Mohon tunggu...
Rina Sakina
Rina Sakina Mohon Tunggu... Mahasiswa - خير الناس أنفعهم للناس🌹

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajarkah Anak Korban Perceraian Sulit Menerima Keluarga Barunya?

18 Mei 2022   21:14 Diperbarui: 16 Januari 2023   01:42 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, keluarga adalah tempat pulang ternyaman untuk saling berbagi, bercerita, menumpahkan segala keluh kesah, dan tempat di mana kita disayangi dan dicintai. Namun jangan salah, ada sebagian dari kita yang menganggap bahwa keluarga adalah tempat terburuknya untuk sekedar singgah apalagi hidup berdampingan. Mengapa demikian? Salah satunya adalah dampak dari broken home

Lantas, apa itu broken home? secara istilah broken home menggambarkan kondisi keluarga yang tidak baik-baik saja. Mau itu akibat dari perceraian, perselingkuhan, hubungan anak kepada orang tua atau orang tua kepada anak yang tidak harmonis, bahkan kematian salah satu pihak orang tua.

Seringkali orang lain menganggap bahwa anak broken home itu berandalan alias anak nakal yang sering kali menganggu aktivitas sosial di sebuah masyarakat. Ya, mau tidak dianggap begitu pun oranglain tak pernah tau, apa yang sebenarnya dirasakan seorang anak broken sehingga ia berbuat seperti itu.

Banyak juga kok, anak broken home yang melampiaskan rasa kesalnya, kecewanya, marahnya, akibat kehilangan keluarga utuhnya yang kini berubah menjadi seseorang yang berarti bagi orang lain. Ada yang melampiaskannya dengan cara masuk pesantren, yang bahkan hal itu bisa menyembuhkan paling sedikit rasa kecewanya yang mendalam.

Namun apa jadinya, ketika seorang anak yang baru saja terapi di pesantren alias menyembuhkan lukanya yang ia derita selama ini, tiba-tiba kembali pada keluarganya yang masing-masingnya sudah saling berkeluarga? 

Di sinilah, saudara saya sendiri yang akan berbagi pengalamannya, dan cerita suka dukanya menjadi anak broken home seorang diri di era gempuran keluarga harmonis yang sering kali melanda batinnya, ia berkata, "Apakah aku ini tak layak sebahagia mereka kah (anak-anak normal pada umumnya)? 

btw aku bahkan dipaksa nulis untuk menceritakan ini semua ya, huhu, hanya sebagai pelajaran saja, semoga kita bisa mengambil ibrohnya yaa para readers :').

Namun aku lagi-lagi menepis perkataanya dan menguatkan kondisinya kembali dengan berkata, "Say, jangan begitu. Kamu punya Alloh. kamu berhak bahagia. Sabarlah! jalanilah! hidup ini perih, gak ada yang mulus. Huhu, aku aja seringkali menghadapi perbedaan pendapat dan pandangan ama orang tuaku,. itu wajar, karena semua terjadi tidak lain Alloh lebih menyayangimu, mencintaimu, makanya Alloh mengujiMu, karena Ia ingin kamu membuktikan, bahwa kamu adalah mahkluk terbaik, yang berani bersabar dan ikhlas atas segala macam cobaan-Nya", tuturku, yang alhamdulillah menenangkan batinnya kembali (wajar ya, manusia, aral, ngeluh, wong lagi sakit aja kita bisa nyabarin orang, pas nyampe sakitnya ke kita, kadang ngeluh juga kan?wkkw)

Beginilah awal ceritanya, saya memang sudah tau banget ya, wong ini cerita saudaraku sendiri, hihi, tapi tenang aja pemirsa, aman ko, gak bakal aku publish siapa orangnya, wkkw, enak aja, nanti ya aku yang pusing sendirii, hii

Saudaraku pada suatu hari curhat kepadaku dan tiba² mengatakan, "Saya tidak malu rin, wong bukan saya yang melakukan tindakan demikian, dan saya juga gak bisa melawan taqdir Allah agar kedua orangtua saya kembali bersama. Karena saya yakin dan percaya, banyak sekali hikmah yang bisa saya dapatkan, agar saya tetap berhati-hati menghadapi segala hal, termasuk membangun kepercayaan saya dengan lawan jenis", tuturnya.

Ahhh, mendengar penyataanya saya sudah membuatku sakit hati. bagaimana tidak, sosoknya yang begitu penyabar dan selalu ceria, ternyata menyimpan duka yang amat mendalam. Saya pastikan jika hilal jodohnya sudah tiba, saya ingin jodohnya itu yang benar² menyayanginya dan mencintainya setulus hati, karena saya gak rela jika saudara saya ini mengalami hal yang sama seperti kedua orangtuanya.

Menikah adalah sebuah pilihan. Menikah juga adalah ibadah terlama dalam pengembaraan seseorang di muka bumi ini, dan tentu ia harus menerima rekan terbaiknya untuk mengarungi bahterai rumah tangga yang luar biasa ujiannya demi mencapai keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Ia tidak punya pilihan, selain mempercayakan sepenuhnya pada rekannya itu, bahwa pilihannya itu memang benar, tepat, dan akurat, sehingga ia bisa menguatkan satu sama lain dan bertahan untuk bersama-sama, melawan suka dukanya kehidupan, sampai maut memisahkan dan menyatukan mereka kembali di negeri-Nya yang kekal (akhirat, insyaaAlloh surga, Aaamiiin).

Tidak ada yang berhak disalahkan dari malangnya sebuah perpisahan, yang memisahkan antara dua sejoli yang tadinya begitu mencinta. Kata-kata cinta dan sayang yang dulunya terlontar setiap hari, kini menjadi kata-kata cacian dan kebencian yang masih melanda bathin keduanya, bahkan saat mereka sudah tak bersama lagi.

Bagaimana perasaan seorang anak yang selalu saja melihat, merasakan, dan mendengarkan ucapan tersebut? Tak cukupkah ia menderita dengan keegoisan yang mereka buat, tak cukupkah ia terluka dengan tindakan ego mereka? Semuanya cukup membuat semuanya hancur lebur, bahkan bisa saja mental seorang anak rapuh dan tidak menutup kemungkinan, banyak yang kemudian menjadi gila seumur hidupnya. Naudzubillah.

Lagi-lagi, hubb (cinta) itu berawal dari rasa perhatian, suka, yang kemudian berkembang menjadi cinta, lalu jika sudah cinta, tentu ia akan sayang dan sulit untuk melepaskan apa yang ia sayangkan. Jika awalnya begitu, mengapa mereka memilih untuk saling menyakiti? mengapa mereka memilih untuk mengorbankan buah hati yang selama ini dikasihi? Lagi-lagi itu berawal dari nafsu dan kurangnya iman mereka kepada Allah, mengapa saya katakan demikian? Banyak kok, pasangan yang sudah diujung tanduk, namun mereka akhirnya memilih rujuk, demi masa depan anak-anaknya.

 Jika bukan karena iman, lantas mengapa mereka memilih demikian? Ya, mungkin itulah salah satu pertanyaan yang belum saya maupun saudaraku mampu pecahkan. Maaf ya pembaca, jika saya sendiri sebagai penulis sudah menularkan vibes negatif, hihi, boleh yang mau menyampaikan pendapatnya, coment yah di bawah ini, dan semoga masukan dan saran kalian dapat diterima dengan baik oleh saudaraku.

Saudaraku pun berkata kembali, "Saya bukanlah orang baik yang mampu menerima dengan tulus sepenuh hati dengan keadaan keluarga saya yang sudah masing-masing berkeluarga.  Orang lain mungkin tidak bisa merasakan apa yang saya rasakan, ketika mereka sudah bahagia dengan keluarganya sendiri, sedangkan saya, saya memilih salah satu dari mereka pun begitu sulit, " Imbuhnya.

Point-point penting yang saudaraku katakan atas kasusnya ini,

Pertama, "karena pernah ada pertengkaran yang luar biasa, antara keluarga ibu kandung saya dengan bapak kandung saya", ucapnya. Intinya, ibu kandungnya itu sampai melontarkan kata, "Anak Durhaka", sebab ia terlalu dekat dengan ibu tirinya sendiri.

Katanya, dari sana ia benci kepada ibunya sendiri, bahkan sudah menyerah dengan kata, "Surga di bawah telapak kaki Ibu". Ya Alloh🥺, yang pada akhirnya, sedikit demi sedikit saudaraku itu menjauhi ibu tirinya demi menjaga hubungannya untuk kembali membaik dengan Ibu kandungnya. Boleh dikatakan, ibu tirinya itu memang lebih komunikatif dan lebih mengerti keadaannya dibanding ibunya sendiri, sehingga pada akhirnya ia nyaman bersama ibu tirinya dan enggan untuk sekedar berkomunikasi dengan ibu kandungnya sendiri yang bisa dikatakan sangat gila bekerja.

Ya, Ibunya sejak belum bercerai pun memilih untuk bekerja di tempat orang lain dan memisahkan diri dengan bapak kandungnya, sehingga ketika sudah selesai bekerja, saudaraku beserta bapaknya lah yang menjemput ibu kandungnya ke tempat kerja. Karena kebetulan lokasi SD saudaraku ini dekat dengan tempat kerja bapak kandungnya. 

Ya, mungkin salah satu akibat dari perceraian mereka tidak lain, karena posisi kedua orangtuanya yang jarang sekali menghabiskan waktu bersama. Mereka memilih untuk bekerja di masing-masing tempat kerjanya, sehingga waktu bersama mereka hanya sebatas malam hari yang mana itu pun menurut saudaraku terbilang cukup singkat, tuturnya kembali.

Apakah saudaraku ini tau faktor utama perceraian kedua orangtuanya? Tentu, jelas, jangan diragukan, bahkan saudaraku ino sampai pindah saat masih kelas 3 SD ke kampung halaman mamahnya, yang tidak lain adalah ke rumah neneknya, dan pada saat itu pula dia sudah mengerti artinya perceraian (ibu dan bapaknya berpisah).

Karena saya akui juga sii saudaraku ini memang cukup cerdas saat dia masih kelas 1 sd pun, baik dalam hal pelajaran maupun dalam tangkapan arti suatu hal. Bahkan dia sudah mahir membaca loh, sama berhitung, hiks, yah mungkin itu sudah jalan utama taqdir alasan kedua orangtuanya bisa bercerai yaa.

Kedua, "perubahan emosional yang drastis dari seorang figur Ayah kandung". Wah, Siapa nih yang gak akan sakit hati ketika seorang ayah kandung, yang sudah kita anggap sebagai cinta pertama bagi anak perempuannya tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang ternyata selalu berkata kasar, dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan apalagi kepada seorang anak?

Saudaraku mengatakan, "Ayahku yang dulu saya kenal begitu pengertian, perhatian, bahkan menyayangi saya sepenuh hati dengan sikap lembut dan tutur katanya yang baik, tiba-tiba 180% berubah menjadi sosok yang kasar, pemarah, dan sering melontarkan hal² yang membuat saya sakit hati", ucapnya kala itu sambil menangis kepada saya.. huhu, sedih aku pun jadinya.

Saudaraku ini tidak tahu katanya, sejak kapan Ayahnya berubah seperti itu. Entah sejak dia mulai mesantren, sehingga jarang berkomunikasi yaa, wajar, mungkin itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab Ayahnya berubah. 

Btw, saudaraku ini bahkan pernah kabur untuk pertama kalinya dari rumah Ayah kandungnya, loh kenapa? Ya, di antaranya karena ia sudah tidak kuat dengan ucapan dan kata-katanya yang semakin hari semakin tidak pantas untuk didengarkan.

Saat itu, saudaraku mendapatkan beasiswa. Ya di sana ia mendapatkan fasilitas tempat tinggal yang memadai dan jaraknya cukup dekat dengan kampusnya menimba ilmu. Awalnya Ayah kandungnya senang, karena ia akhirnya mendapatkan beasiswa untuk yang kedua kalinya setelah bantuan penurunan UKT di awal kuliah. 

Nah, pada saat itu, kondisinya itu sudah menjaga jarak dengan ibu tirinya walaupun memang benar adannya tidak semua ibu tiri itu jahat. Karena saya pribadi pun sebagai saudaranya dapat merasakan ketulusan dari caranya memperhatikan dan menyayangi saudara saya selama ini.

Sebetulnya saudaraku ini tidak terlalu dekat juga dengan Ibu kandungnya, karena saat itu prinsipnya adalah tidak membuat salah satu pihak bertengkar kembali akibatnya. Namun semuanya ternyata makin rumit, dan membuatnya semakin sulit untuk menjalani hidup. Akhirnya yah ia pun kembali ngeluh dan berkata, "Saya pantas disebut Anak Durhaka".

"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Yang Paling Tahu Tentang Diriku, Bimbinglah Selalu Aku Agar Aku Tidak Salah Mengambil Langkah, Terutama Yang Berkaitan Dengan Sebuah Keluarga", ucapnya sambil menangis kepadaku, tentu aku pun kembali menyemangatinya dan begitu berhati² agar tidak salah ucap ya.

Memang, kewajiban kita sebagai anak adalah menghormati dan menyayangi orang tua kita. Walaupun ada ya keluarga yang memang harus mengalami ujianya, contohnya seperti kasus saudaraku ini. tapi yakinlah, akan ada saatnya semua kembali membaik dan tenang seperti sedia kala. InsyaaAlloh, karena Alloh-lah yang Maha Pemberi Keputusan Terbaik.

Kesimpulannya, wajarkah seorang anak korban broken home mampu menerima dengan baik-baik keluarga barunya? Jawabannya, kembali ke masing-masing diri kalian. Saya pun berharap, anak broken mana pun, terutama yang baca artikel ini, harus mampu menopang lahir batinnya kuat-kuat, "mari kita berpegangan tangan bersama-sama, agar tak ada lagi kata terjatuh". Begitulah kata² yang selalu saya lontarkan kepada saudara saya, hingga saat ini dia sudah seperti baja yang begitu kuatt untuk menghadapi masalah yang rumit itu. Alhamdulillah.

Semoga kita mampu berseteru dengan baik bahwa kehidupan siapapun tidak ada yang lebih baik maupun indah, karena sejatinya Allah memberikan ujian kepada hamba-Nya tidak lain atas dasar cinta dan kasih sayangnya, agar seorang hamba yakin sepenuh hatinya, tidak ada tempat lain untuk bergantung berbagi segala permasalahan hidup kecuali hanya kepada-Nya semata.

Intinya, semoga hubungan keluarga siapapun ke depannya baik-baik saja, yaa, dan semoga, kita bisa bertemu seseorang, yang kita yakini dialah pasangan hidup, imam terbaik, yang Alloh sendiri yang pilihkan, untuk menemani hidup kita ini, dan selalu membimbing kita di jalan-Nya hingga menua bersama lanjut menuju jannah-Nya, Aaamiin.

Sebuah luka yang sangat mendalam dan begitu membekas, saat kedua orang tua memilih untuk mempertahankan keegoisan mereka, yakni memilih untuk berpisah alias bercerai. Dan mungkin, semua itu selalu diingat saudara saya dan ia jadikan landasan, "Ya Allah, Semoga di masa depan nanti, Saya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Cukuplah mereka membuat hati saya hancur, tidak dengan anak saya suatu saat nanti. Semoga kelak Engkau karuniakan hamba ini sosok laki-laki yang bisa menerima dan membimbing saya dengan pembekalan ilmu agamanya, yang bertanggung jawab untuk mencintai, mengasihi, dan menyayangi saya lahir dan bathin, agar keluarga saya suatu saat nanti sakinah mawaddah warohmah", Aaamiin Aamiin Aamiin, Ya Mujiibas Saailiin.

Kata-kata itu terus ia pegang hingga saat ini, dan semoga sosok itu benar adanya dan diridhoi-Mu Ya Allah, istajib du'ana, Dunia Akhirat. Aamiin.

Sekian gais, see u.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun