Mohon tunggu...
L. Rintis Susanti
L. Rintis Susanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Researcher-Activist/ Labor Movement/ Social and Gender/ Politics/ Gender and Development/ Gender Studies

Lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang kemudian belajar bersama teman-teman gerakan buruh dan gerakan perempuan di Jabodetabek. Selain itu saya juga memiliki ketertarikan terhadap isu-isu sosial dan gender yang diwujudkan dalam kerja-kerja penelitian dan mengerjakan program pembangunan dengan perspektif GESI, salah satunya program Renewable Energy. Saat ini sedang melanjutkan studi program Magister Kajian Gender.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nasib Perempuan Purna Migran, Reintegrasi Setengah Hati

16 November 2024   01:25 Diperbarui: 16 November 2024   02:25 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebentar lagi di seluruh daerah di Indonesia akan diadakan pemilihan kepala daerah secara serentak, pada 27 November 2024. Ini adalah momentum yang bagus bagi masyarakat untuk melihat kembali komitmen politik dari para calon kepala daerah bagi persoalan yang dihadapi perempuan purna migran misalnya. 

Seperti yang sudah-sudah, buruh migran akan selalu dielu-elukan sebagai pahlawan devisa negara, namun persoalan kesejahteraan manusianya belum diperhatikan secara seksama.

Pada tahun 2017 pemerintah Indonesia telah membuat Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, patut kita apresiasi niat baiknya. Akan tetapi, ada persoalan yang masih jarang didiskusikan oleh para stakeholder pembangunan di Indonesia, termasuk oleh NGO, yakni persoalan yang dihadapi perempuan purna migran dalam proses reintegrasi ke masyarakat dan pembangunan di daerah asalnya (pasca-migrasi).

Pasca-Migrasi dan Agenda Pembangunan Lokal

Setelah bertahun-tahun perempuan purna migran bermigrasi dan bekerja di luar negeri, mereka pulang ke desa asal hanya untuk menemui kenyataan bahwa di desanya tidak ada kesempatan kerja yang terbuka. Alih-alih membangun struktur perekonomian di pedesaan, pemerintah justru hanya membuat program tambal sulam seperti program kewirausahaan atau edukasi pengelolaan remitansi untuk purna migran.

Bagaimana mungkin kewirausahaan tersebut bisa berkembang jika tidak dipenetrasi ke dalam potensi ekonomi lokal yang ada. Pembangunan potensi ekonomi lokal juga mensyaratkan adanya pembangunan manusia terlebih dulu; bukan hanya persoalan pembangunan infrastruktur atau pembangunan industri lokal. 

Pembangunan manusia bagi perempuan purna migran diarahkan untuk dapat menumbuhkan kapasitas mereka untuk dapat berpartisipasi secara bermakna dalam pembangunan di desanya. Jadi selain mendesain konsep kebijakan mengenai reintegrasi ekonomi, pemerintah di dalam regulasi pasca-migrasi juga berkewajiban untuk mendesain kebijakan mengenai reintegrasi sosial-politik bagi perempuan purna migran. 

Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, peraturan dan definisi mengenai reintegrasi masih sangat samar. Karenanya, peran Bupati dan Walikota yang harusnya dapat lebih memahami proses dan problematika reintegrasi di pedesaan, menjadi penting untuk menerjemahkannya ke dalam Peraturan Daerah.

Kabupaten Indramayu sebagai salah satu daerah lumbung buruh migran telah mengambil keputusan yang tepat untuk membuat Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelindungan Pekerja Migran Asal Indramayu.

 Pembentukan Perda tersebut telah memberi sumbangan besar untuk pembentukan sistem hukum bagi pelindungan purna migran karena secara spesifik telah menjabarkan proses reintegrasi pasca-migrasi, yang belum dijelaskan oleh UU di atasnya.

Dengan mengambil contoh pengaturan  mengenai reintegrasi pasca-migrasi di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu tersebut (Pasal 26, 28, 33); kewajiban pemerintah dalam konteks reintegrasi purna migran ke komunitas asal, masih dipahami sebatas layanan atas problem individual purna migran.

Asumsi mengenai problematika perempuan purna migran saat mereka selesai bermigrasi dan kembali ke daerah asal yang terkandung dalam peraturan-peraturan di atas adalah sebatas persoalan individual. 

Padahal problem reintegrasi yang dihadapi perempuan purna migran adalah problem sosial yang berakar dari ketimpangan struktural di dalam struktur sosio-ekonomi pedesaan hingga nasional, dan bahkan global. Perempuan purna migran tidak punya kuasa atas proses perubahan sosio-ekonomi yang terjadi di daerahnya.

Bahkan, bisa dibilang, pembangunan sosio-ekonomi pedesaan selama ini belum menjadi prioritas agenda pembangunan pemerintah, jika dibandingkan dengan pembangunan di perkotaan atau wilayah yang diproyeksikan menjadi pusat industri manufaktur di sekitarnya. 

Alih-alih merencanakan pembangunan yang dapat melibatkan banyak orang di desa, dilihat dari program-programnya, pemerintah justru nampaknya lebih suka mendorong para perempuan di pedesaan untuk bermigrasi ke luar negeri.

Setelah mereka kembali dari bermigrasi, pemerintah mengklaim telah berhasil melakukan pembangunan dengan menyediakan program tambal-sulam seperti kewirausahaan dan edukasi pengelolaan remitansi (reintegrasi ekonomi), dan menyediakan layanan pemulihan hubungan antara purna migran dengan pasangan dan komunitasnya (reintegrasi sosial).

Program tersebut di daerah-daerah tertentu, seperti di daerah terisolir atau daerah yang baru saja beranjak dari status desa tertinggal; terbukti tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. 

Program yang demikian dalam jangka panjang tidak dapat menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan yang kembali mendera perempuan purna migran, sekembalinya mereka dari bermigrasi.

Problem Struktural di Pedesaan

Banyak dari kita, terutama Generasi Z juga pasti bertanya-tanya, apa sebab para perempuan di pedesaan berbondong-bondong bermigrasi ke luar negeri? Apakah tidak ada cara lain untuk bisa bertahan hidup di desa? Dan mengapa perempuan?

Hidup di wilayah pedesaan dalam konteks negara berkembang merupakan situasi hidup yang penuh dengan kesulitan dan tekanan. Situasi sulit tersebut terutama terasa bertambah berat bagi perempuan. 

Pada situasi sumber daya langka, seringkali anak perempuan tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut. Anak perempuan dipekerjakan atau bahkan telah diproyeksikan sejak dini untuk masuk ke sektor pekerjaan domestik nantinya.

Banyak diantara para anak perempuan tersebut terpaksa harus 'dijual' ditukar dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari, dengan berkedok retorika 'menikah usia muda lebih baik daripada berzina'. 

Pada situasi yang lebih buruk lagi, remaja-remaja perempuan terjebak pada tipu daya dan terseret ke dalam jual-beli sex. Situasi sulit bagi perempuan di wilayah pedesaan seperti ini umum kita temui di desa-desa kantung buruh migran di Jawa Barat, misalnya. Akan berbeda lagi situasinya bagi mereka yang tinggal di pedesaan di luar Jawa.

Ditengah berbagai kemudahan akses, perkembangan modernitas, informasi-komunikasi dan digital yang dirasakan anak-anak muda perkotaan; persoalan struktural di pedesaan ini masih belum banyak tersentuh. Padahal justru di situlah letak potensi perubahan jika kita sebagai negara-bangsa yang dipandang sebagai developing countries ini ingin menentukan perubahan nasib. Sebuah perubahan yang tidak harus selalu membebek pada resep-resep lembaga-lembaga keuangan internasional, serta mulai melakukan pembangunan dari bawah, dari pedesaan.

Situasi Perempuan Migran Pasca-Migrasi

Sedikit melihat situasi ke belakang, pada era tahun 1980-1990-an terbuka 'kesempatan baru' bagi para perempuan di pedesaan untuk bermigrasi dan bekerja ke luar negeri; namun mereka hanya dapat memasuki pasar tenaga kerja dengan sektor kerja domestik, dimana sektor pekerjaan tersebut dikonstruksikan dalam peraturan di negara tujuan maupun di negara pengirim sebagai pekerjaan 'rendahan', informal, minim perlindungan & kepastian kerja. 

Berbeda situasinya dengan laki-laki di pedesaan yang lebih memiliki kesempatan untuk terserap di pasar tenaga kerja global sebagai buruh di pabrik automobile di Korea dan Jepang; atau sebagai Awak Buah Kapal di kapal-kapal pesiar. Sektor pekerjaan yang dipandang lebih 'tinggi' daripada kerja ART, lebih formal, memiliki upah lebih tinggi dan relatif lebih memiliki perlindungan.

Kembali ke pembahasan mengenai pasca-migrasi yang terjadi di masa sekarang. Setelah puluhan tahun perempuan bermigrasi, pada akhirnya banyak diantara mereka yang pulang kembali ke daerah asal masing-masing. 

Tetap saja mereka kembali ke situasi kemiskinan 'yang lama' dan kembali pada lanscape sosial yang juga masih patriarkis. Padahal sebelumnya saat mereka bermigrasi, mereka telah terekspos dengan berbagai kemajuan cara berpikir serta penghormatan atas hak-hak berserikat yang memperjuangkan keadilan sosial dan kesetaraan gender.

Hasrat mereka untuk melakukan perubahan di daerah asal, kembali terbentur oleh nilai-nilai dan adat yang usang. Terbentur oleh kuasa elit lokal dalam proses pengambilan keputusan desa; serta narasi-narasi interpretasi agama yang masih konservatif. 

Perempuan purna migran juga menghadapi situasi dimana mereka diperlakukan sebagai 'ATM berjalan', baik oleh keluarga besar maupun para tetangga dan warga desa lainnya. 

Mereka dianggap mudah mendapatkan uang selama bermigrasi dan bergelimang harta. Perlahan banyak diantara mereka yang memiliki cara berpikir berorientasi pada materi, berpikir mendapatkannya secara instan, dan menghabiskannya juga secara instan. 

Pemikiran untuk menginvestasikan uang untuk kebutuhan yang lebih produktif atau untuk kebutuhan dalam jangka panjang, belum tumbuh atau terdisrupsi. Banyak persoalan sosial yang kemudian muncul dari hal tersebut, dan termanifestasi pada banyak situasi.

Reintegrasi Pasca Migrasi: Kebutuhan Pembangunan Kapasitas Manusia di Pedesaan

Situasi perubahan lifestyle tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan belum banyaknya perubahan yang terjadi pada relasi sosial dan relasi gender para perempuan purna migran. Mereka masih saja minim akses dan kontrol pada proses pengambilan keputusan strategis di desanya. 

Padahal setiap desa di Indonesia mendapatkan Dana Desa dengan jumlah yang cukup besar yang idealnya ditujukan untuk sebesar-besar kesejahteraan masyarakat desa. 

Pada kenyataannya, dana yang cukup besar tersebut masih saja digunakan terutama untuk pembangunan infrastruktur, dan melupakan kebutuhan pembangunan kapasitas manusianya.

Padahal pemberdayaan ekonomi saja, belum tentu dapat mengubah relasi subordinasi yang dialami perempuan purna migran. Bisa saja mereka memenuhi tolak ukur dalam program pemberdayaan ekonomi, namun hal tersebut belum tentu dapat mengubah situasi peminggiran sosial dan ketidakberdayaan politik para perempuan purna migran.

Sejatinya, pemberdayaan perempuan yang dibutuhkan adalah pemberdayaan yang didesain agar perempuan purna migran terbangun kapasitasnya untuk dapat mengubah situasi peminggiran sosial dan ketidakberdayaan politiknya itu tadi. 

Hal ini hanya mungkin dilakukan dalam jangka panjang. Partisipasi perempuan dalam pembangunan lokal serta perlindungan sosial bagi para perempuan purna migran di pedesaan perlu diprioritaskan. Mengingat mereka sudah terabaikan sejak lama dalam sejarah pembangunan lokal.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun