Banyak diantara para anak perempuan tersebut terpaksa harus 'dijual' ditukar dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari, dengan berkedok retorika 'menikah usia muda lebih baik daripada berzina'.Â
Pada situasi yang lebih buruk lagi, remaja-remaja perempuan terjebak pada tipu daya dan terseret ke dalam jual-beli sex. Situasi sulit bagi perempuan di wilayah pedesaan seperti ini umum kita temui di desa-desa kantung buruh migran di Jawa Barat, misalnya. Akan berbeda lagi situasinya bagi mereka yang tinggal di pedesaan di luar Jawa.
Ditengah berbagai kemudahan akses, perkembangan modernitas, informasi-komunikasi dan digital yang dirasakan anak-anak muda perkotaan; persoalan struktural di pedesaan ini masih belum banyak tersentuh. Padahal justru di situlah letak potensi perubahan jika kita sebagai negara-bangsa yang dipandang sebagai developing countries ini ingin menentukan perubahan nasib. Sebuah perubahan yang tidak harus selalu membebek pada resep-resep lembaga-lembaga keuangan internasional, serta mulai melakukan pembangunan dari bawah, dari pedesaan.
Situasi Perempuan Migran Pasca-Migrasi
Sedikit melihat situasi ke belakang, pada era tahun 1980-1990-an terbuka 'kesempatan baru' bagi para perempuan di pedesaan untuk bermigrasi dan bekerja ke luar negeri; namun mereka hanya dapat memasuki pasar tenaga kerja dengan sektor kerja domestik, dimana sektor pekerjaan tersebut dikonstruksikan dalam peraturan di negara tujuan maupun di negara pengirim sebagai pekerjaan 'rendahan', informal, minim perlindungan & kepastian kerja.Â
Berbeda situasinya dengan laki-laki di pedesaan yang lebih memiliki kesempatan untuk terserap di pasar tenaga kerja global sebagai buruh di pabrik automobile di Korea dan Jepang; atau sebagai Awak Buah Kapal di kapal-kapal pesiar. Sektor pekerjaan yang dipandang lebih 'tinggi' daripada kerja ART, lebih formal, memiliki upah lebih tinggi dan relatif lebih memiliki perlindungan.
Kembali ke pembahasan mengenai pasca-migrasi yang terjadi di masa sekarang. Setelah puluhan tahun perempuan bermigrasi, pada akhirnya banyak diantara mereka yang pulang kembali ke daerah asal masing-masing.Â
Tetap saja mereka kembali ke situasi kemiskinan 'yang lama' dan kembali pada lanscape sosial yang juga masih patriarkis. Padahal sebelumnya saat mereka bermigrasi, mereka telah terekspos dengan berbagai kemajuan cara berpikir serta penghormatan atas hak-hak berserikat yang memperjuangkan keadilan sosial dan kesetaraan gender.
Hasrat mereka untuk melakukan perubahan di daerah asal, kembali terbentur oleh nilai-nilai dan adat yang usang. Terbentur oleh kuasa elit lokal dalam proses pengambilan keputusan desa; serta narasi-narasi interpretasi agama yang masih konservatif.Â
Perempuan purna migran juga menghadapi situasi dimana mereka diperlakukan sebagai 'ATM berjalan', baik oleh keluarga besar maupun para tetangga dan warga desa lainnya.Â
Mereka dianggap mudah mendapatkan uang selama bermigrasi dan bergelimang harta. Perlahan banyak diantara mereka yang memiliki cara berpikir berorientasi pada materi, berpikir mendapatkannya secara instan, dan menghabiskannya juga secara instan.Â