Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kamu Gemesin, Pingin Tak Gigit

29 November 2010   03:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:12 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1291000676277215322

Kamu gemesin, pingin tak gigit.

Bayu menimbang-nimbang kertas yang baru dibacanya. Sepi. Teman-temannya masih belum kembali ke kelas setelah bel istirahat dibunyikan dua puluh menit lalu. Ini sudah yang ketiga kalinya, pikirnya. Selembar kertas tanpa amplop dia temukan di kolong bangkunya. Sebaris kalimat yang sama. Tak ada nama.

Bayu mendesah pelan. Dilipat kertas itu dan buru-buru dimasukkan ke saku celananya begitu melihat beberapa temannya masuk ke kelas. Selama jam pelajaran pikiran Bayu tak bisa lepas dari surat itu. Dilihat teman-temannya satu persatu. Empat puluh tujuh anak, bisa siapa saja, batinnya. Menepis pikirannya sendiri yang tak ingin terlalu geer, baginya semua temannya saat ini adalah tersangka. Belum tentu teman cewek yang mengirimnya, bisa jadi salah satu teman cowoknya yang iseng ingin menggodanya. Tapi siapa, tanyanya dalam hati.

[caption id="attachment_77487" align="aligncenter" width="300" caption="gigit ah (gambar dari google)"][/caption]

"Minggir. Minggir! Hati-hati, ntar digigit!" teriak Andro.

Teriakan yang langsung disambut tawa meriah. Arini baru saja mengganti baju olah raganya di kamar mandi ketika masuk ke kelas dan mendapati teman-teman kelasnya terlihat heboh. Beberapa teman cowoknya tampak duduk di atas meja, bergerombol di pojok. Salah satunya Andro yang baru saja berteriak tadi.

"Gue kan chubby, imut, bisa-bisa ntar gue digigit juga," kali ini suara si tambun Beni yang terdengar.

Lagi-lagi suara tawa pecah, membuat kelas menjadi riuh.

"Kamu gemesin, pingin tak gigit! Emang anjing?"

"Guk! Guk...guk! Guk!"

Saat ini kelas Arini semakin tak terkendali. Tawa membahana sampai-sampai terdengar dari luar kelas. Beberapa anak kelas sebelah bahkan sampai melonggok dari jendela, ingin tahu apa yang terjadi.

"Kamu mau bolos? Gila kamu! Habis ini kan fisika. Nggak takut apa sama Pak Siswo?"

"Masa bodoh! Aku sudah nggak tahan," kata Arini kesal.

Wina, teman sebangku Arini, mencoba menenangkan sahabatnya itu. Jarum jam belum menunjuk pukul sembilan, masih kurang sepuluh menit. Masih ada waktu, batin Arini.

"Kamu serius?" tanya Wina melihat Arini sudah siap menenteng tasnya.

Tak menghiraukan nasihat sahabatnya, Arini bergegas meninggalkan kelas.

"Guguk mau kemana?" teriak Andro.

"Mau nyari yang gemesin buat digigit. Gatel nih gigi!" sahut Beni.

Mendengar celoteh temannya Arini semakin mantap melangkah. Wajahnya merah padam. Malu, lebih-lebih marah.

"Ar!" panggil Wina.

"Yah guguknya marah," kata Andro.

"Rese banget sih kamu jadi cowok!"

Wina yang tak rela sahabatnya terus diolok-olok ikut kesal. Ditatapnya Andro dan teman-temannya.

"Apa loe? Mau ikut-ikutan gigit juga?" sahut Beni.

"Dasar rese!"

Wina duduk. Tak ada gunanya meladeni teman-temannya yang memang terkenal iseng itu.

"Cewek lompat pagar kayak gitu, mau jadi apa kamu?"

Kalo nggak lompat pagar emang dibolehin keluar, omel Arini dalam hati.

"Mau bolos kamu ya?"

Nggak, mau nyangkul. Lagi-lagi hanya suara hati yang tak terdengar yang mampu dikeluarkannya.

"Sampai jam sebelas kamu harus berdiri disitu sambil hormat ke bendera."

Sial bagi Arini. Ketika siap-siap mau melompat dari pagar tembok belakang sekolah untuk bolos Pak Edi memergokinya. Gurunya yang satu itu memang terkenal sebagai "polisi" sekolah alias tukang nangkap anak-anak yang mau bolos.

"Sori ya, aku nggak maksud bikin kamu malu. Aku cuma pingin tahu sapa pengirimnya. Nggak nyangka kalo Andro bakal rese."

Arini diam. Tangannya masih tegak menghormat ke bendera di depannya. Hukuman yang selalu diberlakukan bagi para pembolos di sekolahnya adalah dijemur di bawah matahari di tengah-tengah lapangan sambil menghormat ke bendera.

"Heh kamu, ngapain kamu disitu?" teriak Pak Edi yang baru kembali untuk mengecek Arini.

Arini masih diam. Dipalingkan mukanya ke samping agar tak melihat wajah cowok yang ditaksirnya itu.

"Tiang benderanya bukan disitu, liat apa kamu kesitu? Kamu juga, ngapain ikut-ikut berdiri disitu? Balik ke kelas atau mau ikut ikut dihukum?"

"Saya disini saja Pak," kata Bayu.

Pak Edi yang sebenarnya berniat menyuruh Arini kembali ke kelas mengurungkan niatnya. Masih di bawah pohon laki-laki setengah baya itu kembali berteriak.

"Kalo nggak mau balik ke kelas, kamu juga dihukum!"

Bayu tersenyum. Tak peduli. Rasa bersalahnya pada Arini ingin ditebusnya.

"Nih," katanya sambil menyodorkan tangan kanannya ke Arini. "Katanya gemes, gigit aja."

"Dasar sinting!" kata Arini tanpa menoleh.

"Lagian ngapain sih pake surat-suratan segala, sms kan bisa? Lebih aman."

"Halah, sok cakep!"

"Cakep sih mungkin nggak tapi kan gemesin," kata Bayu sambil tersenyum.

"Bisa diam nggak? Atau..."

"Atau apa? Digigit? Boleh."

Matahari yang mencari perhatian dengan membakar orang-orang di bumi tak lagi dihiraukan, tidak oleh Arini dan Bayu. Dua anak itu masih berdiri, menghormat, peluh juga sudah berceceran tapi tak terlihat capek juga kesal. Saat ini bibir mereka justru berhias senyum.

Surabaya, 29 November 2010

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun