Mari kita hubungkan dengan kekuatan hukum sebagai alat pengendali sosial, kedudukan antara pekerja rumah tangga dan majikan dalam beberapa kasus yang terjadi di Kota Medan misalnya agar timbul kesimbangan sebagaimana ide dasar UU Ketenagakerjaan yang enggan menjadi acuan dari para pemangku kebijakan sebagaimana fungsi tujuan hukum kala tingkah laku sang majikan menyimpang dari aturan hukum, alat kontrol dari masyarakat sebagai upaya mendidik yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada.
Sisi lainya lagi dalam persitiwa-peristiwa pidana khususnya antara konteks ketidak seimbangan antara hubungan majikan dengan pekerja rumah tangga sudah barang tentu didominasi pekerjanya sebagai korban yang mengalami kekerasan. Sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, guna tercapainya kesejahteraan sosial. Oleh karena itu keterlibatan Negara dan masyarakat umum dalam mengurangi penderitaan korban melalui pengingkatan layanan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Sebagaimana dalam konteks pertanggung jawaban pidana, ketika majikan secara real mampu dibuktikan melakukan kesalahan serta merta pekerja rumah tangga bisa terfasilitasi penuntutan ganti rugi atas hak-haknya melalui kompensasi dan restitusi, sebagai mana dalam acuan defenisinya “restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya”.
Dari tiga delik pidana yang digambarkan dalam pendahuluan, pertanggung jawaban pidana atas kesalahan majikan dianggap satu alat yang efektif dalam pencapaian konteks keadilan bagi sang pekerja rumah tangga. Sebagaimana kemauan dari aparatur sendiri yang mau dan bersedia memfasilitasi kebutuhan pekerja tersebut, sebagaimana pemahaman yang disampaikan oleh H.L.A. Hart kekuasaan mampu sebagai alat pemaksa, sehingga mampu memuluskan terfasilitasnya hak-hak dari pekerja asal garut di Renakta Polda Sumut atas pembayaran gajinya sesuai acuan Upah Minimum Provinsi sejak tahun 2009.
Namun sayang dalam memfasiltasi terhadap 20 pekerja asal Nusa Tenggara Timur yang telah diperbudak di usaha sarang wallet milik pelaku Mohar dan Haryati Ongkoh, niat baik aparat penegak sendiri tidak mampu bersikap sebagaimana kontek sistem hukum yang disampaikan dalam Teori Legal Friedmen. Jangankan untuk memfasilitasi hak-hak mereka dalam meminta melakukan upaya penjeraan bagi pelaku, pihak okunum Polresta Medan seperti tidak mampu dalam memfungsikan hukum sebagai alat dalam pencapaian keadilan.
Saat ini perjuangan kepada 3 (tiga) pekerja rumah tangga korban di Jalan Beo/Angsa Medan, tinggal menunggu putusan pertanggung jawaban, harapannya pembayaran hak-hak dari ketiga korban seyogianya telah mampu dipaksa untuk dibayarkan, namun menurut pemantauan dari penulis langsung dari pihak Lembaga Perlindungan Saksi Korban, masih berupaya melakukan komunikasi dengan pihak Jaksa Penuntut, meskipun secara langsung dalam beberapakali persidangan celah untuk prosedur pembayaran telah dikemukakan bahkan dari sang hakim secara langsung telah menyampaikan kewajiban dari Terdakwa untuk difaslitasi. Apakah harus menunggu, pembayaran ganti rugi hingga proses persidangan telah berkekuatan hukum tetap, penulis masih terus melakukan monitoring layanannya.
D. Penutup
Jeratan terhadap upaya meminta pertanggung jawaban majikan, menentukan pekerja rumah tangga mampu terlindungi. Terlindungi serta merta majikan mampu dipaksa untuk membayarkan hak-hak mereka. Karena hukum pidana untuk saat ini semata-mata tidak hanya diorientasikan untuk menjerat hukuman badan, tetapi melainkan kepentingan korban dalam hal ini pekerja rumah tangga.
Memperpanjang lidah dari konteks pemahaman guru besar pidana “Barda Nawawi Arif” sudah saatnyalah kita saat ini pertanggung jawaban pidana berorientasi kepada korban, karena kedermawanan Negara terhadap pelaku menjadi alat pertimbangan kita yang telah begitu banyak difasilitasi. Jikalaupun konteks kemanfaatan yang terfasilitasi untuk korban sebagai bagian pemaksaan penulis beranggapan bisa dilegalkan karena tanggung jawab pelaku dalam hal ini majikan untuk bersikap patuh kepada sistem hukum yang ada di lingkungan kita.
Hanya saja, dari beberapa pengalaman yang terpapar diatas, harapan keadilan bisa dirasa bila semua elemen mampu bekerja. Layaknya harapan dari teori legal friedmen kepentingan dari 3 elemen tersebut mampu bekerja secara baik. Jikalaupun tidak sempurna kemauan dari alat negara khususnya aparatur yang bersangkutan, bersedia dan mau melakukan pemaksaan kepada pihak majikan yang telah berbuat salah atas pekerjanya karena hanya kekuasaanlah yang bisa melakukan sarana pemaksaan tersebut atas nama hukum. Kalaulah konteks kesadaran dari pemangku kebijakan tersebut atau fasilitator Negara tidak mampu, alamat keadilan bagi para pekerja tersebut akan terus dipersimpangan, seperti layaknya pengajuan pembahasan prolegnas pekerja rumah tangga yang telah menyimpang als dicabut dari prioritas pembahasan. Salam.