Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cokelat dan Arloji

11 Juli 2020   00:43 Diperbarui: 11 Juli 2020   00:43 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia

Kebahagiaan itu sebenarnya ada dalam hati, bukan di mana kita berada. Tetapi jujur, aku merasa menemukan kebahagiaan di sini, di rumah lama. Rumah masa kecilku.

Mentari pagi baru saja menyingsing. Semburat kekuningan di cakrawala belahan timur memberi corak langit demikian indah. Walaupun belum bulat sempurna karena masih terhalang lapisan kabut yang mulai turun. Namun, dingin yang tercipta tak menghalangi penduduk sekitar untuk beranjak dari peraduannya. Biasanya sebagian dari mereka sudah mulai menapaki pematang menuju persawahan milik mereka.

Angin menerpa tipis membawa serta hawa dingin yang belum juga mengusik rasa malasku. Suara-suara ranting yang saling bersinggungan, menciptakan bunyi-bunyian di luar kamarku. Bukan hanya dahan yang mengetuk jendela kamar, ada juga suara lain di luar sana. Telingaku cukup jelas mendengar biarpun mataku enggan terbuka.

Suara itu berada di sekitar jendela. Berisik, membuatku bangun. Aku bisa menerka, suara itu adalah suara sapu lidi. Pagi sekali Bi Min sudah menyapu halaman. Tiba-tiba senyap. Tak terdengar lagi suara sapu diseret di tanah. Lamat-lamat terdengar suara dua orang sedang berbincang. Dengan siapa Bibi bicara?

Mataku terbuka, mencari ponsel di bawah bantal sekadar memastikan jam berapa saat ini. Oh, pantas saja. Sudah siang rupanya. Bergegas aku beranjak dari tempat tidurku. Meraih handuk, lalu menghilang di balik kamar mandi.

Hari ini aku ada janji dengan Mbak Rara. Ini adalah pertemuan pertama setelah pembicaraan project mencapai kesepakatan. Ya, ada banyak pertemuan sesudah ini untuk membahas berbagai hal dan kali ini aku membebaskan Mbak Rara menentukan di mana kami akan bertemu nanti.

Akhirnya, disepakati sebuah kafe di pinggiran kota sebagai tempat pertemuan. Mengapa jauh sekali memilih kafe? Ah, ada baiknya nanti aku tanyakan.

Selesai bersih diri, aku mematut diri di cermin, menyisir rambutku yang sudah mulai menggapai pundak. Aku mencari ikat rambut kain favoritku untuk mengikat rambut hitamku sekenanya. Kemeja panjang kulipat dan tersisa dari panjang lengan. Kulit mulus terlihat jelas di tanganku. Aku bergeming. Mendadak aku teringat Papa. Dia pernah melarangku meninggikan lipatan di lengan kemejaku.

"Turunkan lipatan bajumu, Nayya."

"Kenapa, Pa? Gerah kalau dipanjangin."

"Itu auratmu. Jangan diumbar!"

Aku terdiam. Pelan-pelan kubuka lagi lipatan itu. mengancingkannya dan bersiap pergi. Lagi-lagi langkahku tertahan. Papa masih mengajakku bicara.

"Nayya, besok jangan pakai celana panjang."

"Ke---"

"Pakai baju muslimah. Itu mudah dikenali."

Aku masih diam di depan cermin, seperti sedang berdialog dengan bayanganku sendiri. Sejak itu aku tak pernah lagi menggunakan celana panjang. Hanya berhijab yang belum bisa kulakukan.

Cukup lama aku mematut di cermin, sampai akhirnya dering ponselku berhasil membuatku terperanjat.

[Assalamualaikum, Nayya!]

[Walaikumussalam. Ada apa, Fa]

[Kamu kapan balik? Suntuk, nih. Aku kesepian]

Aku tertawa mendengar nada manja yang dibuat-buat itu.

[Nyalain mercon, Fa, biar ramai]

[Hah? Mana ada yang jual]

[Loh, bukannya kamu kemarin nimbun mercon, ya, Fa? Yang di gudang samping rumah?]

[Sialan!]

Aku tertawa lepas. Rasanya puas bisa membuatnya merengut kesal.

[Nayya, kamu lagi di mana? Jangan bilang di rumah papa kamu]

[Di hatimu, Fa]

[Nay, seriuslah]

Aku makin gemas dan terus menggodanya.

[Aku susulin kamu, ya, Nay]

[Emang kamu tahu?]

[Serlock-lah]

[Nggak. Rumahku ini gak ada di peta.]

[Pelit!]

[Biarin!]

[Aku kangen, tahu. Kamu minggat gak bilang-bilang]

Kembali aku tertawa kencang.

[Kalau bilang namanya minta izin, Ndut!]

Aku menyambung tertawaku sambil melangkah ke jendela. Menguaknya dan membiarkan angin berebut masuk ke kamarku. Tampak olehku Bi Min sedang duduk di bangku taman dengan seorang ibu. Sepertinya seumuran dengan Bibi.

Sementara di ujung telepon, Syifa masih saja merengek ingin bertemu denganku. Sahabatku itu seperti kehilangan semangat makan malam jika sehari saja tidak bertemu denganku.

[Fa, aku ada project. Klienku kali ini bukan orang sembarangan. Aku harus menjaga privasinya. Kamu ngerti kan, Sayang?]

[Berarti besar, dong, honor kamu?]

Aku menghela napas. Endingnya mudah ditebak.

[Atau gini, deh. Sehabis aku ketemu dia, kita ketemu di tempat biasa. Nanti aku kabari. Sekarang aku harus sarapan dulu. Oke?]

Aku yakin Syifa sedang mengangguk tanda setuju. Walaupun aku tidak melihatnya, aku cukup hafal kebiasaannya jika memahami sesuatu.

[Oke!]

Tut ... tut ....

Kebiasaan jelek!

Aku kembali mendekati jendela dan memandang ke luar. Bibi masih di sana, sedang bicara cukup serius dengan seseorang. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih banyak waktu untuk bertemu dengan Mbak Rara. Barangkali aku sekalian belanja kebutuhan di rumah ini, juga melihat koleksi buku anyar di toko buku.

Aku melangkah ke dapur. Sebelum sampai, aku melewati meja makan yang di atasnya sudah tersedia roti tawar dan cokelat hangat. Bukan main, Bi Min sudah menyiapkan semuanya.

"Non, sudah bangun?" tanya Bi Min tiba-tiba. "Mau pergi, ya?"

"Tadi itu siapa, Bi?" tanyaku tanpa mengacuhkan pertanyaannya.

"Yang mana?"

"Yang tadi ngobrol sama Bibi di samping."

"Oh, itu Bu Leli yang tinggal di sebelah."

"Memangnya ada yang lain, selain Bu Leli?"

"Ada, Non. Mas Abbad. Guru ngaji di musala."

Aku menghabiskan kunyahan terakhir roti tawar sebelum meneguk cokelat hangat favoritku.

"Terima kasih, ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan. Saya ke kota mau ketemu orang. Oh, ya. Nanti pulangnya saya ke minimarket. Bibi mau nitip apa?"

"Nanti saya ingat-ingat lagi, Non."

"Telpon nanti, ya, Bi."

"Non sampai siang?"

"Iya. Bibi masak makan siang untuk Bibi sama Mamang, ya. Makan aja gak usah nunggu saya."

"Jangan kesorean pulangnya, ya, Non, " pesan Bi Min.

Aku menangkap ada getar keresahan dari pesannya. Kalimat yang mendadak membuat dada kiri berdesir. Tiba-tiba aku merasa sangat diperhatikan dan ... takut kehilangan. Aku tersenyum, lalu melangkah ke luar rumah. Mobil yang sejak aku datang tersimpan di garasi, kini sudah terparkir di halaman siap mengantarku ke kota.

"Mang, jaga rumah, ya. Saya ketemu orang sebentar," pesanku kepada Mang Ding yang sedang membuka pintu gerbang.

"Ya, Non. Hati-hati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun