"Kemarahan dan kesombongan mengalahkan kita berdua. Jika kami tidak berhenti mengikuti ego, jika kami tidak saling memeluk sebelum nafsu kembali hadir, maka tak ada kemenangan dalam pertarungan kami." Nuri melanjutkan.
"Benar kalian mampu melepas semua itu?"
"Tidak sepenuhnya. Ada trauma dan penyesalan bergelung dalam bisu. Aku memilih untuk meringkas kata, dia memilih untuk mencari padanan sesal. Tidak mampu berkata maaf setulusnya hanya karena masih berpegang pada keyakinan lama."
"Hmmm ...." Bestari menggumam.
"Bahwa kakak selalu benar, Â bahwa yang kaya tak pernah salah, bahwa yang sudah tua itu lebih beriman, dan 'bahwa-bahwa' lainnya. Sementara aku memilih masa bodoh dengan itu. Yang salah tetaplah salah, yang benar tetaplah benar, tanpa melihat rentetan 'bahwa' yang dia pegang erat."
-
Bestari merenung. Dia yang mengenali Fulana dan lebih sering bertemu dibanding bertemu Nuri, tak ingin melanjutkan pembicaraan. Benar kata sahabat Fulana, dua kakak beradik ini betul-betul berbeda dalam mengenali diri.
Yang satu kandungan saja bisa berbeda, bagaimana berharap lebih pada yang berbeda. Ada pijakan kehidupan yang tak mereka lalui bersama. Ada keterasingan tak disuarakan. Semua punya pembenaran.
Bestari menapak kembali. Meyakini adanya hari esok untuk belajar kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H