Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tali Darah

28 Mei 2024   13:00 Diperbarui: 28 Mei 2024   13:08 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, Bestari berkunjung ke rumah saudara Fulana yang baru saja meninggal. Namanya Nuri, seperti nama burung. Tetapi dia tidak seramai burung. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya sedikit misterius. Prasangka tak jarang mengerat kebenaran. Nuri tak memiliki teman sebanyak kakaknya.

Bukan karena dia tak pandai bergaul, tetapi dia seorang introver yang paling introver. Membatasi dirinya pada banyak hal, salah satunya adalah membatasi pergaulan. Salah satu sahabat Fulana sempat mengatakan padanya, bila dia dan Fulana perbedaannya bagai bumi dan langit. Nuri hanya tersenyum.

Nuri ikut memandikan mayat sang kakak. Dia menyaksikan segala proses tanpa suara, bagaimana dunia berlaku atas apa yang memang ditanam setiap orang. Pada tanya yang diajukan, dia memilih diam sebagai jawaban. Berbicara dengannya penuh dengan kedalaman yang tak jarang disalah pahami.

"Benarkah kau sering berbeda pendapat dengan Fulana?"

"Berbeda pendapat ... adakah orang yang selalu bersetuju atas segalanya, Bestari?"

"Tentu saja tidak."

"Lalu kenapa kau tanyakan itu?"

"Untuk memastikan apa yang banyak kudengar." Nuri menatap Bestari lekat.

"Apakah kamu sedih kehilangan kakakmu, Nuri?"

"Sampai saat ini, aku masih tak percaya sepenuhnya dia telah tiada."

"Why?"

"Kami selalu terhubung. Lewat WA,  telepon, dan lainnya. Kami selalu saling berkabar, walau terkadang dengan kabar palsu. Ada kalanya kami saling bersembunyi, juga saling berteriak dalam sepi. Hubungan kami tak ada dalam benar-benar yang benar."

Bestari mengeryit. Nuri yang dikenal sebagai pribadi tegas dan lugas selalu menyisakan keromantisan pada kata-kata yang dipilih.

"Benar-benar yang benar ... deep, confusing, and ...."

"Begitulah adanya. Kami berdua tak berada dalam keseimbangan. Aku suka sesuatu yang teguh, dia bagaikan angin yang berembus kemana dia suka. Aku suka menjadi diriku, dia sering lupa pada dirinya sendiri. Aku suka belajar, dia suka berteriak. Aku suka menjelaskan, dia suka menunjuk dan menyalahkan. Kami bertemu pada titik temu yang tak pernah bertemu."

Kembali Bestari mengeryit.

"Adakah luka itu, Nuri?"

"Kami berdua orang yang terluka. Aku memilih mencari kesembuhan, dia memilih bertahan. Aku suka menyendiri, dia suka bergembira ria. Bagaimana tidak kami saling membagi luka?"

"Seringkah pertengkaran itu terjadi?"

"Pertengkaran dengan saudara itu melukai jiwa. Sekecil apa pun akan meninggalkan luka. Tak mudah dilupakan, bahkan tak jarang merobek persaudaraan itu sendiri."

"Ah ... sedalam apakah itu?"

"Cukup dalam. Bahkan saat ku melihatnya menjadi mayat, aku terus teringat pertengkaran-pertengkaran itu, juga bertanya-tanya sendiri apakah benar aku dan dia sudah saling  memaafkan?"

"Adakah yang tak pantas untuk tak dimaafkan?"

"Entahlah. Aku sering memaafkan sebatas kata pada dia yang terus mengulang salah. Hatiku tak turut serta. Terlebih pikiranku. Bukan tentang dendam, bahkan aku tak mampu mendiskripsikan batas itu. Terus bertanya, apa yang sebenarnya dia harapkan dariku. Ku menjauh dicarinya. Ketika aku dekat dimusuhinya. Aku ambil jarak, diprasangkainya. Aku tak berjarak, diperbudaknya. Lalu aku memilih ada dalam diam yang panjang."

"Sakit hatikah dirimu?"

"Justru itu yang kutanyakan berulang. Karena hatiku tak mampu merasakan apa-apa lagi tentang dia."

"Bagaimana kau tahu bila kau dicarinya ketika menjauh?"

"Seorang terus mempertanyakan pertanyaan Fulana yang terus mencariku. Seorang saudara kami yang terheran tanpa berani pertanyakan keheranannya. Bagaimana bisa seorang kakak tak dapat menghubungi adiknya sendiri? Dia tak pernah tahu bagaimana bisa seorang adik memblokir nomor telepon kakaknya."

"Separah itukah?"

"Ya. Aku bukan orang yang suka berlarut-larut ada dalam konflik. Itulah kenapa aku memblokir nomornya. Caci makinya memekakkan telinga. Andai saja ada kebenaran dalam makiannya, akan kudengarkan. Tetapi segala umpatannya hanyalah fitnah. Tak ada kebenaran sedikit pun di sana."

Bestari menarik napas panjang."Lalu bagaimana kalian terhubung kembali?"

"Setelah hilang sesak dadaku. Aku membuka blokiran itu. Kubiarkan sampai dia mendahului. Aku tidak berdendam, selalu ada kesadaran bila memaafkan itu penting untuk kebaikan diri sendiri."

Bestari termangu, mengunyah semua kalimat dari Nuri yang telah berlalu.

"Kemarahan dan kesombongan mengalahkan kita berdua. Jika kami tidak berhenti mengikuti ego, jika kami tidak saling memeluk sebelum nafsu kembali hadir, maka tak ada kemenangan dalam pertarungan kami." Nuri melanjutkan.

"Benar kalian mampu melepas semua itu?"

"Tidak sepenuhnya. Ada trauma dan penyesalan bergelung dalam bisu. Aku memilih untuk meringkas kata, dia memilih untuk mencari padanan sesal. Tidak mampu berkata maaf setulusnya hanya karena masih berpegang pada keyakinan lama."

"Hmmm ...." Bestari menggumam.

"Bahwa kakak selalu benar,  bahwa yang kaya tak pernah salah, bahwa yang sudah tua itu lebih beriman, dan 'bahwa-bahwa' lainnya. Sementara aku memilih masa bodoh dengan itu. Yang salah tetaplah salah, yang benar tetaplah benar, tanpa melihat rentetan 'bahwa' yang dia pegang erat."

-

Bestari merenung. Dia yang mengenali Fulana dan lebih sering bertemu dibanding bertemu Nuri, tak ingin melanjutkan pembicaraan. Benar kata sahabat Fulana, dua kakak beradik ini betul-betul berbeda dalam mengenali diri.

Yang satu kandungan saja bisa berbeda, bagaimana berharap lebih pada yang berbeda. Ada pijakan kehidupan yang tak mereka lalui bersama. Ada keterasingan tak disuarakan. Semua punya pembenaran.

Bestari menapak kembali. Meyakini adanya hari esok untuk belajar kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun