Asumsi mengenai problematika perempuan purna migran saat mereka selesai bermigrasi dan kembali ke daerah asal yang terkandung dalam peraturan-peraturan di atas adalah sebatas persoalan individual.Â
Padahal problem reintegrasi yang dihadapi perempuan purna migran adalah problem sosial yang berakar dari ketimpangan struktural di dalam struktur sosio-ekonomi pedesaan hingga nasional, dan bahkan global. Perempuan purna migran tidak punya kuasa atas proses perubahan sosio-ekonomi yang terjadi di daerahnya.
Bahkan, bisa dibilang, pembangunan sosio-ekonomi pedesaan selama ini belum menjadi prioritas agenda pembangunan pemerintah, jika dibandingkan dengan pembangunan di perkotaan atau wilayah yang diproyeksikan menjadi pusat industri manufaktur di sekitarnya.Â
Alih-alih merencanakan pembangunan yang dapat melibatkan banyak orang di desa, dilihat dari program-programnya, pemerintah justru nampaknya lebih suka mendorong para perempuan di pedesaan untuk bermigrasi ke luar negeri.
Setelah mereka kembali dari bermigrasi, pemerintah mengklaim telah berhasil melakukan pembangunan dengan menyediakan program tambal-sulam seperti kewirausahaan dan edukasi pengelolaan remitansi (reintegrasi ekonomi), dan menyediakan layanan pemulihan hubungan antara purna migran dengan pasangan dan komunitasnya (reintegrasi sosial).
Program tersebut di daerah-daerah tertentu, seperti di daerah terisolir atau daerah yang baru saja beranjak dari status desa tertinggal; terbukti tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.Â
Program yang demikian dalam jangka panjang tidak dapat menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan yang kembali mendera perempuan purna migran, sekembalinya mereka dari bermigrasi.
Problem Struktural di Pedesaan
Banyak dari kita, terutama Generasi Z juga pasti bertanya-tanya, apa sebab para perempuan di pedesaan berbondong-bondong bermigrasi ke luar negeri? Apakah tidak ada cara lain untuk bisa bertahan hidup di desa? Dan mengapa perempuan?
Hidup di wilayah pedesaan dalam konteks negara berkembang merupakan situasi hidup yang penuh dengan kesulitan dan tekanan. Situasi sulit tersebut terutama terasa bertambah berat bagi perempuan.Â
Pada situasi sumber daya langka, seringkali anak perempuan tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut. Anak perempuan dipekerjakan atau bahkan telah diproyeksikan sejak dini untuk masuk ke sektor pekerjaan domestik nantinya.