Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cokelat dan Arloji

8 Juli 2020   00:05 Diperbarui: 12 Juli 2020   05:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Nah, itu tahu. Ad---]

[Ada banyak penulis baru berbakat yang bisa menggeser kedudukanmu]

Ya, setiap aku terlihat tidak semangat, kerjaku lamban, perawan tua itu kerap mengancamku. Cih! Aku hafal kalimatnya setiap kali dia menekanku. Sebenarnya, aku bisa saja kabur ke penerbit lain, dengan memutuskan Mou. Sebenarnya aku juga bisa melakukannya sejak dulu, tapi bodohnya aku tetap bertahan bersamanya. Entahlah. Aku seperti utang budi dengannya.

Bicara tentang 'kabur', aku sudah kabur dari apartemen ke rumah ini. Rumah peninggalan almarhum Papa. Rumah yang pernah menyisakan sekelumit kebahagiaanku bersama Papa.

Tidak ada yang kuberitahu alamat rumah ini. Rumah ini tetap menjadi rahasia. Sama dengan sisi rahasianya kehidupanku yang belum terpecahkan.

Aku menatap sedih kursi putarku yang patah. Dulu, saat aku masih tinggal dengan Papa, aku kerap menggunakan kursi itu setiap kali aku belajar. Kursi hadiah dari Papa. Sudah lama kursi itu tergolek di sudut kamar. Tanganku mencari nomor Mang Ding pada ponselku. Aku yakin dia masih di rumahnya, memandikan jago merah kesayangannya.

Kali ini pria tua itu tidak akan ke sawah. Sesuai pesanku, hari ini dia harus merapikan seluruh pekarangan rumah yang dipenuhi sampah dedauan usai angin kencang tempo hari, juga betapa joroknya halaman belakang. Memasang bola lampu di kamarku yang mati dan banyak pekerjaan rumah lain untuknya.

Pria yang mulai uzur itu masih setia menjalankan tugasnya sebagai tukang kebun di rumah ini. Sepeninggal Papa, dia dan istrinya tetap setia merawat rumah milik Papa ini. Aku lebih menyukai menyebutnya rumah daripada vila. Hanya karena letaknya yang berada di bukit lengkap dengan hawanya yang dingin, sebutan vila memang lebih banyak dipilih.

Sejak memutuskan tinggal di rumah tua ini---untuk sementara---pekerjaan Bi Min, istri Mang Ding, bertambah. Selain mengurus rumah besar bersama suaminya, mereka juga melayani aku. Aku memaksa Bi Min untuk tinggal bersamaku, sedangkan Mang Ding sesekali pulang menengok rumah mereka, terutama ayam jagonya. Ah, rasanya Mang Ding lebih menyayangi jago ketimbang istrinya. Pria itu tak tega meninggalkan Jupiter---nama ayam jagonya---sendirian. Lebih tepatnya takut digondol maling.

"Bawa saja Jupi ke sini, Mang."

"Takutnya gak kerasan, Non."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun