" Begitu semuanya siap, aku segera menjemputmu secepatnya", janji Natalie kala itu.Â
Mereka berdua kuliah di tempat yang sama, dan menjadi karib karena kesamaan dalam banyak hal, apalagi setelah kedua orang tua mereka tiada dan menjadi seorang diri di dunia.
Awalnya, Mia mencoba untuk memaklumi keadaan Natalie. Mungkin sahabatnya memang sibuk dengan pekerjaan. Namun, semakin lama penantiannya berlanjut, semakin jelas baginya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Mia merasa ditinggalkan.
Rasa kecewa itu menggumpal, bergelut dengan perasaan tidak dihargai. Dendam tumbuh dalam hati, menggerogoti perasaan sakitnya yang mendalam. Dia merasa marah kepada Natalie--- karena ditinggalkan dalam saat-saat paling sulit dalam hidupnya.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan, menuliskannya di buku kecil, agar ia bisa bernafas. Setiap kali Mia menuliskan rasa sakit itu, dia menemukan dirinya menulis tentang perasaan-perasaan kecewa.
Catatan yang biasanya penuh dengan harapan, kini dipenuhi dengan rasa sakit yang tidak pernah berkurang meskipun waktu terus berlalu.
***
Sabtu pagi itu, Mia duduk di meja kecilnya dengan pena gemetar di tangan. Dia menatap kertas kosong di depannya, membiarkan emosinya mengalir.Â
Mia menulis tentang persahabatan yang pernah mereka bangun bersama, tentang bagaimana kehadiran Natalie pernah memberinya kekuatan dan harapan.
Namun, juga menulis tentang bagaimana perasaannya terluka dan terabaikan setelah Mia menerima kenyataan bahwa diagnosa dokter Martha tentang kankernya itu nyata menggerogoti limfosit-nya.
Mia tahu bahwa dendamnya kepada Natalie tidak hanya tentang perasaan ditinggalkan, tetapi juga tentang kebutuhan untuk didengar.Â
Dia merasa bahwa Natalie harus tahu bagaimana perjuangan ini mempengaruhi hidupnya, bagaimana setiap hari adalah tantangan untuk bertahan hidup dan untuk menemukan arti dalam penderitaan.