Mohon tunggu...
rindu aksara
rindu aksara Mohon Tunggu... Lainnya - Wordsmith

I am somewhat ink on paper

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asma Kinarya Japa)*

16 November 2022   16:00 Diperbarui: 16 November 2022   18:46 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Brakkk!

Suara keras pintu dibanting mengagetkan Insyira yang sedang mengelap gelas basah di dapur. Kaca jendela yang menghadap ke taman belakang rumah sampai ikut bergetar. Ia tinggalkan kain lap dan gelasnya, lalu menuju sumber suara. Benar dugaannya, Si Remaja baru saja pulang sekolah. Dalam keadaan kesal sepertinya. Pintu tak berdosa sudah jadi pelampiasan.

Dilihatnya anak berseragam putih-biru itu membanting tas sekolah yang penuh berisi buku pelajaran ke lantai. Botol minum setengah kosong terpuntal dari kantong samping tas, menggelinding hingga ke kolong sofa, baru berhenti setelah menabrak dinding. Menilai dari kekuatan bantingan anak perempuan itu, untung saja botol plastik itu tidak pecah.

Diamati Insyira, emosi anak gadis sedang meluap. Terlihat dari caranya merenggut langsung hijab dari kepala, tanpa melepaskan penitinya terlebih dahulu. Lagi-lagi, sebuah benda tak berdosa jadi korban, dibanting ke lantai. Lalu, anak perempuan itu menghempaskan diri ke sofa. Tangannya sedekap di dada. Nafasnya mendengus-dengus. Pipi gembilnya merah padam. Rambutnya awut-awutan.

Sebenarnya Insyira ingin tersenyum. Nafsu amarah yang meluap-luap memang membuat orang terlihat jenaka. Sungguh jauh dari kesan menyeramkan atau mengancam, apalagi wibawa. Tapi Insyira mengerti, jika ia tertawa, amarah putrinya pasti akan menjadi-jadi. Sehingga ia memilih untuk menutupi kegeliannya, dan menampakkan ketenangan. Bukankah semua orang begitu, ketika menghadapi orang yang dirundung marah?

Dengan wajah dihiasi senyuman, Insyira mendekati anak perempuannya. “Assalamualaikum, Gemi. Selamat datang di rumah. Bagaimana sekolah hari ini?” tanya Insyira sambil memungut kain penutup kepala berwarna putih dari lantai.

“Kesal, Bun!” jawab Gemi dengan suara lantang menghentak-hentak.

“Hmmmm. Terlihat, sih. Memangnya kenapa? Mau cerita dulu atau makan dulu?” lanjut Insyira dengan suara lemah lembut.

“Mana ada rasa lapar kalau lagi kesal begini!” Gemi masih emosi.

“Iya juga, ya. Kalau begitu, mau cerita dulu?” Insyira lalu duduk di samping Gemi, melipat kerudung putih di pangkuannya lambat-lambat. Menunggu gejolak hati anak perempuan itu agak mereda untuk bercerita.

“Aku kesal karena di-bully terus. Selalu ada saja kata-kata ejekan baru untukku. Berganti-ganti. Ngga berhenti-berhenti. Kesal!” suara Gemi masih saja lantang dan meledak-ledak.

“Oh ya? Memangnya kata-kata macam apa? Sumpah serapah, kutukan, kebun binatang?” Insyira menirukan nada tinggi dan alis bertaut, berpura-pura tersulut emosi.

“Ya ngga sih, Bun. Tapi ejekan,” sambung Gemi. Suaranya agak melembut kali ini. Mungkin ia sudah menyadari, bahwa ada jenis kata-kata yang lebih buruk dari ejekan.

“Ejekan macam apa?” tanya Insyira sambil memandang wajah Gemi.

“Namaku, Bun, namaku. Teman-teman selalu mengejek namaku,” jawab Gemi.

“Lho, kenapa diejek? Namamu bagus begitu, kok,” Insyira menyelidik.

“Ya kali menurut Bunda. Menurut mereka itu aneh, lucu, cocok untuk dibuat bahan bully-an,” terang Gemi.

Insyira tak lantas menjawab. Dibiarkannya ada jeda sejenak. Dia beri kesempatan putrinya untuk menerangkan lebih panjang lebar perihal olok-olok pada namanya itu.

“Lagian kenapa sih ngasih nama anak Gemerlap Benderang. Memang mesti ya, ngarang nama yang aneh-aneh begitu. Mentang-mentang bundanya lulusan Filsafat. Mesti banget gitu nama anak ikut-ikutan harus puitis.

“Boro-boro ya puitis. Namaku malah dipelesetin jadi Si Dugem, dunia gemerlap. Jadi kaya anak hedon yang kerjaannya keluar masuk disko. Ada juga yang manggil Si Gendang, namaku sok disingkat-singkat, malah tambah jelek. Tapi, yang paling kesal itu dipanggil Si Dangdut, Gendang Gendut. Pas banget pipiku gembil begini!

“Kenapa sih ngga bikin nama yang normal aja. Yang banyak orang pake. Kayak Siti Fatimah, atau Dewi Sri, atau Jessica? Kenapa sih segala sesuatu harus istimewa?” protes Gemi.

Insyira meneliti wajah Gemi. Amarah itu tidak mampu menyembunyikan rasa pedih yang sebenarnya dirasakan Gemi. Memang benar, pikirnya, istimewa itu tidak normal dan tidak selalu indah. Justru itulah disebut istimewa, karena ia jarang ditemui, jadi kadang tidak mudah diterima khalayak ramai. Kalau normal itu banyak, kerumunan.

“Namamu tidak aneh, Nak. Kata-kata gemerlap dan benderang itu kan ada dalam KBBI. Artinya, kata-kata itu sebenarnya netral. Yang istimewa itu doanya,” lirih Insyira.

“Ayah dan Bunda lama sekali menantikan kehadiranmu. Hampir tujuh tahun usia pernikahan kami ketika kau akhirnya hadir. Melewati berbagai perjanjian dokter, tes, terapi, dan doa yang lirih. Ketika akhirnya Bunda mengandung, semua upaya dan doa itu terkabul. Dan rasanya manis sekali. Bunda ingin kau merasakan kemanisan itu lewat namamu.”

“Ayah dan bunda berupaya dan berdoa siang-malam untuk kehadiranmu. Doa ketika langit sedang terang, maupun ketika diisi bintang-bintang. Karena itu, ada kata benderang dan gemerlap.

“Ada juga kekuatan dalam cahaya. Baik cahaya matahari yang menghidupkan, maupun cahaya bintang yang menjadi petunjuk jalan saat gelap. Kita selalu diberi kekuatan baik dalam keadaan terang maupun gelap, siang maupun malam, mudah maupun sulit.

“Ada petunjuk dalam pergantian dari gemerlap langit malam ke benderang langit siang. Isinya adalah tentang keajaiban penciptaan. Semua yang ada di langit dan bumi sesungguhnya adalah keajaiban, maka itu istimewa. Sayang sekali jika segala sesuatu menjadi biasa dan normal hanya karena mudah terlihat dan sering dipandang. lalu, hanya yang tak teraba indera dianggap istimewa atau luar biasa.

“Ayah dan Bunda ingin kau selalu ingat ini. Bahwa Gemi istimewa, memiliki dan memancarkan kekuatan. Setiap kali namamu disebut, semoga keistimewaan dan kekuatan itu makin terpancar.

“Bahkan nama panggilanmu pun istimewa. Gemi bagi orang Jawa bukan hanya berarti hemat atau pandai mengatur keuangan. Walaupun ini juga suatu keistimewaan. Gemi juga berarti pandai bersyukur atas rejeki yang dititipkan, pandai menjaga amanah.

“Jelas sudah, bahwa namamu itu indah dan istimewa. Kalau orang lain perlu bantuan untuk menyadarinya, Gemi pun sudah punya bukti. Piala, medali dan piagam juara Karate itu bukti dari sifat gemi dan kerja kerasmu, bukti dari cahayamu. Gemi sungguh adalah wujud dari doa kami dalam namamu,” terang Insyira.

“Untung saja kita tidak tinggal di Jawa, nanti bisa nambah lagi ejekan untukku. Si Pelit, gara-gara arti nama gemi,” berengut Gemi.

Meskipun suara Gemi masih menunjukkan kekesalan, Insyira tau bahwa amarah anaknya sudah mulai surut. Napasnya pun sudah tidak mendengus-dengus lagi. Tangan yang tadinya sedekap, kini terbuka longgar dan memilin-milin jemari di pangkuannya.  

“Kadang, olok-olok itu sungguh hanya canda saja, Gemi. Mereka tidak sedang merendahkan atau menghinamu. Sepertinya, itu cara mereka untuk mengakui bahwa kamu adalah bagian dari mereka. Kelompok anak-anak remaja yang serba bergurau, tidak punya beban, dan bebas mengekspresikan apa saja kepada sesamanya. Tidak terasa ada jarak denganmu.

“Jika ada yang sungguhan menghinamu, Bunda yakin Gemi bisa membedakan, dan mampu membela nama baikmu. Karena kamu punya kekuatan itu,” kata Insyira.

“Bunda selalu bisa menghiburku,” kata Gemi sambil mencuri selirikan mata ke arah Insyira. 

“Kalau itu sih memang spesialisasinya Bunda. Sudah terbaca dari namanya, bukan?” goda Insyira. Gemi menyambut dengan separoh senyuman yang dipaksakan.

“Jadi, mau makan sekarang?” tanya Insyira.

“Iya, Gemi lapar. Bunda masak apa hari ini?” tanya Gemi.

Percakapan pun berlanjut menjadi pertukaran kisah-kisah ringan. Untuk hari ini, Gemi sudah melupakan kekesalan akibat ejekan teman-teman pada namanya. Esok hari, siapa tau justru kekaguman yang dialamatkan kawan-kawan pada namanya itu.

)* Nama adalah doa, pepatah Jawa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun