Hingga beberapa minggu kemudian, Mia menerima sebuah pesan singkat dari Natalie.Â
"Maafkan aku, Mia. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi ini semua." Aku tak tahu harus memulai lagi darimana.Â
Pesan itu terasa penuh penyesalan, menceritakan bagaimana Natalie sendiri tidak tahu bagaimana cara menanggapi situasi yang rumit ini.Â
Mia duduk di ruang tamunya yang kecil, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan singkat dari Natalie masih terbuka di layar, menggema di keheningan ruang itu seperti bayangan masa lalu yang masih memburai hati Mia.Â
Pesan itu telah menggantung di udara selama beberapa hari sekarang, sementara Mia mencerna kembali semua yang terjadi. Tapi sekarang, Mia tahu ada sesuatu yang tidak biasa.
***
Mia mengingat kembali saat mereka bertemu beberapa minggu yang lalu. Saat Mia mengirimkan balasan yang jujur kepada Natalie, hingga mereka akhirnya bertemu untuk berbicara.
Natalia menceritakan semuanya, bagaimana dia ternyata juga didiagnosis kanker beberapa bulan sebelum Mia. Bagaimana dia merasa takut dan terisolasi menghadapi kenyataan yang sulit ini, dan dia tidak tahu cara untuk memberi tahu Mia tanpa membuat segalanya lebih buruk.Â
"Aku berobat disana. Begitu dokter Martha bilang benjolan di leher itu positif Limfoma, aku shock!. Aku berusaha membuat semua seolah baik-baik saja."
"Kamu ingat terakhir kita duduk di Libera, aku tak tahu harus bilang apa untuk memilih kata-kata perpisahannya. Jadi aku bilang soal tawaran itu".
Mia duduk terdiam, membiarkan kata-kata Natalie meresap ke dalam pikirannya. Sebagian dari hatinya masih terluka karena merasa ditinggalkan, tetapi sebagian lainnya mulai memahami betapa sulitnya situasi yang dihadapi oleh Natalie seperti juga dirasakannya ketika hari-hari pertama setelah diagnosa dokter Martha untuknya.
"Aku tidak ingin membuatmu merasa lebih buruk," kata Natalie dengan lembut, matanya terpaku pada lantai kayu.Â