Mengukur realitas kasus peristiwa pidana trafiking di Medan
A. Pendahuluan
Setiap orang pasti akan memerlukan pekerjaan dalam menunjang kebutuhan hidupnya. Bahkan kebutuhan itu lebih tidak hanya sekedar dalam mencukupi kebutuhan dasar (pangan, sandang dan bahkan papan) tetapi bagaimana agar mampu bisa menjalani kehidupan sosial di masyarakat. Bekerja merupakan satu-satunya sarana yang pasti akan dilakukan dalam mencapai standart kelayakan hidup sehingga dapat mempertahankan kelangsungan ekonomi keluarga.
Sebagaimana ketentuan hukum tertulis sendiri yang mengatur adanya “jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak dari Negara terhadap warganya” . Memaknai kebijakan tersebut sudah barang tentu adanya jaminan kebebasan bagi setiap orang berhak untuk bekerja, dan hak dalam pekerjaan tersebut harus menjadi inti dari hak-hak dalam lingkup kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Jika kita kaitkan dalam lingkup hak asasi manusia yang lebih fundamental, kaitan atas hak-hak pekerjaan itu, baik dalam konteks objek atau isinya akan masuk dalam lingkup perburuhan.
Konteks pekerja rumah tangga yang kerap terjadi di Kota Medan, di dominasi perekrutan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan konteks yang diperjanjikan. Kejadian yang menghiasi peristiwa pidana yang terungkap akhir tahun 2014 bertempat di jalan Angsa/Beo Medan, saat ini tengah berlangsung proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Medan. Peristiwa yang mengakibatkan penyiksaan terhadap 3 (tiga) korban pekerja rumah tangga dan mendapat perlakuan layaknya budak belian. Bahkan salah satu teman mereka Cici als Hermin tewas. Hingga kini tawaran gaji yang telah diperjanjikan diatas 700 ribu tidak pernah mereka terima sama sekali. Saat ini perjuangan hak-hak dari para pekerja tengah dipertarungkan lewat upaya restitusi dalam 2 (dua) berkas pemeriksaan atas Terdakwa Syamsul Anwar dan Bibi Randika dalam berkas yang terpisah.
Hal senada lainnya, ketika terungkapnya peristiwa ekslpoitasi pekerja rumah tangga asal Garut Jawa Barat di daerah Grand Polonia Medan (Maret 2015). Menurut keterangan korban secara langsung yang dituturkan di Renakta Polda Sumatera Utara, telah dipekerjakan kurang lebih 5 tahun. Tidak pernah menerima bayaran upah setiap bulan dan bahkan akses berkomunikasi dengan keluarganya terputus. Upaya tuntutan hak pekerja tersebut kepada majikan, terpaksa harus terfasilitasi dengan model pendekatan pidana, pembayaran hak atas pekerja rumah tangga tersebut, mampu terfasilitasi dengan acuan Upah Minimum Provinsi dengan bantuan berbagai pihak.
Peristiwa yang sama terhadap 20 pekerja rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur (Februari-2014), yang telah tereksplotasi di tempat usaha majikan dan juga dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga. Dalam penanganan dalam perolehan keadilan, aparat penegak hukum yakni Polresta Medan, dianggap gagal dalam memfasilitasi pemenuhan hak-hak mereka. Perlakuan salah dari sang majikan hanya sebatas pekerjaan yang tidak digaji, meskipun konteks peristiwa tindak pidana trafiking jelas tercium namun penulis menilai Polresta gagal sebagai fasilitator Negara dalam pemenuhan keadilan bagi para pekerja tersebut.
Merujuk 3 (tiga) model pendekatan dalam memfasilitasi keadilan dari para pemangku kepentingan, penulis mencoba mengukur realitas layanan keadilan, melalui konteks sistem hukum sebagai alat pencapaian. Dengan membandingkan 2 model pendekatan yang dikemukakan dari para pakar hukum yakni :
1. H.L.A. Hart (dalam buku Konsep Hukum) menegaskan “Kekuasaan atau paksaan merupakan suatu sarana untuk merealisasikan hukum, ketimbang hanya sebagai suatu ciri esensial dari hukum itu sendiri.
2. Teori Legal Sistem dari “Lawrence M. Friedmen” yang mengklaim pencapaian rasa keadilan mampu terfasilitasi jika 3 (tiga) bagian penting yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum sebagai bagian penting dalam penggerak sistem hukum itu berjalan sesuai rulenya, sehingga dampak tujuan hukum bisa dirasakan para pihak yang bersengketa, yang juga dibarengi dengan kesadaran hukum seluruh elemen termasuk masyarakat.
B. Pekerja Rumah Tangga masuk dalam kategori “rentan”
Salah satu model pekerjaan yang mampu dilakukan oleh kaum pekerja perempuan adalah sebagai pekerja rumah tangga yang saat ini cukup dikenal dengan asisten rumah tangga. Satu tawaran pekerjaan dengan permintaan yang tinggi, tapi tidak dibarengi dengan kebutuhan persamaan atara pengguna dan pekerjanya, yang pada akhirnya nilai penghargaan tidak pernah bisa berterima.
Wilayah kota-kota besar, permintaan pekerja rumah tangga yang tinggi sudah tidak dinafikan lagi kebutuhannya. Berbagai model perekrutan dari para penyalur dan majikan meskipun ditempuh dengan modus kecurangan, yang tidak sesuai dengan kesepakatan telah menjadi cara-cara yang tidak asing lagi saat ini. Bahkan latar belakang pendidikan serta kecakapan pekerja tidak menjadi pertimbangan utama, yang pasti pekerja rumah tangganya mau dengan iming-iming tawaran gaji yang cukup tinggi lintas penyaluranpun terjadi.
Tidak jarang ketidak singkronan dengan tawaran yang disepakati sehingga mendorong pekerja rumah tangga yang telah direkrut memutuskan secara sepihak, meskipun telah menghabiskan modal perekrutan sampai puluhan juta. Dan tidak jarang pula keterbatasan kemampuan, menjadi satu upaya sang penyalur untuk berupaya melakukan eksploitasi guna mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dari sang pekerja tersebut.
Pengeksploitasian sebagaimana dimaksudkan diatas merupakan tindakan kesengajaan dari penyalur dan majikan meskipun tanpa persetujuan dari pekerja guna memperoleh keuntungan sepihak dengan memanfaatkan pekerja tersebut. Pekerja Rumah Tangga dengan sistem model kerja rumahaan, dalam pengawasan tuan rumah atau majikan akan sangat tidak bebas bertindak dan manut dengan suruhan dari orang yang menguasainya. Sebagaimana dalam makna kata rentan merupakan pihak yang dibawah kekuasaan cukup beresiko untuk menyepakati hal-hal diluar persetujuannya.
Medan misalnya, dalam sisi pemberitaan sering sekali memberitakan konflik penyiksaan pekerja rumah tangga yang dilakukan majikan. Bahkan perselisihan komunikasi yang tidak singkron, sehingga kerap mengakibatkan pemaksaan dengan delik pidana guna meminta pertanggung jawaban dari majikan sendiri. Sari sisi konteks hak asasi manusia, pihak yang tertindas, teraniaya dan termanfaatkan menjadi mandat yang harus dipertimbangkan untuk dilindungi.
Sebagaimana menjelasakan diatas mengambil pemaknaan dari sudut sejarah beberapa pendapat dari filusuf teologia memaknakan “kekuasaan duniawi yang lebih besar tergantung pada persetujuan pelaksana pemerintah, yang juga dapat mengadakan perlawanan terhadap kelaliman dan melawan penguasa atas dasar hak dan kewajiban”. Lebih lanjut Filsafat Jhon Locke meletakan secara tegas dasar untuk pengakuan hak yang fundamental itu tidak dapat dipindahkan dan harus dijamin oleh penguasa dan diminta bantuan untuk melawannya.
Kembali memaknai kerentanan dalam kontek pekerja rumah tangga, merujuk teori hukum positivis yang memahami orang secara langsung atas tindakannya berdampak kepada kewajiban dan haknya. Sebagaimana dikutip dari Hans Kelsen “manusia menjadi bagian dari komunitas yang dibentuk oleh sistem hukum tidak secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa tindakan dan kesabarannya, yaitu tindakan dan kesabaran yang diatur oleh sistem hukum sebagai bagian komunitas”.
C. Kesalahan pidana mengikat pertanggung jawaban dalam memperoleh keadilan
Upaya untuk melindungi pekerja secara langsung telah diatur dalam satu konteks Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana dalam konsideran menimbang merumuskan “Upaya perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan kekeluargaannya,…dst.
Jika ditilik dalam defenisi Ketenagakerjaan, pekerja rumah tangga bisa juga di kategorikan masuk dalam bagian rumusan ketenagakerjaan sebagaimana mengacu pada defenisi pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan untuk majikan sebagai pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hanya saja dalam beberapa persitiwa yang menimpa secara langsung para pekerja rumah tangga, jika telah mengalami konflik perselisihan dan bahkan peristiwa pidana upaya tuntutan untuk mempertahankan hak-haknya kerap dasar acuan yang tidak ada sebagai alasan. Sehingga konsep hukum ketengakerjaan yang ada tersebut hanya berlaku untuk pekerja formal. “Belum ada acuan tertulis sebagai rujukan dalam merlindungi pekerja rumah tangga”, demikian selalu para aparatur dan pejabat dinas tenaga kerja setempat berargumen jika hal tuntutan pembayaran gaji dibawa keranah mediasi.
Satu sikap dan tanggung jawab dari pemerintah yang menunjukan kesan yang berseberangan dengan permintaan atas kebutuhan jasa dari pekerja rumah tangga. Guna terciptanya konsep keadilan sangat diperlukan kemauan dan tindakan intelek dari para pemangku kepentingan dalam mewujudkan tatanan perlindungan bagi pekerja rumah tangga ini, sehingga tercapai satu sistem hukum tatanan norma khususnya melalui tindakan-tindakan paksaan atau ajudikatif dan transaksi hukum privat dalam kasus-kasus norma-norma individual. Begitu juga konsep teori Legal Friedmen dibutuhkan institusi-institusi hukum yang bijak untuk melaksanakan sistem hukum yang ada tersebut dalam memgfasilitasi pencapaian keadilan dari para pekerja rumah tangga.
Merangkai konsep dasar ajaran etis terhadap tujuan hukum yang berupaya mewujudkan keadilan atas kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, atau melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksana hukum, yang bertentangan dengan kesewenang-wenangan.
Mari kita hubungkan dengan kekuatan hukum sebagai alat pengendali sosial, kedudukan antara pekerja rumah tangga dan majikan dalam beberapa kasus yang terjadi di Kota Medan misalnya agar timbul kesimbangan sebagaimana ide dasar UU Ketenagakerjaan yang enggan menjadi acuan dari para pemangku kebijakan sebagaimana fungsi tujuan hukum kala tingkah laku sang majikan menyimpang dari aturan hukum, alat kontrol dari masyarakat sebagai upaya mendidik yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada.
Sisi lainya lagi dalam persitiwa-peristiwa pidana khususnya antara konteks ketidak seimbangan antara hubungan majikan dengan pekerja rumah tangga sudah barang tentu didominasi pekerjanya sebagai korban yang mengalami kekerasan. Sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, guna tercapainya kesejahteraan sosial. Oleh karena itu keterlibatan Negara dan masyarakat umum dalam mengurangi penderitaan korban melalui pengingkatan layanan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Sebagaimana dalam konteks pertanggung jawaban pidana, ketika majikan secara real mampu dibuktikan melakukan kesalahan serta merta pekerja rumah tangga bisa terfasilitasi penuntutan ganti rugi atas hak-haknya melalui kompensasi dan restitusi, sebagai mana dalam acuan defenisinya “restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya”.
Dari tiga delik pidana yang digambarkan dalam pendahuluan, pertanggung jawaban pidana atas kesalahan majikan dianggap satu alat yang efektif dalam pencapaian konteks keadilan bagi sang pekerja rumah tangga. Sebagaimana kemauan dari aparatur sendiri yang mau dan bersedia memfasilitasi kebutuhan pekerja tersebut, sebagaimana pemahaman yang disampaikan oleh H.L.A. Hart kekuasaan mampu sebagai alat pemaksa, sehingga mampu memuluskan terfasilitasnya hak-hak dari pekerja asal garut di Renakta Polda Sumut atas pembayaran gajinya sesuai acuan Upah Minimum Provinsi sejak tahun 2009.
Namun sayang dalam memfasiltasi terhadap 20 pekerja asal Nusa Tenggara Timur yang telah diperbudak di usaha sarang wallet milik pelaku Mohar dan Haryati Ongkoh, niat baik aparat penegak sendiri tidak mampu bersikap sebagaimana kontek sistem hukum yang disampaikan dalam Teori Legal Friedmen. Jangankan untuk memfasilitasi hak-hak mereka dalam meminta melakukan upaya penjeraan bagi pelaku, pihak okunum Polresta Medan seperti tidak mampu dalam memfungsikan hukum sebagai alat dalam pencapaian keadilan.
Saat ini perjuangan kepada 3 (tiga) pekerja rumah tangga korban di Jalan Beo/Angsa Medan, tinggal menunggu putusan pertanggung jawaban, harapannya pembayaran hak-hak dari ketiga korban seyogianya telah mampu dipaksa untuk dibayarkan, namun menurut pemantauan dari penulis langsung dari pihak Lembaga Perlindungan Saksi Korban, masih berupaya melakukan komunikasi dengan pihak Jaksa Penuntut, meskipun secara langsung dalam beberapakali persidangan celah untuk prosedur pembayaran telah dikemukakan bahkan dari sang hakim secara langsung telah menyampaikan kewajiban dari Terdakwa untuk difaslitasi. Apakah harus menunggu, pembayaran ganti rugi hingga proses persidangan telah berkekuatan hukum tetap, penulis masih terus melakukan monitoring layanannya.
D. Penutup
Jeratan terhadap upaya meminta pertanggung jawaban majikan, menentukan pekerja rumah tangga mampu terlindungi. Terlindungi serta merta majikan mampu dipaksa untuk membayarkan hak-hak mereka. Karena hukum pidana untuk saat ini semata-mata tidak hanya diorientasikan untuk menjerat hukuman badan, tetapi melainkan kepentingan korban dalam hal ini pekerja rumah tangga.
Memperpanjang lidah dari konteks pemahaman guru besar pidana “Barda Nawawi Arif” sudah saatnyalah kita saat ini pertanggung jawaban pidana berorientasi kepada korban, karena kedermawanan Negara terhadap pelaku menjadi alat pertimbangan kita yang telah begitu banyak difasilitasi. Jikalaupun konteks kemanfaatan yang terfasilitasi untuk korban sebagai bagian pemaksaan penulis beranggapan bisa dilegalkan karena tanggung jawab pelaku dalam hal ini majikan untuk bersikap patuh kepada sistem hukum yang ada di lingkungan kita.
Hanya saja, dari beberapa pengalaman yang terpapar diatas, harapan keadilan bisa dirasa bila semua elemen mampu bekerja. Layaknya harapan dari teori legal friedmen kepentingan dari 3 elemen tersebut mampu bekerja secara baik. Jikalaupun tidak sempurna kemauan dari alat negara khususnya aparatur yang bersangkutan, bersedia dan mau melakukan pemaksaan kepada pihak majikan yang telah berbuat salah atas pekerjanya karena hanya kekuasaanlah yang bisa melakukan sarana pemaksaan tersebut atas nama hukum. Kalaulah konteks kesadaran dari pemangku kebijakan tersebut atau fasilitator Negara tidak mampu, alamat keadilan bagi para pekerja tersebut akan terus dipersimpangan, seperti layaknya pengajuan pembahasan prolegnas pekerja rumah tangga yang telah menyimpang als dicabut dari prioritas pembahasan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H