Mohon tunggu...
L. Rintis Susanti
L. Rintis Susanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Researcher-Activist/ Labor Movement/ Social and Gender/ Politics/ Gender and Development/ Gender Studies

Lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang kemudian belajar bersama teman-teman gerakan buruh dan gerakan perempuan di Jabodetabek. Selain itu saya juga memiliki ketertarikan terhadap isu-isu sosial dan gender yang diwujudkan dalam kerja-kerja penelitian dan mengerjakan program pembangunan dengan perspektif GESI, salah satunya program Renewable Energy. Saat ini sedang melanjutkan studi program Magister Kajian Gender.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nasib Perempuan Purna Migran, Reintegrasi Setengah Hati

16 November 2024   01:25 Diperbarui: 16 November 2024   02:25 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Asumsi mengenai problematika perempuan purna migran saat mereka selesai bermigrasi dan kembali ke daerah asal yang terkandung dalam peraturan-peraturan di atas adalah sebatas persoalan individual. 

Padahal problem reintegrasi yang dihadapi perempuan purna migran adalah problem sosial yang berakar dari ketimpangan struktural di dalam struktur sosio-ekonomi pedesaan hingga nasional, dan bahkan global. Perempuan purna migran tidak punya kuasa atas proses perubahan sosio-ekonomi yang terjadi di daerahnya.

Bahkan, bisa dibilang, pembangunan sosio-ekonomi pedesaan selama ini belum menjadi prioritas agenda pembangunan pemerintah, jika dibandingkan dengan pembangunan di perkotaan atau wilayah yang diproyeksikan menjadi pusat industri manufaktur di sekitarnya. 

Alih-alih merencanakan pembangunan yang dapat melibatkan banyak orang di desa, dilihat dari program-programnya, pemerintah justru nampaknya lebih suka mendorong para perempuan di pedesaan untuk bermigrasi ke luar negeri.

Setelah mereka kembali dari bermigrasi, pemerintah mengklaim telah berhasil melakukan pembangunan dengan menyediakan program tambal-sulam seperti kewirausahaan dan edukasi pengelolaan remitansi (reintegrasi ekonomi), dan menyediakan layanan pemulihan hubungan antara purna migran dengan pasangan dan komunitasnya (reintegrasi sosial).

Program tersebut di daerah-daerah tertentu, seperti di daerah terisolir atau daerah yang baru saja beranjak dari status desa tertinggal; terbukti tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. 

Program yang demikian dalam jangka panjang tidak dapat menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan yang kembali mendera perempuan purna migran, sekembalinya mereka dari bermigrasi.

Problem Struktural di Pedesaan

Banyak dari kita, terutama Generasi Z juga pasti bertanya-tanya, apa sebab para perempuan di pedesaan berbondong-bondong bermigrasi ke luar negeri? Apakah tidak ada cara lain untuk bisa bertahan hidup di desa? Dan mengapa perempuan?

Hidup di wilayah pedesaan dalam konteks negara berkembang merupakan situasi hidup yang penuh dengan kesulitan dan tekanan. Situasi sulit tersebut terutama terasa bertambah berat bagi perempuan. 

Pada situasi sumber daya langka, seringkali anak perempuan tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut. Anak perempuan dipekerjakan atau bahkan telah diproyeksikan sejak dini untuk masuk ke sektor pekerjaan domestik nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun