosial masyarakat yang sudah membiasakan sogok menyogok sehingga ada kemungkinan mengalahkan pihak yang benar dalam perkara. Nabi SAW juga pernah mengatakan bahwa ada seseorang yang mempunyai argumentasi yang jitu dalam menyatakan perkaranya sementara ia berada pada pihak yang salah, jika hakim memutuskan perkara dan memenangkannya, janganlah diambil keputusan itu karena berarti ia mengambil satu tumpukan api neraka. Lebih jauh Nabi SAW mengingatkan bahwa seorang hakim hanya memutuskan sesuai dengan kondisi lahiriyah yang dilihat dan diperhatikannya dalam persidangan, tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya.