“Oh ya? Memangnya kata-kata macam apa? Sumpah serapah, kutukan, kebun binatang?” Insyira menirukan nada tinggi dan alis bertaut, berpura-pura tersulut emosi.
“Ya ngga sih, Bun. Tapi ejekan,” sambung Gemi. Suaranya agak melembut kali ini. Mungkin ia sudah menyadari, bahwa ada jenis kata-kata yang lebih buruk dari ejekan.
“Ejekan macam apa?” tanya Insyira sambil memandang wajah Gemi.
“Namaku, Bun, namaku. Teman-teman selalu mengejek namaku,” jawab Gemi.
“Lho, kenapa diejek? Namamu bagus begitu, kok,” Insyira menyelidik.
“Ya kali menurut Bunda. Menurut mereka itu aneh, lucu, cocok untuk dibuat bahan bully-an,” terang Gemi.
Insyira tak lantas menjawab. Dibiarkannya ada jeda sejenak. Dia beri kesempatan putrinya untuk menerangkan lebih panjang lebar perihal olok-olok pada namanya itu.
“Lagian kenapa sih ngasih nama anak Gemerlap Benderang. Memang mesti ya, ngarang nama yang aneh-aneh begitu. Mentang-mentang bundanya lulusan Filsafat. Mesti banget gitu nama anak ikut-ikutan harus puitis.
“Boro-boro ya puitis. Namaku malah dipelesetin jadi Si Dugem, dunia gemerlap. Jadi kaya anak hedon yang kerjaannya keluar masuk disko. Ada juga yang manggil Si Gendang, namaku sok disingkat-singkat, malah tambah jelek. Tapi, yang paling kesal itu dipanggil Si Dangdut, Gendang Gendut. Pas banget pipiku gembil begini!
“Kenapa sih ngga bikin nama yang normal aja. Yang banyak orang pake. Kayak Siti Fatimah, atau Dewi Sri, atau Jessica? Kenapa sih segala sesuatu harus istimewa?” protes Gemi.
Insyira meneliti wajah Gemi. Amarah itu tidak mampu menyembunyikan rasa pedih yang sebenarnya dirasakan Gemi. Memang benar, pikirnya, istimewa itu tidak normal dan tidak selalu indah. Justru itulah disebut istimewa, karena ia jarang ditemui, jadi kadang tidak mudah diterima khalayak ramai. Kalau normal itu banyak, kerumunan.